Home » , » Kebijakan Pemerintah Tidak Memihak Petani

Kebijakan Pemerintah Tidak Memihak Petani

OLEH: DIDIK PURWANTO
penacinta@yahoo.com

JUMLAH penduduk Indonesia yang terus bertambah tidak dibarengi ketersediaan pangan. Lahan pertanian yang sempit makin disesaki bangunan, ruko atau perumahan. Potret itu memacu terjadinya kelaparan dan kekurangan gizi sekalipun Indonesia sempat dijuluki negara agraris yang mampu swasembada pangan.
Hingga kini, pemerintah belum serius membuat kebijakan terkait masalah serius yang dihadapi kaum petani Indonesia, --lahan pertanian yang kian kritis. Petani sendiri masih manja dengan subsidi pupuk dan pestisida kimia dari pemerintah.
Penelitian Dr Ir Ni Luh Kartini, MS menyebut, beberapa lokasi pertanian di Bali, bahan organik tanah hanya kurang dari 1%. Padahal, secara normal minimal 5%. “Tanah-tanah pertanian di Bali tidak lama lagi akan menjadi kawasan gurun jika petani terus menggunakan pupuk dan pestisida kimia,” jelas akademisi berjuluk Ibu Cacing karena konsen dengan pupuk organik berbahan kotoran cacing itu.
Selain itu, penggunaan bibit unggul yang terus digembar-gemborkan pemerintah tidak lebih hanya membuat rakus pemakaian pupuk dan pestisida kimia. Minimal ada 14 jenis unsur hara yang selama ini dibutuhkan tanaman tidak cukup hanya diberi pupuk buatan. Masyarakat justru tidak menghargai alam yang telah memberi aneka unsur hara dan berorientasi pada materi (uang), bukan pada proses dan keberlanjutan alam.
Generasi sekarang, lanjut Kartini, sudah menjadi generasi instan yang hanya mau memakai secara cepat tanpa mau menciptakan (berkreasi). Dalam hal beras, masyarakat hanya mampu merubah jadi tepung atau bahan olahan lain. ‘’Mereka tidak mau memikirkan atau berbuat bagaimana membuat beras yang menyehatkan baik untuk tubuh maupun keberlangsungan tanah dan alam sekitar. Saya punya mimpi kalau di suatu saat, Pulau Dewata ini menjadi Pulau Organik. Tanah pertaniannya menghasilkan beragam hasil tanaman organik yang sehat. Tanah yang tandus akan kembali subur,” kata Ketua Bali Organic Association (BOA) ini.
Hasil penelitian World Health Organization (WHO) pada tahun 1994 diungkapkan 20% air susu ibu sudah terkontaminasi pestisida. Hal itu berdampak pada penurunan kecerdasan anak. Masalah tersebut belum termasuk pengawetan, pewarna, penyedap makanan dan udara yang tercemar. “Kalau masalah air saja sudah tercemar, bagaimana kita mencukupi kebutuhan. Padahal lebih dari 90 persen tubuh kita berasal dari air,” ujarnya.
Sementara Prof Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc menilai, pertanian berkelanjutan yang memperhitungkan kelestarian alam justru menjadi impian masyarakat secara global. Pertanian dengan menggunakan semaksimal mungkin faktor alam, baik berupa pupuk, pestisida, sarana produksi maupun keamanan lingkungan. “Pertanian tersebut secara fisik, ekologis maupun ekonomis harus menguntungkan petani,” tandas Direktur Pascasarjana Universitas Udayana alumni Ilmu Pertanian Universitas Kagoshima Jepang itu.
Ir I Gusti Ketut Riksa berpendapat, pemakaian pupuk kimia sangat disangsikan akan mampu mencukupi kebutuhan pangan nasional apalagi untuk dunia. Bahkan penyakit yang menyerang tanaman, hewan dan manusia justru semakin aneh-aneh. Belakangan, banyak ilmuwan baru menyadari fenomena tersebut.
Teknologi ramah lingkungan membuat mikro organisme berfungsi sebagai biota, menekan hama dan penyakit mikro organisme yang siap diserap tanaman, membebaskan atau melepaskan unsur-unsur yang difiksasi secara kimia, biologis dan fisik sehingga menjadi unsur yang tersedia untuk tanaman. “Tanah yang rusak bisa ditanggulangi dengan mikro organisme yang dapat memperbaiki komposisi biologis tanah. Satu-satunya dengan pemakaian pupuk dan pestisida organik,” pinta mantan Kepala Dinas Pertanian Bangli itu.
KPO/EDISI 143/JANUARI 2008
Thanks for reading Kebijakan Pemerintah Tidak Memihak Petani

0 komentar:

Posting Komentar