OLEH: AGUS SALAM
bokashiok@yahoo.com
INDONESIA pernah disuguh gerakan ‘’Revolusi Hijau’ untuk mendukung teknologi pertanian, yang lebih berpihak p
ada subsidi pupuk kimia dengan impian melipatgandakan produksi demi swasembada beras. Aksesnya, secara bertahap terjadi kerusakan lingkungan. Air dan tanah rusak akibat pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang tak terbatas. Revolusi hijau, sebenarnya bertujuan lestari. Hanya potret pasca aplikasi program, lahan pertanian kian tidak produktif meski dipaksa untuk meningkatkan produksi pertanian. Agak wajar, bila banyak kalangan menengarai, rawannya kondisi ketahanan pangan di bumi Katulistiwa ini.
Hanya saja, masih ada jaminan secara verbal dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), untuk 10 tahun ke depan stok pangan tetap aman. Meski begitu, dunia pertanian tetap was-was. Asumsi yang dikemukakan JK, lebih pada target peningkatan produksi beras minimal 5% setiap tahun, bisa mengimbangi kenaikan jumlah penduduk (1,4-1,5%) dan penurunan luas lahan. Pertambahan jumlah penduduk itu menggerus luas lahan 1,5% yang mayoritas sebagai lahan pertanian. Jika peningkatan produksi beras minimal 5% setiap tahun, kondisi pangan jelas aman untuk seluruh rakyat di Indonesia.
bokashiok@yahoo.com
INDONESIA pernah disuguh gerakan ‘’Revolusi Hijau’ untuk mendukung teknologi pertanian, yang lebih berpihak p

Hanya saja, masih ada jaminan secara verbal dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), untuk 10 tahun ke depan stok pangan tetap aman. Meski begitu, dunia pertanian tetap was-was. Asumsi yang dikemukakan JK, lebih pada target peningkatan produksi beras minimal 5% setiap tahun, bisa mengimbangi kenaikan jumlah penduduk (1,4-1,5%) dan penurunan luas lahan. Pertambahan jumlah penduduk itu menggerus luas lahan 1,5% yang mayoritas sebagai lahan pertanian. Jika peningkatan produksi beras minimal 5% setiap tahun, kondisi pangan jelas aman untuk seluruh rakyat di Indonesia.
Dibalik itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menetapkan program besar seputar ketahanan pangan, baik dengan sistem intensifikasi, ekstensifikasi maupun perluasan lahan pertanian. Tentu, semua komponen bangsa berharap agar program itu benar-benar bisa dilaksanakan, dan sesempurna gambaran SBY. Soal implementasinya, perlu berguru juga pada pengalaman. Karena, masalah baru bakal muncul kala aplikasi program yang sering berlarut-larut ditambal.
Pengamat pertanian Indonesia, Dr Ir Yul Harry Bahar menilai, pembangunan berkelanjutan saat ini sudah menjadi isu dan perhatian masyarakat dunia. Begitu juga di bidang pertanian. Untuk pertama kali, pembangunan berkelanjutan digelontor dalam sidang WCED tahun 1987. Saat itu, Perdana Menteri Swedia, GH Bruntland menyampaikan laporan bertajuk Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Bruntland menegaskan, pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), --pembangunan yang berupaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan aspirasi kebutuhan generasi berikut. Dalam bidang pertanian diterapkan dengan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan (berwawasan lingkungan), yang secara aplikatif termasuk aspek pertanian organik.
Pengamat pertanian Indonesia, Dr Ir Yul Harry Bahar menilai, pembangunan berkelanjutan saat ini sudah menjadi isu dan perhatian masyarakat dunia. Begitu juga di bidang pertanian. Untuk pertama kali, pembangunan berkelanjutan digelontor dalam sidang WCED tahun 1987. Saat itu, Perdana Menteri Swedia, GH Bruntland menyampaikan laporan bertajuk Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Bruntland menegaskan, pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), --pembangunan yang berupaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan aspirasi kebutuhan generasi berikut. Dalam bidang pertanian diterapkan dengan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan (berwawasan lingkungan), yang secara aplikatif termasuk aspek pertanian organik.
Penerapan pertanian organik merupakan satu dari pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, maka pengembangan pertanian organik tidak terlepas dari program pembangunan pertanian secara utuh. Strategi Pembangunan Pertanian secara tegas dipapar, pembangunan pertanian hasus dilakukan secara berkelanjutan, dengan memadukan aspek organisasi, kelembagaan, ekonomi, teknologi dan ekologis. Pembangunan agribisnis dilakukan dengan memberdayakan dan melestarikan keanekaragaman sumber daya hayati, pengembangan produksi dengan tetap menjaga pelestarian dan konservasi sumber daya alam (hutan, tanah dan air), mengembangkan kelembagaan lokal dan melegalkan hal ulayat masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam bagi kegiatan pertanian (communal resources management), serta meningkatkan nilai tambah dan manfaat hasil pertanian.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, Prof Dr Djoko Said Damardjati, MS mendukung gebrakan pertanian organik. Dukungan itu mengaca pada fenomena alam yang kian rusak akibat keserakahan manusia di muka bumi, selain selaras dengan alam, menghayati dan menghargai prinsip-prinsip yang bekerja dan hidup di alam dengan menyeimbangkan ekologi, keanekaragaman verietas serta keharmonisan dengan iklim dan lingkungan.
Dalam prakteknya pertanian organik memanfaatkan seoptimal mungkin bahan-bahan alami yang bertebaran di atas bumi, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan-bahan kimia sintetis untuk pertanian) termasuk rekayasa genetika (GMO). Hanya, dibolehkan memakai bakteri-bakteri pengurai aktif (biotic).
Ketua MAPORINA, Zaenal Sudjais menegaskan, pertanian organik sebagai sebuah solusi alternatif untuk menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Untuk pasar dalam dan luar negeri, produk organik justru kian berkembang seiring dengan kuatnya kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan back to nature. Bahkan, Indonesia menguasai lebih dari 20% lahan pertanian tropis dengan plasma nutfah beragam. Sejumlah negara di Asia Pasifik, pertanian organik menjadi strategi pengembangan pertanian nasional dan bagian dari program pengurangan kemiskinan masyarakat pertanian di pedesaaan.
Thailand, sebut Sudjaiz, berobsesi jadi produsen pertanian terbesar ke lima di dunia. Padahal, pertanian organik unggulan di Thailand hanya berupa beras, buah-buahan, rempah-rempah dan herbal. Selain itu, produk perikanan dan ternak organik juga dikenal di pasar organik dunia. Indonesia? Mungkin perlu ada gerakan revolusi hijau tahap II untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian, Prof Dr Djoko Said Damardjati, MS mendukung gebrakan pertanian organik. Dukungan itu mengaca pada fenomena alam yang kian rusak akibat keserakahan manusia di muka bumi, selain selaras dengan alam, menghayati dan menghargai prinsip-prinsip yang bekerja dan hidup di alam dengan menyeimbangkan ekologi, keanekaragaman verietas serta keharmonisan dengan iklim dan lingkungan.
Dalam prakteknya pertanian organik memanfaatkan seoptimal mungkin bahan-bahan alami yang bertebaran di atas bumi, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan-bahan kimia sintetis untuk pertanian) termasuk rekayasa genetika (GMO). Hanya, dibolehkan memakai bakteri-bakteri pengurai aktif (biotic).
Ketua MAPORINA, Zaenal Sudjais menegaskan, pertanian organik sebagai sebuah solusi alternatif untuk menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Untuk pasar dalam dan luar negeri, produk organik justru kian berkembang seiring dengan kuatnya kesadaran masyarakat dunia tentang pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan back to nature. Bahkan, Indonesia menguasai lebih dari 20% lahan pertanian tropis dengan plasma nutfah beragam. Sejumlah negara di Asia Pasifik, pertanian organik menjadi strategi pengembangan pertanian nasional dan bagian dari program pengurangan kemiskinan masyarakat pertanian di pedesaaan.
Thailand, sebut Sudjaiz, berobsesi jadi produsen pertanian terbesar ke lima di dunia. Padahal, pertanian organik unggulan di Thailand hanya berupa beras, buah-buahan, rempah-rempah dan herbal. Selain itu, produk perikanan dan ternak organik juga dikenal di pasar organik dunia. Indonesia? Mungkin perlu ada gerakan revolusi hijau tahap II untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
KPO/EDISI 143/JANUARI 2008
0 komentar:
Posting Komentar