Home » » Bangsa Terjajah

Bangsa Terjajah

SOKSIOLOGI
Oleh: Pak Oles

Pak Wayan duduk tercenung mengurut dada, melihat anak lelakinya yang semata wayang ngambek berat minta dibelikan sepeda motor keluaran terbaru. Karena kondisi keuangan yang memang lagi seret, Pak Wayan mencoba menawar tuntutan anaknya dengan sepeda motor bekas yang masih terlihat baru, tapi anaknya tidak bergeming dengan negosiasi bapaknya. Tuntutannya tetap pada semula, bahkan dipertegas dengan jadwal ketat, sepeda motor baru harus ada bulan ini atau anaknya minggat. Rupanya dengan jurus ketat, hati Pak Wayan luluh. Empat ekor sapi dilego, uangnya ditenteng ke diler sepeda motor. Besoknya anak Pak Wayan yang masih SMA itu sudah terlihat mondar-mandir keliling desa naik sepeda motor baru. Sedikit rasa bangga dan haru Pak Wayan bisa membahagiakan anaknya dengan sepeda motor baru. Sebulan kemudian kreativitas anak Pak Wayan mulai muncul, sedikit demi sedikit onderdil sepeda motor dipreteli dan diganti-ganti agar terlihat antik dan minimalis. Enam bulan kemudian sepeda motor baru itu sudah lengkap terpreteli, tinggal rangka, mesin dan roda dengan bunyi yang memekakkan telinga. Pak Wayan dongkol berat, tapi dia diam seribu bahasa. Kemarahannya ditelannya sendiri, walau sering nyangkut dikerongkongannya.
Anak Pak Wayan adalah contoh kecil dari keberadaan sebuah generasi baru yang mungkin tinggal di desa maupun di kota, sebagai anak orang kaya atau orang miskin. Mereka memiliki ciri yang sama, mental kerja kerasnya yang lemah, arogan, menganggap diri penting, cengeng, mudah patah semangat dan menggampangkan masalah. Mereka hidup manja dari hasil kerja orangtua atau orang lain. Di tingkat yang paling rendah mungkin permintaannya baru sepeda motor, di tingkat yang lebih tinggi permintaannya sudah lebih gawat lagi, berupa barang mewah, atau fasilitas mewah lainnya, seperti mobil mewah, rumah mewah, gaya hidup mewah, pekerjaan dan jaminan hidup mewah lainnya yang didapat bukan dari kerja keras, tapi dari memelas atau memeras orangtua atau orang lain. Generasi inilah yang melemahkan pondasi ekonomi dan sosial masyarakat kita, karena kontra produktif dan menghabiskan sumber daya secara percuma. Bahkan dalam banyak kasus, untuk memenuhi biaya hidup mewah itu sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis, misalnya menjual jabatan, kekuasaan, fasilitas dan kesempatan yang dimilikinya, yang sering kita dengar dengan istilah KKN.
Ada suatu kontradiksi di tengah-tengah masyarakat kita. Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang berlimpah di negara kita, merupakan suatu potensi sumber daya manusia yang sangat kuat untuk menggerakkan ekonomi. Artinya bangsa kita memiliki potensi yang sangat besar untuk berkarya dan bersaing untuk menghasilkan produk yang bisa kita konsumsi sendiri atau dijual ke negara lain. Jika kita melihat lowongan kerja di berbagai media, setiap hari selalu ada kebutuhan perusahaan untuk mengisi berbagai lowongan kerja. Kenyataannya sangat sedikit yang bisa dipenuhi oleh pencari kerja. Bahkan terlalu banyak pencari kerja yang bermimpi untuk mendapatkan uang, yaitu dengan bekerja sedikit dan kemampuan minim ingin mendapatkan penghasilan yang besar. Mereka ingin digaji besar bukan karena kemampuannya yang besar, tetapi karena kebutuhan hidupnya yang besar. Inilah hal yang patut disayangkan, mereka tidak mengerti bahwa bekerja adalah proses meningkatkan keahlian dan pengalaman untuk menjadi lebih ahli. Tentu saja keahlian yang dimilikinya akan menuntunnya ke arah pendapatan yang lebih besar. Kontradiksi itu kita lihat sebagai suatu masalah biasa, karena kita telah terbiasa melihat banyak pengangguran di tengah melimpahnya jumlah penduduk. Artinya kita harus berani mengakui bahwa jumlah angkatan kerja kita secara rata-rata tidak produktif.
Masalah ini muncul karena faktor budaya kerja keras yang belum tumbuh. Pak Wayan gagal menanamkan budaya kerja keras kepada anaknya, sehingga ia menghasilkan anak bermental benalu. Karena pendidikan dan pelatihan Pak Wayan kepada anaknya sangat lemah, maka lahirlah anak Pak Wayan yang bermental memble, lemah dan bergengsi tinggi. Jika proses itu berlanjut terus, pada akhirnya Pak Wayan dan keluarganya bangkrut secara perlahan-lahan, karena telah menginvestasikan uangnya ke dalam hal-hal yang tidak produktif.
Dalam bidang pemerintahan juga terjadi hal-hal yang serupa. Pemimpin-pemimpin dalam pemerintahan telah gagal menghasilkan pemimpin-pemimpin yang memiliki jiwa kerja keras dan bekerja cerdas. Seorang menteri, dirjen, kepala dinas atau direktur BUMN tidak direkrut karena kemampuannya, tetapi lebih karena faktor X, yaitu faktor hubungan, patron-klien, partai, dll. Tidak ada pertumbuhan pembangunan yang bisa diharapkan dari pemimpin jenis ini untuk rakyatnya. Mereka semuanya memakai jurus aji mumpung. Siapapun pemimpinnya, kalau tetap pemanfaatan dana pembangunan tidak berdasarkan prinsip efisiensi, penunjukan pemimpin tidak berdasarkan kompetensi, pastilah hasilnya sama-sama parah. Ibarat tukang masak, siapapun yang masak, dan sebaik apapun bahan dan bumbunya, jika di telunjuk tukang masak ada tainya, maka rasa masakan akan terasa yang bau itu.
Kenapa orang Indonesia tidak pernah bosan makan nasi? Setiap hari, sampai akhir hayatnya makan nasi. Ini karena faktor budaya. Jika belum makan nasi, berarti belum makan. Budaya makan jagung, singkong, ubi, sagu sudah menghilang. Tinggal budaya makan nasi yang masih ada. Kenapa orang Indonesia suka makan tempe? Ini juga karena faktor budaya. Walaupun orang Belanda bilang tempe itu jelek dan kurang gizi sampai bisa berpengaruh terhadap mental yang memakannya, yaitu mental tempe, tetapi orang Indonesia tetap saja makan tempe, karena rasanya enak dan memang kenyataannya bergizi.
Semuanya itu tidak diantisipasi oleh pemimpin kita. Bagaimana visi pemimpin untuk menjadikan negaranya berswasembada beras dan kedelai hampir tidak dimiliki. Uang negara tidak produktif digunakan untuk membeli bahan makanan budaya kita sendiri. Pemimpin kita juga santai saja menghadapi masalah kelangkaan pangan di masa yang akan datang. Masing-masing pemimpin negara telah memiliki politik pertaniannya sendiri untuk mencukupi kebutuhan pangan penduduknya, karena semakin tahun harga produk pertanian akan semakin tinggi, semakin langka. Kalau pemimpin kita asyik bermain harga dengan jurus membeli, tanpa mempersiapkan sumber daya dan infrastruktur untuk memproduksi sendiri, pastilah suatu saat kita akan menjadi negara yang subur dengan penduduk yang kelaparan. Buktinya apa? Masyarakat kita telah berteriak minta makan tempe, sedangkan tanaman kedelainya ada di Amerika. Setiap hari ada pemberitaan tentang masyarakat yang kurang gizi dan makan nasi aking. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan baik, dalam waktu sepuluh tahun lagi, hal-hal yang lebih parah akan terjadi.
Perlu dilakukan terobosan dan kampanye untuk pemberdayaan diri. Kita harus bisa menjadi bangsa yang mandiri dan bekerja keras, jangan memble, gengsi dan licik. Jika kita sekarang bisa memantapkan diri untuk bekerja keras, maka seratus tahun lagi baru kita bisa menjadi bangsa yang mandiri. Kalau tidak, maka saya hanya bisa mengelus dada. Beginilah nasib menjadi bangsa terjajah. Terjajah sampai ke anak-cucu.
Thanks for reading Bangsa Terjajah

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar