Home » » Menyemaikan Pendidikan Multikultural

Menyemaikan Pendidikan Multikultural

Oleh: Muh Kholid AS*
Upaya menjadikan kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai kekuatan bersama dari keterpurukan, tampaknya harus dijadikan agenda serius dalam tahun 2008. Sebab, sampai berakhirnya tahun 2007, cerita “lama” tentang konflik antar golongan di nusantara masih saja terus bergejolak. Kasus “peperangan” hampir dipastikan menjadi berita yang tidak bisa dilewatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam faktanya, kemajemukan dan kekayaan justru menjadi “masalah” bagi bangsa Indonesia sendiri. Hal ini secara mudah bisa dilihat dari maraknya berbagai kelompok yang mengedepankan egosentrisme untuk meraih kemenangan atas diri dan kelompoknya. Yang terjadi adalah, bahwa keragaman bukan lagi menjadi bahan perekat, melainkan menjadi “pemecah” kesatuan masyarakat. Melalui media massa, masyarakat bisa membaca, mendengar, serta menyaksikan drama kekerasan yang rasanya belum mau berakhir di bumi pertiwi.
Kondisi ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pendidikan yang ada selama ini telah “gagal” dalam menciptakan masyarakat yang sadar akan nilai-nilai multikulturalisme. Sebab, perbedaan dan kekayaan yang seharusnya dapat didayagunakan bagi kemakmuran masyarakat, justru menjadi pemicu bagi maraknya berbagai konflik. Pengetahuan terhadap pihak lain hanya sebatas stereotip, yang tentunya berakibat pada suburnya pemahaman yang cenderung demonologis, dengan mencitrakan pihak “lain” sebagai kelompok yang tidak beradab.
Di sinilah perlunya mengembalikan pendidikan sebagai media transformasi multikulturalisme, yang di dalamnya mengajarkan pengapresiasian terhadap keberagaman, perbedaan dan kemajemukan. Sudah seharusnya pendidikan yang mengajarkan tentang kesejajaran dan kesederajatan kebudayaan mulai diimplementasikan di Indonesia. Sebab, meski bangsa ini mengakui keragaman secara formal, tetapi dalam realitasnya tidak pernah terimplementasikan secara elegan.
Implikasi lanjut dari terabaikannya penghargaan dan pengakuan atas “yang lain”, adalah berbagai praktik kehidupan yang cenderung partikularis. Tidak sedikit aksi penyampaian aspirasi justru membuat “yang berbeda” menjadi terancam, dengan adanya pengagungan berlebihan atas superioritas kelompok tertentu atas kelompok lainnya. Tidak jarang yang terjadi adalah identifikasi sosial yang dilandasi oleh semangat primordialisme, yang tentunya rentan bagi lahirnya konflik yang dilandasi perbedaan.
Dalam kondisi yang rentan ini, kehadiran pendidikan multikultural adalah kebutuhan yang mendesak bagi Indonesia. Pendidikan ini bertujuan menghargai keragaman dan perbedaan dengan terbuka, hingga perspektif monokultural yang dipenuhi prasangka dan diskriminatif harus dihilangkan. Kerja ini adalah prasyarat bagi tegaknya kehidupan yang pro-eksistensi antar komunitas, di mana setiap kelompok itu bersedia menyongsong kelompok lain (others). Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain, sebagaimana tidak adanya kebudayaan yang rendah atau lebih rendah (inferior) dari yang lain.
Dalam pendidikan multikultural, perbedaan justru menjadi entitas yang harus dieksplorasi untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap perbedaan dengan semangat egaliter dan toleran. Sebaliknya, perspektif monokultural yang dipenuhi prasangka dan diskriminatif harus dihilangkan, dan digantikan dengan sikap menghargai yang “lain” secara terbuka. Adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, tetapi yang terpenting adalah terwujudnya perlakuan yang tidak diskriminatif antara komunitas satu dengan komunitas lainnya.
Mendesaknya pemberlakuan pendidikan multikultural ini dikarenakan Indonesia secara faktual merupakan ruang bertemunya berbagai agama, suku, ras, serta kategori-kategori lain, yang tentunya potensial menjadi energi positif maupun negatif. Di negeri ini terdapat etnis Jawa, Madura, Arab, Tionghoa, Papua, Bugis, Ambon, Bali, Batak, Sunda, India, serta lain sebagainya. Selain itu, dari segi agama, Indonesia seakan memang ditakdirkan untuk menjadi ruang hampir seluruh agama besar dunia mulai Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Tao, Baha’isme, serta lain sebagainya.
Pada satu sisi, keragaman ini menjadi kekayaan yang luar biasa sebagai modal pembangunan menuju kemakmuran. Namun pada sisi lain, keragaman ini juga bisa menjadi “ancaman” pembangunan kalau gagal dikelola secara adil. Apalagi di masa Orde Baru, tidak semua golongan mempunyai akses yang sama terhadap proses-proses politik dan ekonomi yang ada. Sehingga tidak heran, jika sampai saat ini masih ada kalangan yang berpandangan “sempit” terhadap eksistensi golongan yang berada di luar komunitasnya.
Tidak dapat dipungkiri, retaknya “kekitaan” ini dikarenakan masih eksisnya cara pandang yang sempit dalam melihat kebersamaan dalam keragaman. Padahal merujuk pada historisitas terbentuknya negara Indonesia, kemajemukan merupakan fakta yang eksis sejak dahulu dan tidak mungkin dapat dihindarkan. Pluralitas senantiasa menyusup dan menyangkut dalam setiap dan seluruh ruang kehidupan, termasuk dalam persoalan agama dan iman. Kemajemukan yang memang sudah taken for granted ini seharusnya dapat menjadi energi positif untuk mambangun sebuah kemajuan.
Menyadari begitu beragamnya elemen bangsa Indonesia ini sejak dahulu, maka tidak mengherankan jika para founding fathers republik ini mengambil Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, bukan berdasarkan agama tertentu maupun entitas sektarian tertentu lainnya. Ideologi kebangsaan ini merupakan hasil penggalian yang radikal terhadap nilai-nilai yang telah lama hidup dalam masyarakat, tanpa “mendiskriminasikan” satu dengan lainnya.
Harus disadari bahwa relasi antar agama, etnik, budaya, bahkan intern agama akan mengalami “kehancuran” ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling berkonfrontasi dan berebut kepentingan. Sehingga penolakan terhadap partikularisme dalam berbangsa menjadi penting, karena bahaya yang ditimbulkannya bisa membunuh spirit pluralitas. Sikap multikulturalis ini tentu tidak mungkin akan tertanam dengan sendirinya, tetapi butuh upaya optimal sejak dini dan dilakukan secara kontinu. Allah A’lam bi al-Shawab.
*)Pemerhati masalah sosial keagamaan, tinggal di Surabaya.
Thanks for reading Menyemaikan Pendidikan Multikultural

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar