OLEH: AGUS SALAM
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), yang disebabkan kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah seperti kebakaran jenggot. Karena kebutuhan energi di dalam negeri masih disubsidi, untuk meringankan beban, pemerintah mengajak masyarakat mengatasi masalah energi bersama-sama, mulai dari konversi minyak tanah ke gas (kebutuhan rumah tangga) hingga pemakaian biofuel untuk alat transportasi. Kemudian, dibentuklah Tim Pengembangan Bahan Bakar Nabati yang dikendalikan oleh Alhilal Hamdi.
Meski sejumlah uji coba masih terus dilakukan, namun program desentralisasi biofuel seperti desa mandiri energi baru sebatas wacana, meski pencanangannya sudah digelontor sendiri oleh pemerintah. Malah keluhan warga soal kelangkaan minyak tanah masih terjadi di berbagai daerah. Untuk beberapa kabupaten, modal masih tetap dikeluhkan untuk mendukung program biofuel. Artinya sangat diharapkan kucuran dana dari pusat. Selain itu, pengurus izin dinilai bertele-tele, dan bahkan harus menunggu delapan bulan. Itupun perlu mengetuk pintu 22 departemen.
Di balik fenomena ini, Pertamina selaku Badan Usaha Milik Negara masih melantunkan melodi klasik yakni merugi. Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina, Achmad Faisal pernah menyataka, kerugian Pertamina dari Mei 2006 sampai Maret 2007 tercatat Rp 16,9 miliar. Tinggi harga minyak kelapa sawit di atas US$ 800 per ton konon jadi salah satu biang keladi utama. Sementara pemakaian tanaman jarak masih belum memenuhi skala ekonomis.
Fenomena itu diperkuat oleh Bendahara Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia, Paulus Tjakrawan. Menurut Paulus, harga CPO sudah tidak kompetitif untuk pengembangan biodiesel. Bila harga CPO terus naik, kebutuhan CPO untuk biodiesel bakal melemah. Sebab, harga CPO sekarang sama sekali tidak memberi insentif bagi produsen biodiesel untuk produksi missal, dan itu memukul pabrik penyedia biodiesel hingga gulung tikar.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Purnardi Djojosudirdjo menyebut, Indonesia mampu menjadi 'Arab Saudinya biofuel dengan potensi alam yang dimiliki. Tetapi, ada pembiaran dari pemerintah yang mengakibatkan industri biofuel berjalan di tempat. Selama tahun 2005-2006 pemerintah giat mencanangkan program pengembangan biofuel, dan upaya itu direspon positif oleh kalangan akademi, peneliti maupun pengusaha.
Beberapa akademisi dan peneliti mulai mengembangkan cara-cara produksi biofuel. Pemerintah melanjuti dengan membuat prototipe (proyek percontohan) pengolahan biofuel di berbagai wilayah
‘’Pemerintah seharusnya mengambil contoh keberhasilan pengembangan biofuel di sejumlah negara. Di seluruh dunia saat ini pemakaian biofuel didorong kebijakan pemerintah. Filipina membuat undang-undang khusus biofuel yang mengharuskan publik menggunakan bahan bakar itu. Di Indonesia meski ada Keppres (Keputusan Presiden) tentang Bahan Bakar Nabati, tetapi tidak diikuti kejelasan atas insentif yang diberikan, juga tentang kewajiban publik,’’ katanya.
Ketua Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, Al Hilal pada seminar pemanfaatan biofuel di Deptan menampik jika program pemerintah dikatakan macet. Meski industri biodiesel sudah mulai memakai bahan
0 komentar:
Posting Komentar