Home » , » Bisakah RS Belajar Dari Kasus Prita

Bisakah RS Belajar Dari Kasus Prita

Oleh: Mulyana
Kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional hingga saat ini masih menjadi bagian berita hangat di sejumlah media massa cetak maupun elektronik. Tidak itu saja, kasus tersebut juga sempat menjadi perhatian dan simpati calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung pada 8 Juli mendatang, bahkan hingga mendatangi Prita di Lembaga Pemasyarakatan.
Kasus yang berawal dari keluhan pasien RS Omni Internasional Alam Sutera Tangerang bernama Prita Mulyasari (32) lewat surat elektronik (e-mail) soal buruknya pelayanan RS itu terus menyebar, dan berujung di LP Wanita Tangerang, Banten 13 Mei 2009 atas tuduhan pencemaran nama baik. Mantan Ketua PB IDI Azrul Azwra menilai, kasus Prita yang diperkarakan oleh Rumah Sakit Omni Internasional harus dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh rumah sakit di Indonesia, untuk memperbaiki mutu layanan dan membuka jalur komunikasi yang baik dengan pasien. "Kalau ada pasien mengeluh atas pelayanan RS, harusnya pihak rumah sakit mendengarkan dan memperbaiki, bukan malah pasiennya dipenjarakan," kata Azrul.
Azrul mengatakan, sebenarnya kasus seperti itu sudah sering terjadi, namun masalah ini jarang mencuat ke permukaan karena sudah dianggap hal biasa. Tindakan pihak rumah sakit sungguh berlebihan, karena pasien berhak memperoleh informasi dan menyampaikan keluhan, hal itu sudah diatur dalam UU Praktek Kedokteran. Dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran RI telah diatur mengenai salah satu unsur mutu pelayanan medis seperti keterbukaan komunikasi dan informasi antara dokter dengan pasien.
Ia mengatakan, kasus ini sebagian dampak dari rumah sakit berbentuk Perseroan Terbatas (PT), karena cenderung hanya lebih mementingkan fungsi usaha dan keuntungan, padahal ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, selain mencari keuntungan sebagai perusahaan, RS juga harus menjalankan fungsi sosial. Dalam peraturan Menteri Kesehatan tersebut, rumah sakit wajib menjalankan fungsi sosial seperti pengaturan tarif pelayanan dengan memberikan keringanan atau pembebasan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu, dan pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka, tetapi mengutamakan kesehatan. "Saya rasa peraturan menteri itu sebagian tidak dijalankan RS karena sanksinya tidak jelas. Padahal bisa saja izinnya dicabut," katanya.
Untuk itu, kata Azrul, solusi terbaik bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan jaminan kesehatan adalah perlu adanya sistem jaminan kesehatan nasional dalam bentuk asuransi kesehatan nasional. Namun, demikian bagi masyarakat miskin tetap harus ditangggung pemerintah.
Administrasi
Pandangan lain disampaikan Mantan PB IDI Kartono Muhammad, ia menilai peraturan tentang rumah sakit selama ini belum jelas, karena belum mengatur mutu layanan medis dari rumah sakit terhadap pasien. Menurut Kartono, selama ini belum ada aturan yang lebih khusus tentang mutu layanan RS bagi pasiennya termasuk lembaga yang mengawasi kinerja rumah sakit, meskipun ada lembaga yang menyatukan rumah sakit seperti Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi).
Peraturan tentang rumah sakit yang ada saat ini masih sebatas mengatur administrasi, perizinan dan sarana-prasarana oleh Depkes. Sedangkan aturan mutu layanan medis RS bagi pasien secara khusus belum ada. "Rumah sakit dibiarkan tumbuh begitu saja, tapi aturannya belum jelas," kata Kartono.
Padahal, lembaga yang mengawasi mutu layanan medis bisa saja dilakukan oleh Persi bekerja sama dengan Departemen Kesehatan (Depkes). Ia juga menyayangkan, rumah sakit yang berorientasi pada pasar dan keuntungan, tanpa mempertimbangkan fungsi sosial dari rumah sakit itu sendiiri untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan baik kepada masyarakat.
Kartono mengatakan, duduk perkara Prita dengan Rumah Sakit Omni Internasional adalah soal komunikasi yang tidak berjalan dengan lancar antara pasien dengan pihak rumah sakit karena keluhan terhadap RS yang disampaikan pasien tidak ditanggapi. Untuk itu, tim khusus yang dibentuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyelidiki lebih lanjut kasus Prita dengan RS Omni Internasional akan menyampaikan hasil penyelidikan maksimal dua minggu setelah ditugaskan.
Ketua Umum PB IDI terpilih periode 2009-2012, dr Prijo Sidipratomo mengatakan, tim khusus beranggotakan 10 orang dokter ditugaskan untuk menyelidiki lebih lanjut dan mengumpulkan data terkait kasus Prita dengan RS Omni Internasional khususnya masalah praktik kedokteran. ’’Kalau memang hasil penyelidikan terbukti ada pelanggaran kode etik kedokteran, jelas akan ada sanksi bagi dokter bersangkutan,’’ kata Rrijo. Namun tim bentukan IDI hanya menyelidiki seputar masalah praktik kedokteran apakah ada unsur pelanggaran kode etik atau tidak, tidak menyangkut penyelidikan wilayah hukum, sebab masalah itu harus dipisahkan. Tim menyampaikan laporan hasil penyelidikan dan pengumpulan data ke Pengurus Besar IDI. Tim Ad Hoc yang diketuai Prof Zubairi Djoerban bekerja sama pengurus IDI Wilayah Banten meminta keterangan para dokter RS Omni Internasional Tangerang dan mengumpulkan fakta-fakta khusus terkait praktik kedokteran.
IDI minta masalah itu harus didudukkan secara jernih antara masalah pencemaran nama baik yang merupakan wilayah hukum dan praktik kedokteran yang merupakan wilayah kode etik profesi kedokteran. Pelajaran yang bisa diambil dari kasus tersebut bagi masyarakat atau pasien adalah jika tidak puas dalam pelayanan ataupun tidak memperoleh informasi yang jelas tentang data pelayanan medis, bisa mengadu ke komite medik RS setempat atau IDI cabang. Jika masalah pasien berkaitan dengan institusi rumah sakit, bisa lapor ke Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Bagi para dokter, pelajaran yang diambil dari kasus itu; harus mempunyai rasa empati yang tinggi pada pasien dalam memberikan pelayanan atau memberi informasi yang benar sesuai kode etik kedokteran dan aturan yang berlaku.
Selama 2008 IDI Pusat melalui IDI wilayah menerima sekitar 0 kasus pengaduan pasien terhadap rumah sakit dan dokter akibat ketidakpuasan atas pelayanan medis. Pengaduan tersebut semuanya berupa pelayanan medis rumah sakit dan dokter yang kurang memuaskan pasien, namun demikian semua pengaduan ke IDI tersebut sudah diselesaikan melalui IDI dan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) di setiap wilayah.
Pada sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) segera merampungkan RUU Rumah Sakit untuk ditetapkan jadi UU tahun 2009 bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan DPR-RI periode 2004-2009. Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI Max Sopacua mengatakan, pembahasan RUU diperkirakan tinggal 10%, sebab ada beberapa item yang belum selesai pembahasannya karena melibatkan berbagai unsur masyarakat dan profesi. Pembahasan RUU tentang Rumah Sakit sangat alot karena harus melibatkan berbagai pihak untuk mendengarkan masukan-masukan dan mengakomodir semua kepentingan seperti MUI, PGI, perawat, dokter dan masyarakat yang mengunakan jasa rumah sakit.
Jika RUU disahkan, dapat menjamin pemenuhan hak-hak pasien tekait pelayanan kesehatan dari rumah sakit. Kasus seperti yang terjadi antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional tidak lagi terjadi karena pihak rumah sakit tidak menggunakan dasar hukum berbeda, yakni UU ITE pasal 27 untuk memperkarakan pasien yang mengadu kepada pihak rumah sakit. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Bisakah RS Belajar Dari Kasus Prita

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar