Home » , » Kuat, Kapitalisme Kelola RS

Kuat, Kapitalisme Kelola RS

Oleh: Irwan Arfa
Prita Mulyasari memang telah keluar dari penjara, tapi ia masih harus menjalani persidangan yang melelahkan di pengadilan. Siksaan itu harus Prita jalani karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum yakni pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional. Proses hukum berawal dari pengiriman email yang dilakukan Prita kepada teman-temannya tentang ketidaknyamanan pelayanan kesehatan yang didapatkan di RS.
Mungkin ia hanya kecewa dan berkeluh kesah kepada teman-teman karena tidak mengetahui ke mana harus mengadu. Namun ketika email itu dipublikasikan, Prita tidak menduga harus jalani kenyataan pahit, dipenjara dan terpisah dari keluarga.
Kapitalisme RS apa yang dialami Prita akibat dari asas kapitalisme yang sudah berlaku dalam pengelolaan RS. Demikian Direktur LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr Firman Lubis, MPh.
Menurut Sitorus, angin kapitalisme RS mulai bertiup kencang kala diberlakukan UU 23/1992 tentang Kesehatan sebagai pengganti UU 9/1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan. Melalui UU 23/1992, pemerintah mengizinkan badan hukum rumah sakit berbentuk perseroan terbatas (PT) yang berorientasi bisnis. Padahal semestinya RS mengemban fungsi sosial. Dengan UU itu pemerintah tidak lagi memiliki hak mengatur atau intervensi terhadap model operasional RS yang telah beralih jadi ladang bisnis. Dengan kondisi itu, tampak bahwa penyelengara negara telah mendistorsi kepentingan orang banyak dan berupaya melindungi segelintir pemilik modal.
Pelan tapi pasti, mulai terjadi degradasi fungsi sosial RS sehingga kegiatan yang tidak menguntungkan secara materi mulai dihilangkan satu per satu. Contohnya, sebut Sitorus, kewajiban pengelola RS untuk menyediakan tempat tidur kelas III secara gratis beserta perawatan tenaga medik dan obat. Sejak tahun 60-an hingga 1992, fungsi sosial RS masih ada dan masyarakat miskin masih bisa mendapat layanan kesehatan secara gratis meski kualitas berbeda.
Namun setelah berlaku UU 23/1992 tentang Kesehatan, hak rakyat mulai dikurangi dengan hanya kewajiban menyedikan tempat tidur oleh RS. Sedangkan dokter dan obat tetap dibayar. Lalu, hak rakyat itu dikurangi lagi dengan menetapkan kewajiban tempat tidur gratis hanya di RS pemerintah, sedangkan RS swasta tidak diwajibkan. Terakhir tidak ada lagi RS yang menyiapkan tempat tidur, pelayanan medis dan obat gratis bagi orang miskin hingga kini. Kalau ada, hanya RS yang mengikat kontrak dalam program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Itulah fenomena kapitalisme yang sudah melanda pola pengelolaan RS di Indonesia.
Prof Lubis berpendapat, asas kapitalisme RS dapat dilihat dari belum adanya peraturan pemerintah yang melindungi masyarakat dari kemungkinan praktik pemerasan pengelola RS. Contohnya, ketentuan pencantuman tarif pengobatan agar masyarakat mengetahui total dana yang disiapkan jika menginginkan layanan tertentu. Pola kapitalisme di RS kian banyak terjadi karena Departemen Kesehatan (Depkes) jarang melakukan pengawasan. Malah Depkes sering terkesan lepas tangan terhadap pengawasan RS meski institusi yang berwenang seperti proses pemberian izin. ’’Depkes jangan hanya mau memberi izin tapi tidak mau mengawasi,’’ tegas Prof Lubis yang juga Ketua LSM Koalisi Untuk Indonesia Sehat (KUIS) itu.
Sitorus menambahkan, kapitalisme itu menyebabkan beberapa RS di dalam negeri jadi calo atau anak perusahaan RS yang di luar negeri. Pemilik-pemilik modal dari luar negeri yang mempunyai dana besar bisa membeli atau mendirikan RS di Indonesia, lalu mengoneksikan dengan beberapa RS di luar negeri. Praktik percaloan itu dapat terlihat dari sekitar 40% operasional RS di Kepulauan Riau yag mencantumkan boleh berobat ke luar negeri atau memilih negera lain seperti Singapura dan Malaysia melalui mereka. Pola kapitalisme itu menyebabkan masyarakat sering dijadikan alat pengelola RS untuk mengembalikan modal khususnya pembelian peralatan medik yang mahal.
Menurut Sitorus, harga alat-alat kedokteran itu sangat mahal, berkisar antara Rp 1,5 miliar hingga Rp 7 miliar per unit atau lebih mahal lagi. Jika menggunakan cara biasa, pengembalian modal sulit dilakukan karena tidak semua pasien menderita sakit parah dan harus memakai peralatan itu. Agar dapat mengembalikan modal dengan cepat, alat-alat kedokteran dimaksimalkan penggunaannya dengan dipergunakan pada setiap pasien yang berobat.
Caranya, para dokter sering melebih-lebihkan hasil diagnosa sehingga diperlukan tindakan medik yang lebih jauh. Ia mencontohkan, kalau pasien menderita sakit kepala, umumnya disebabkan kurang darah, kurang tidur atau karena sirkulasi darah yang tidak baik. Lalu, pihak RS menyebut second opinion atau kemungkinan penyebab lain sehingga diperlukan tindakan lanjut seperti pemeriksaan darah dan kolesterol yang tidak perlu atau tidak terkait penyakit yang diderita. Karena ada pemeriksaan lanjutan, pasien wajib membayar lebih karena penggunaan peralatan kedokteran yang mahal itu.
Namun, dalam praktiknya pasien cenderung pasrah karena memang sangat mengharapkan kesembuhan yang secara profesionalisme hanya diketahui dan dapat dilakukan para dokter. ’’Jangankan pasien menengah ke bawah, para jenderal akan bilang, iya dokter, bagaimana baiknya saja agar cepat sembuh. Para profesor akan begitu,’’ katanya. Hal itu disebabkan pada prinsipnya manusia ingin mempertahankan hidup sehingga sering tidak mempedulikan biaya yang harus dikeluarkan atau apa yang dilakukan terhadap dirinya. Mungkin, bagi para pejabat atau orang kaya tidak terlalu masalah tapi justru sangat memberatkan masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.
Prita Mulyasari hanya satu dari sekian banyak masyarakat yang jadi korban kapitalisme pengelolaan RS di Indonesia. ’’Sebelumnya, sudah banyak kasus serupa, hanya saja tidak di-back up media massa seperti sekarang ini. Ada praktik penyanderaan selama dua minggu terhadap seorang pasien yang mengalami patah tangan akibat kecelakaan lalu lintas di sebuah RS di Jakarta Selatan karena tidak mampu membayar biaya pengobatan. Lalu, praktik merantai pasien dengan besi di tempat tidur di sebuah RS di Binjai, Sumatera Utara (Sumut) atau penolakan memberi pengobatan pasien penderita AIDS di Medan. Semua peristiwa itu sangat sadis tapi terabaikan,’’ tandas Sitorus.
Sitorus menilai, kasus Prita itu cerminan dari realita masyarakat yang tidak mengetahui cara bersikap atau menuntut haknya atas kapitalisme pengelolaan RS. Cara Prita yang tidak memakai prosedur hukum yakni dengan mengirim email kepada teman-temannya dianggap melawan hukum oleh RS Omni Internasional. Seharusnya, Prita menempuh upaya hukum dengan melaporkan perlakuan yang dialami ke pihak kepolisian seperti ketentuan perundang-undangan. ’’Itulah yang kita sayangkan, kenapa RS Omni yang lebih dulu mengadu, bukan Prita. Dengan pengelolaan RS dan UU seperti sekarang ini, yakinlah akan muncul Prita-Prita lain,’’ kata Sitorus.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai banyaknya kasus selama ini karena tidak berfungsinya mekanisme komunikasi antara pasien dengan pengelola RS. ’Kasus yang menimpa Prita hanya salah satu ekses dari tidak berpungsinya komunikasi itu," kata Ketua YLKI, Huzna Zahir. Idealnya, pasien selaku konsumen harus dianggap subjek atau bagian proses kegiatan pengobatan yang dilakukan RS. Selaku subjek, pasien harus diajak komunikasi untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai konsumen dari layanan kesehatan yang diberikan.
Sayangnya, harapan ideal itu jarang dilaksanakan karena pengelola RS tidak menyediakan wadah komunikasi dengan pasien, padahal sudah ada standar pelayanan publik sesuai Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 20-M.PAN-04-2006. Mungkin, pengelola RS banyak yang dengan sengaja tidak menyiapkan wadah komunikasi itu untuk memanfaatkan ketidaktahuan pasien demi mendapatkan keuntungan. Praktik itu dapat dilihat dari banyak pasien yang disuruh jalani pemeriksaan tapi tidak diketahui apa manfaat dan tujuannya.
Mungkin, selama ini pengelola RS lebih menganggap pasien sebagai objek sehingga yang berlaku adalah siapa membutuhkan siapa, kata Huzna. Prof Firman Lubis mengimbau kasus yang terjadi pada Prita Mulyasari menjadi pelajaran bagi Depkes untuk lebih mengawasi operasional RS. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Kuat, Kapitalisme Kelola RS

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar