Home » » Agribisnis Kakao Masih Seperti Masa VOC

Agribisnis Kakao Masih Seperti Masa VOC

Oleh: Rz. Subagiyo
Sebagai negara produsen kakao terbesar kedua di dunia, bisa jadi merupakan hal yang membanggakan bagi Indonesia. Sebelumnya Indonesia masih di urutan ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana.
Produksi kakao nasional saat ini sekitar 570 ribu ton, sedangkan Pantai Gading sebanyak 1,3 juta ton, namun di pasar internasional Indonesia hanya sekedar menjadi pemasok bahan baku industri pengolahan coklat milik negara-negara maju.
Menurut data Departemen Pertanian kakao menjadi salah satu komoditas penghasil devisa terbesar ketiga setelah minyak sawit dan karet.
Dirjen perkebunan Achmad Mangga Barani mengatakan, dalam empat tahun ke depan, produksi kakao diprediksi akan meningkat pesat setelah pemerintah meluncurkan program peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi kebun kakao.
Namun karena ekspor komoditas kakao Indonesia masih dalam bentuk biji mentah, maka tidak banyak devisa yang didapatkan negara karena nilai tambahnya sangat rendah, sebaliknya nilai tambah lebih tinggi dinikmati negara-negara industri pengolah kakao.
Salah satu nilai tambah dari biji coklat yakni "cocoa butter" yang jumlahnya hampir 30 persen pada setiap biji kakao, padahal nilai cocoa butter lebih tinggi mencapai Rp60 ribu/kg dibandingkan biji kakao yang hanya Rp25 ribu/kg.
Mangga menjelaskan, kakao Indonesia sudah dikenal di pasar perdagangan dunia sejak masa penjajahan Belanda dengan perusahaan dagangnya VOC. Indonesia menjadi salah satu pemasok biji kakao sebagai bahan baku industri di negara-negara lain. "Apa kita ingin terus seperti ini? Nilai tambah malah dinikmati negara lain. Jika hanya menjadi pemasok bahan mentah terus kita tidak akan beranjak dari masa VOC," katanya.
Hal itu tak lepas dari kondisi industri berbahan baku kakao dalam negeri yang saat ini seperti dalam keadaan mati suri karena kekurangan bahan baku.
Saat ini dari 16 industri pengolahan kakao yang ada, hanya dua yang masih beroperasi normal, 12 lainya tengah menanti ajal dan dua lainnya malah sudah gulung tikar.
Kondisi yang dialami industri kakao dalam negeri sangat berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang mana meski tidak memiliki kebun kakao, industri pengolahan kakao di negara tetangga itu jauh lebih maju.
Padahal selama ini pasokan bahan bakunya berasal dari kebun yang ada Indonesia dan diperkirakan 60 persen dari sekitar 350 ribu ton ekspor kakao Indonesia diserap negeri jiran.
Dengan total kapasitas industri mencapai 300 ribu ton di dalam negeri, ternyata yang berjalan hanya 50 persen sebaliknya Singapura yang tidak mempunyai kebun kakao justru kapasitas industrinya mencapai 100 ribu ton dan berjalan dengan baik.
Begitu juga dengan Malaysia, meski produksi kakaonya tidak lebih 30 ribu ton, tapi kapasitas industri kakaonya mencapai 300 ribu ton. "Ini karena sebagian besar biji kakao diekspor. Karena itu harus dilihat secara bagus dan simultan, bagaimana membuat kebijakan perkakaoan Indonesia," kata Mangga.
Dukungan rendah
Kondisi industri kakao dalam negeri yang tidak berjalan dengan optimal tersebut tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang kurang berpihak atau masih rendahnya dukungan pemerintah.
Salah satu kebijakan yang tidak mendukung pengembangan industri kakao dalam negeri menurut Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman, ekspor biji kakao tidak dikenakan bea keluar, sedangkan ekspor produk kakao olahan, seperti bubuk (powder) justru terkena pajak ekspor 30 persen.
Tentu saja hal itu menjadikan kakao yang diekspor lebih banyak dalam bentuk biji dibandingkan produk olahan, terlebih lagi ekspor produk olahan kakao Indonesia ke negara lain mengalami hambatan tarif seperti di China terkena bea masuk 20 persen.
Sementara itu ketika industri pengolahan membeli biji kakao dari petani, juga terkena pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen meski kemudian kebijakan tersebut dihapus pada tahun 2007.
Selain itu dukungan perbankan juga masih sangat kurang, dengan tingginya bunga bank sebesar 14 persen. "Ini sangat berbeda dengan Singapura dan Malaysia. Untuk mendorong industri berbahan baku kakao, dua negara itu memberikan berbagai insentif," kata Piter membandingkan.
Pemerintah Singapura menetapkan bea masuk biji kakao nol persen dan bunga pinjaman perbankan hanya 5 persen begitu juga dengan Pemerintah Malaysia dengan memberikan tax holiday selama 10 tahun, bea masuk biji kakao nol persen, bunga perbankan 5 persen dan dukungan infrastruktur. "Oleh karena itu tak mengherankan meski hanya sedikit memiliki kebun kakao, industri pengolahan kakao di negara itu berkembang cukup baik," katanya.
Kebijakan lain yang dilakukan negara jiran tersebut yakni untuk menghambat produk olahan kakao dari luar negeri mereka menetapkan bea masuk kakao olahan sebesar 25-30 persen.
Kebijakan Pemerintah Malaysia itu sebagai upaya mereka menjadikan industri pengolahan kakao terbesar di Asia. Piter menyatakan, tekad Pemerintah Malaysia itu sangat jauh berbeda dengan Indonesia.
Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, Pemerintah Indonesia malah hanya bertekad menjadi produsen biji kakao terbesar di dunia. Dengan target produksi biji kakao pada 2020 sebanyak 2 juta ton, mengalahkan Pantai Gading yang produksinya hanya sekitar 1,38 juta ton. "Jadi siapa yang akan mendapatkan nilai tambahnya? Selama ini negara yang tidak mempunyai bahan baku selalu memanfaatkan kelemahan Indonesia," katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Coklat Indonesia (APIKCI), Sonny Satari mengatakan, penyebab banyaknya industri pengolahan kakao yang tidak beroperasi karena pasokan bahan baku di dalam negeri kurang.
Selama ini produksi kakao petani dalam negeri banyak yang tidak difermentasi bahkan sebagian besar produksi biji kakao yang non fermetasi itu justru diekspor sementara industri kakao dan coklat memerlukan bahan baku biji kakao yang sudah difermentasi.
Karena itu untuk memenuhi kebutuhan biji kakao yang tiap tahunnya mencapai 80 ribu ton, industri kakao harus mendatangkan sebanyak 25 ribu hingga 30 ribu ton dari Ghana dan Pantai Gading, sedangkan sekitar 50 ribu ton dibeli dari dalam negeri.
Kondisi ini berbeda dengan Pantai Gading dan Ghana. Kedua negara yang selama ini menjadi produsen kakao dunia, menetapkan ketentuan bahwa ekspor produk kakao harus difermentasi terlebih dahulu. Karena itu biji kakao dari Pantai Gading dan Ghana di pasar AS mendapat harga primium, sedangkan biji kakao Indonesia kerap terkena pemotongan harga otomatis (automatic detention).
Saat ini harga rata-rata kakao terminal New York sekitar 2.500 dolar AS/ton, harga kakao Ghana mencapai 2.700 dolar AS/ton. Sedangkan kakao Indonesia hanya 2.300 dolar AS/ton.
Bea keluar
Untuk mencegah semakin banyaknya industri pengolahan kakao yang bertumbangan kalangan industri mendesak pemerintah menyusun kebijakan yang bisa mengurangi ekspor kakao dalam bentuk biji.
Menurut Piter Jasman salah satu alternatifnya yakni dengan menerapkan Bea Keluar sehingga mampu menahan membanjirnya biji kakao ke luar negeri kemudian dialihkan untuk memasok industri dalam negeri. "Kuncinya adalah penerapan bea keluar. Jika itu diterapkan, maka akan melindungi industri kakao dalam negeri," katanya.
Tumbuhnya industri kakao dalam negeri akan memberikan banyak keuntungan. Menurut dia, selain akan menyerap tenaga kerja cukup besar, Indonesia berpotensi menjadi negara pemasok utama produk olahan coklat dunia karena kondisi dalam negeri relatif lebih aman daripada dua negara pesaing kakao lainnya yakni Ghana dan Pantai Gading.
Permintaan dunia terhadap produk olahan kakao juga terus meningkat sekitar 2-4 persen per tahun atau sekitar 60 ribu hingga 120 ribu ton/tahun. Bahkan pasar makin terbuka, jika konsumsi coklat tiga negara berpenduduk besar yakni Indonesia, India dan China meningkat dari hanya 0,06 kg/kapita/tahun menjadi 1 kg/kapita/tahun.
Wakil Ketua Dewan Kakao Indonesia (Dekindo), Teguh Wahyudi dalam kunjungan ke PT Bumitangerang Mesindotama, salah satu produsen bubuk coklat menjelaskan, pihaknya dalam dua bulan ke depan berupaya memfinalisasi besarnya angka bea keluar ekspor biji kakao. "Kalau bea keluar ini tidak diterapkan, pabrik kakao dalam negeri kalah bersaing dengan Malaysia," katanya.
Sepertinya , sudah tidak ada pilihan lain bagi Dekindo dan pemerinta huntuk menghentikan arus keluar ekspor biji kakao selain menghilangkan daya saing ekspor dalam bentuk biji ini apalagi ekspor kakao dalam bentuk biji sudah dikuasai eksportir/trader asing yang sudah bercokol bertahun-tahun di Indonesia.
Selain itu diharapkan industri pengolahan dalam negeri semakin berkembang yang dampaknya mampu meningkatkan nilai tambah produk kakao Indonesia di pasar internasional sehingga tidak lagi seperti ketika agribisnis kakao masih dibawah pengelolaan VOC.
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Agribisnis Kakao Masih Seperti Masa VOC

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar