Home » » Perangkap Alienasi Televisi

Perangkap Alienasi Televisi

Oleh: Ardhie Raditya, MA*
Tayangan televisi kita kian hari kian memprihatikan. Tidak sedikit dari tayangan televisi yang cenderung mengalienasi (membius) kesadaran kritis massa dan lebih bernuansakan hedonisme semata. Meski ada juga tayangan televisi bertajuk edukatif, tetapi porsinya kalah jauh dengan acara gosip, infoteiment, serta realitas cinta monyet jaman sekarang. Intinya, televisi kita kini lebih berdimensi apologis, elitis, banalistik daripada kritis dan populistik.
Dalam artikelnya, sosiolog prancis, Pierre Bourdieu (2004) pernah menulis perangkap alienasi dari televisi (The Traps Alienation in Television). Menurutnya, perkembangan televisi belakangan ini di hampir di banyak negara, mulai memutuskan tali keberpihakannya pada kaum subordinate dan marjinal. Televisi di era posmodernitas ini, sudah menjadi alat kekuasaan yang digunakan sebagai kendaraan meraup keuntungan. Baik keuntungan yang bersifat ekonomi, kultural ataupun politis.
Di Inggris misalnya. Beberapa tahun lalu, ketika buruh dan aktifis keadilan berhamburan di jalan-jalan untuk menentang kebijakan lembaga donor asing (IMF hingga WTO) yang ingin memeloroti peran negara dalam rangka mengendalikan ekonomi domestik, justru kebanyakan televisi di sana tidak meliputnya secara arif dan proporsional.
Meski liputan demonstrasi itu ditayangkan, toh pihak yang dapat dimintai pendapatnya justru datang dari kebanyakan elite kekuasaan. Sementara, suara dari pihak oposisi (penentang kebijakan lembaga donor) itu hanyalah diberi tempat yang sempit. Yakni, tempat di mana ketika terkena iklan pemutih kulit saja, pesan kaum oposisi itu langsung hilang terbawa angin. Karena itu, Bourdieu pun sangat tegas mengatakan bahwa televisi kini adalah corongnya kekuasaan, dan mulai tak lagi memegang moralitas kerakyatan yang sesungguhnya.
Televisi di negeri kita pada umumnya demikian. Kalau anda tidak percaya, maka dalam satu hari saja cobalah hitung berapa banyak tayangan sinetron, reality show dan gosip para artis. Kemudian, coba ada simak juga berapa banyak waktu untuk acara edukasi dan beritanya. Saya pun pernah melakukan kajian idiografik ini.
Di salah satu televisi ternama di Indonesia (RCTI) misalnya, dalam sehari saja acara edukasi dan beritanya kurang lebih 3-5 jam saja. Sisanya, 15-20 jamnya justru lebih banyak tayangan sinetron, film, gosip, dan reality show. Terkadang, di dalam tayangan sinetron, film dan reality show itu pemirsanya disuguhkan sebuah tontonan yang mengandung unsur kekerasan, sensualitas, hingga berbohong untuk mencapai semua tujuan.
Tidak hanya itu, sebagian besar tayangan dinetron ataupun reality show itu justru tak sedikit yang mendistorsi bahasa Indonesia yang baku dan standar. Lihat saja, di hampir semua sinetron bahasa yang digunakan pemainnya adalah bahasa yang bersifat gaul ataupun prokem. Misalnya, loe-loe, gue-gue. Atau jadul banget sih loe, so what gitu loe, dan ya-iyalah masak ya-iya dong.
Di balik tayangan itu pula, justru berbagai realitas semu di dalam iklan (tayangan hiperealitas) juga tak kalah massifnya disuguhkan. Pada satu tayangan gosip saja, paling tidak ada puluhan iklan. Yang lebih ironis, iklan itu adalah iklan yang mengkomersialisasikan tubuh manusia. Mulai iklan parfum, pemutih kulit, pelangsing, penambah stamina, kosmetik, makanan ataupun minuman kesehatan. Kini, komposisi iklan tubuh itu mulai dibarengi dengan iklan-iklan politik. Entah iklan para capres, caleg, calon pemimpin daerah hingga partai politik (parpol).
Memang, kita terkadang mengalami situasi yang paradok dan dilemati jika mengamati tayangan televisi tersebut. Sebab, kini sistem pertelevisian kita sudah diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme telah merambah di tubuh televisi kita. Sehingga, berbagai tayangan yang disuguhkan harus bernuasa komodifikasi.
Artinya, program yang disuguhkan televisi itu memiliki daya tawar dan nilai ekonomis yang tinggi. Sehingga, ketika ada masalah penderitaan akar rumput tapi tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi di mata mereka, maka jangan harap realitas populis itu akan mendapat space yang luas di televisi.
Dilema yang berikutnya bukan hanya menyangkut perangkap kapitalisme itu sendiri. Melainkan kapasitas masyarakat kita yang kurang memiliki kesadaran kritis dalam membaca televisi pada umumnya. Hal ini lebih disebabkan rendahnya kultur membaca masyarakat kita. Membaca di sini bukan berarti membaca tulisan atau abjad. Tetapi meminjam istilah Roland Barthes, kemampuan membaca tanda dan proses penandaan (signifikansi).
Salah satu prinsip penting di dalam mengasah kemampuan membaca tanda dan proses penandaan itu adalah mempertajam proses pemilahan (differensiasi) di dalam tayangan media elektronik (termasuk juga suatu media cetak) yang sedang ditontonnya. Dalam proses pemilihan ini terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan. Yakni, denotasi dan konotasi. Denotasi adalah proses memilah suatu tayangan yang benar, dan konotasi adalah pemilahan tayangan yang salah.
Tentu, proses pemilahan benar-salah itu harus dilandasi oleh ideologi dan nilai-nilai populisme dan humanisme. Sehingga, ketika kita sedang menyaksikan program pemerintah tentang penurunan harga BBM, maka kita bisa tahu manakah nilai-nilai populisnya dan manakah nilai politisnya.
Ketika di dalam sebuah televisi lebih banyak menguak nilai populisnya, maka kita harus sadar bahwa berita ini bertujuan untuk membangun citra politik pihak tertentu. Sebab, nilai populis itu terkesan hendak menelikungkan nilai-nilai politisnya. Padahal, kebijakan itu jelas-jelas sangat politik untuk saat ini.
Kemampuan membaca tanda-tanda itulah yang setidaknya dapat membuat para masyarakat terbebas dari perangkap alienasi televisi. Sehingga, mereka tidak mudah dimanipulasi oleh tayangan televisi yang lebih bernuasa banalitik, sensual, komodotif, dan elitis belaka.
Akan lebih arif dan cermat lagi jika kita tidak melulu tergantung kepada televisi saja dalam mendapatkan informasi. Karena, media cetak seperti koran pun kini mulai kritis dalam menyuguhkan informasi pada pembacanya. Setidaknya, koran bisa menjadi media komparatif bagi berbagai tayangan televisi yang mulai elitis di negeri ini.
*)Sosiolog postmodern, dosen di Fak. Ilmu Sosial Univ. Negeri Surabaya (UNESA).
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Perangkap Alienasi Televisi

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar