Home » , » Uang Pulsa Kalahkan Uang Buku

Uang Pulsa Kalahkan Uang Buku

Mulai tahun 1995, bulan Mei ditetapkan pemerintah sebagai Bulan Buku. Tujuannya jelas agar derajat keakraban masyarakat dengan buku dapat ditingkatkan. Buku merupakan “pintu gerbang” sekaligus “gudang” pengetahuan. Tetapi adalah kenyataan, sampai kini minat baca masyarakat kita belum menggembirakan.
Tak perlu jauh-jauh kita bandingkan dengan negara maju. Bandingkan saja misalnya, dengan minat dengar masyarakat kita pada musik dangdut ataupun pop. Oplah tertinggi buku best seller hanya berbilang ratusan ribu (setelah naik cetak berulangkali). Sementara kaset lagu begitu ditayangkan TV, lalu digenjot sedikit iklan, maka dalam waktu singkat toko kaset diserbu konsumen. Dan kaset/CD yang best seller, dalam waktu beberapa bulan saja bisa mencapai ratusan ribu.
Di Yogyakarta --sebagai kota pelajar--, beberapa bulan lalu ada survei yang menemukan fakta: cost mahasiswa membeli pulsa sepuluh kali lebih besar dibanding membeli buku. Sementara Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) memperkirakan, hanya 10 persen penduduk yang secara rutin membeli buku. Ini berarti 90 persen penduduk Indonesia yang melek huruf, belum menjadikan buku sebagai kebutuhan pokok kesepuluh.
Rendahnya minat baca itu, barangkali sudah style masyarakat kita yang cenderung public hearing daripada public reading. Di mana ada waktu luang, di situ akan dipenuhi acara ngobrol kesana kemari.
Benang Kusut
Buku dan membaca adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Namun menjadikan buku sebagai kebutuhan pokok kesepuluh, bagi masyarakat kita masih “jauh panggang dari api”. Walau sebenarnya, soal minat baca bisa ditingkatkan asal harga buku dapat terjangkau masyarakat luas.
Bahkan pemerintah perlu mencontoh Jepang dan Korea, yaitu mendirikan lembaga khusus yang bertugas menterjemahkan karya-karya ilmiah dari berbagai negara maju, secara besar-besaran. Hasilnya sebagaimana kita saksikan, di forum internasional Jepang dan Korea disegani negara lain. Segi positif lain adanya proyek penterjemahan merangsang perkembangan ilmuwan kita sendiri.
Akan tetapi banyak kendala yang dihadapi penerbit dalam mencetak buku murah. Mereka harus membayar PPh dan PPn yang cukup tinggi. Belum lagi biaya produksi dan rabat yang mencapai 35-45 persen dari harga jual, royalty penulis 10 persen, over head cost 10 persen, dan target laba penerbit 10 persen. Karena itu bisa dimaklumi, kalau harga buku di Indonesia termasuk “mencekik”.
Pada sisi lain - secara kuantitas, pengadaan buku masih memprihatinkan. Jumlah terbitan belum menunjukkan perkembangan menggembirakan. Antusias kita dalam meneguk pengetahuan berbanding terbalik dengan perkembangan penerbitan buku. Indonesia paling banter mampu menerbitkan 5.000 judul buku per tahunnya. Tercecer jauh dari Malaysia yang berhasil menerbitkan 15.000 judul.
Dalam situasi sulit seperti itu, bisa dimengerti pembajak-pembajak buku bermunculan. Mereka melihat peluang emas di balik tingginya harga buku. Hal ini berkorelasi antara harga buku yang “mencekik” dengan kondisi perekonomian kita. Masyarakat cenderung membeli buku yang murah tanpa mempertimbangkan: Apakah buku yang dibeli itu bajakan atau bukan? Dan secara pribadi, praktek pembajakan buku juga sering dilakukan, yaitu menggandakan - mengcopy tanpa izin penerbit.
Masyarakat menjadi pendukung utama pembajak buku. Kehadirannya disambut “gembira”, karena menyediakan buku bermutu dengan harga miring. Hal ini mungkin terjadi, sebab pembajak buku tidak perlu membayar royalti penulis, PPh, PPn, dan biaya promosi. Meski memang, masalah mutu cetak dan penjilidan masih kalah dengan yang asli. Namun masyarakat tak begitu peduli. Yang mereka butuhkan adalah “isi” daripada “penampilan” buku yang wah.
Antisipasi
Situasi seperti di atas, jelas mematahkan semangat penerbit buku. Bisnis buku sampai kini masih dianggap bisnis idealisme. Sepintas teramati, penerbit buku yang sudah malang melintang puluhan tahun, tidak satupun yang menjadi perusahaan raksasa berkat bisnis buku. Ini mengindikasikan, penerbitan buku belum menjanjikan keuntungan besar. Tantangan penerbit buku tidak ringan. Mulai dari minimnya minat baca, pajak, sampai soal pembajakan yang belum mampu ditaklukkan
Dengan demikian, uluran tangan pemerintah diperlukan guna mencerahkan dunia pustaka kita. Sudah saatnya pemerintah mensubsidi anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) agar dapat menerbitkan buku-buku ilmiah yang sesuai kantong masyarakat. Wujudnya, antara lain menghapus PPh & PPn, memberlakukan harga khusus bahan baku kertas, serta mempertegas pelaksanaan UU Hak Cipta.
Selain itu sudah saatnya anggota Ikapi, dalam penerbitannnya menyajikan dua macam tingkatan kualitas; edisi luks (kertas HVS dan bersampul mewah) serta edisi biasa (kertas koran dan bersampul karton). Sehingga masyarakat yang kantongnya “tipis” tetap mampu beli buku – walau penampilannya kurang mewah.
Juga tidak ada jeleknya, penerbit buku mencoba kiat yang diberlakukan majalah pop atau remaja. Dengan teknik cetak yang aduhai dan ketebalan hampir 50 halaman, ternyata dijual jauh lebih murah dibanding buku. Mengapa bisa terjadi?
Ya, karena majalah memperoleh “subsidi” dari iklan. Maka tak ada salahnya kalau bukupun memuat iklan (asal masih sesuai dengan misi pendidikan), agar ongkos produksi bisa dipangkas. Dari sini kegiatan membajak buku akan berhenti dengan sendirinya. Sebab harga buku sudah terjangkau masyarakat, dan ia tak akan memperoleh biaya iklan bila memuat iklan pada buku bajakannya.
(Komentar: Drs. Nurhadi Bambang S, pendidik di SMP N 2 Sedayu, Bantul, Yogyakarta)
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Uang Pulsa Kalahkan Uang Buku

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar