Trend Pangan Organik

thumbnail

Tantangan globalisasi dan trend permintaan konsumen serta pasar dunia yang terus menggeliat terhadap produk-produk bebas kimia, ramah lingkungan dan menyehatkan, kian memberi tempat khusus bagi produk pertanian organik. Di Malang, Jawa Timur, bahan pangan dari hasil olahan tanaman organik seperti sayur mayur dan buah-buahan, justru semakin diminati dan menjadi tren warga kota Apel itu.
Kepada Antara di Malang, Penyuluh Lapangan (PL) Dinas Pertanian Kota Malang, Hariyanto mengakui, meski belum terjadi perubahan mencolok terhadap pola konsumsi bahan pangan organik, namun animo masyarakat daerah itu untuk melirik bahan organik semakin membaik. ‘’Produk tanaman yang menggunakan bahan organik ini memang belum begitu besar karena lahan yang dimiliki petani juga terbatas. Tetapi setiap kali panen selalu habis bahkan pasokan ke beberapa super market tidak bisa dipenuhi,’’ kata Hariyanto di sela-sela pameran produk pertanian organik di Malang.
Hasil produksi tanaman organik, lanjut Hariyanto, harganya lebih mahal dibanding tanaman un-organik. Perbandingannya masih satu-tiga. Namun dirinya tetap punya harapan untuk terus mengembangkan budidaya sayur dan buah organik seiring dengan trend yang menggelinding di tengah arus modern. ‘’Apalagi Indonesia Sehat 2010 juga sudah dicanangkan,’’ ujarnya.
Lahan pertanian di Kota Malang yang semakin sempit, membuat pihaknya bersama petani harus mengembangkan tanaman organik melalui polibak. Bahkan, hingga kini setiap kecamatan lebih dari 5.000 polibak dengan ragam tanaman sayur dan buah. ‘’Pengembangan tanaman polibak dengan bahan organik juga sebagai salah satu upaya menyiasati semakin sempitnya lahan pertanian serta mengembalikan hara tanah akibat penggunaan pupuk un-organik yang berlebihan,’’ katanya.
Nanik, salah seorang petani sayur organik di Kecamatan Kedungkandang menyatakan, hasil panen yang didapat tidak jauh berbeda dengan tanaman un-organik. Namun, harga tanaman organik jauh lebih mahal sehingga keuntungan yang didapat petani juga lebih besar. ‘’Selain keuntungan, saya juga mendapat kelebihan lain dari tanaman organik. Seperti lebih sehat jika dikonsumsi dan rasanya lebih enak dibanding tanaman un-organik seperti sayur kangkung, wortel, terong, slada, sawi hijau serta beras yang lebih punel dan gurih,’’ kata Nanik.
Sementara Kasubdin Produksi Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Denpasar, Ir Ambara Putra menengarai, produk pertanian organik belum mendapat respons maksimal dari masyarakat karena harganya lebih mahal dari produk non organik. Meski lebih menyehatkan, tetapi produk pertanian organik belum mendapat perhatian seperti yang diharapkan kalangan petani organik. ‘’Banyak komoditi organik yang diproduksi sekarang, namun belum mendapat respons yang baik di pasar,’’ kata Ambara Putra.
Komoditi sayur mayur, buah hingga beras yang dikembangkan secara organik, hingga kini belum begitu semarak dilirik masyarakat luas. Masyarakat masih memilih produk non norganik. Hal itu terjadi karena daya beli sebagian besar masyarakat Denpasar masih rendah. Harga produk organik bisa dua kali lipat dari harga produk non organik. Meski begitu, produk organik tetap memiliki potensi pasar karena mulai terbuka kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi makanan sehat.
Menteri Pertanian, Anton Apriantono dalam Workshop dan Kongres II Maporina mendukung adanya usaha pengembangan pangan organik di Indonesia. Karena bagi Apriantono, upaya tersebut menjadi salah satu langkah konkrit untuk menggapai visi dan misi yang berujung pada kesejahteraan, kemakmuran para petani. Dengan begitu, devisa dari sektor pertanian diharapkan meningkat dari 7,8 milyar US$ saat ini menjadi 12 milyar US$ tahun 2009.
International Federation of Organik Agriculture Movement (IFOAM) maupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) jauh sebelumnya sudah menekan agar sistem manajemen produksi holistik yang mendukung dan meningkatkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. IFOAM menyebut, pertanian organik sebagai suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem berkelanjutan, pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial. Dengan demikian, pertanian organik lebih dari sekedar sistem produksi yang memasukan atau mengeluarkan input tertentu, tetapi merupakan satu filosofi untuk optimalisasi kesehatan dan produktivitas yang saling terkait, baik kehidupan tanah, tanaman, hewan maupun kehidupan umat manusia.
Hingga kini 1 dari 4 warga Amerika Serikat sudah konsumsi produk organi dengan laju pertumbuhan produk organik sekitar 20% per tahun dalam 10 tahun terakhir. Khusus sayuran organik, tampaknya Australia lebih cepat membaca trend dan peluang pasar secara global.
Australia sendiri mengekspor sayuran organik ke pasar Amerika, Inggris, Jerman dan Perancis. Khusus di Asia, sayuran organik Australia sering mengisi rak-rak sayur di super market Jepang, Malaysia dan Singapura. Di Indonesia, Survey BPS per tahun 2000 menyebut, produksi sayuran berupa bawang merah (772.818 ton), kubis (1.336.410 ton), sawi (484.615 ton), wortel (326.693 ton) dan kentang baru 977.349 ton dengan lahan tergarap seluas 291.192 hektar. (Albert Kin Ose M)KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Rame-Rame Garap Pupuk Organik

thumbnail
Oleh: Albert Kin Ose M
Fukafehan@yahoo.net.id
Konsumsi pangan organik merebak luas di berbagai belahan dunia. Fenomena itu kuat mengemuka karena adanya ragam keluhan masyarakat konsumtif dan hedonitif tentang penyakit stroke, pengapuran dan penyempitan pembuluh darah yang dipicu pola makan serba instan. Selain itu, banyak olahan menu makanan yang lazim dipolesi aneka tambahan bahan berbasis kimia.

Terus menggeliatnya prospek pasar pangan organik membawa dampak positif bagi pertumbuhan industri baru, mulai dari warung (restoran organik, kafe organik) sampai pupuk organik. Bahkan untuk pupuk organik sendiri, banyak pemilik modal termasuk pemerintah yang serius membidik prospek pupuk oranik untuk diproduksi secara missal.
Dr Ir Ririn Prihandarini, MS seperti dilansir www.biotama.com menyatakan, kini banyak bermunculan perusahaan yang menggarap pupuk organic. Antara lainPT Trimitra Buanawahana Perkasa yang bekerja sama PT Trihantoro dan Pemprop DKI Jakarta serta Pemkot Bekasi, PT Multi Kapital Sejati Mandiri dengan Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan Pemkab Brebes, Jawa Tengah yang mengolah sampah kota dan limbah pedesaan. PT PUSRI selain produksi pupuk kimia, juga serius produksi pupuk organik. Sampah dan limbah organik diolah menggunakan teknologi modern dengan penambahan nutrien tertentu guna menghasilkan pupuk organik berkualitas.
Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Widya Gama (UWG) Malang ini menilai, pupuk organik bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia sehingga dosis pupuk dan dampak pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia secara riil dikurangi. Kemampuan pupuk organik untuk menurunkan dosis penggunaan pupuk konvensional plus mengurangi biaya pemupukan sudah dibuktikan beberapa hasil penelitian, baik tanaman pangan (kedelai, padi, jagung, dan kentang) maupun tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, teh, dan tebu). Kemampuan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan terbukti sejalan dengan kemampuan menurunkan dosis penggunaan pupuk kimia.
Disebutkan, beberapa hasil penelitian di Pati, Lampung, Magetan dan Banyumas menunjukkan, organik terbukti menekan kebutuhan pupuk urea sampai 100%, TSP/SP 36 (50%), kapur pertanian (50%). Biaya yang dihemat sekitar Rp 50.000/ha. Produksi kedelai meningkat 2,45-57,48%. Keuntungan yang diperoleh petani kedelai naik rata-rata p 292.000/ha, terdiri dari penghematan biaya pemupukan Rp 50.000/ha dan kenaikan produksi Rp 242.000/ha.
Aplikasi pupuk organik yang dikombinasi separuh takaran dosis standar pupuk kimia (anorganik) bisa hemat biaya pemupukan. Hal itu dibuktikan dengan hasil uji lapangan terhadap tanaman pangan (kentang, jagung dan padi). Selain hemat biaya pupuk, juga meningkatkan produksi untuk dosis 75% pupuk kimia plus 25% pupuk organik. Pada kombinasi 75%, pupuk kimia ditambah 25% pupuk organik biaya pemupukan bisa dihemat 20,73% (kentang), 23,01% (jagung) dan 17,56% (padi). Selain itu, produksi kentang meningkat 6,94%, 10,98% (jagung) dan 25,10% (padi). Penggunaan pupuk organik hingga 25%, bisa mengurangi biaya produksi 17-25% dari total biaya produksi.
Jateng Kurang Pupuk
Selain itu, di Lamongan (Jawa Timur) dilaporkan, pabrik pupuk Maharani dalam uji coba produksi mampu menghasilkan 7,8 ton pupuk organik per hari dan ditargetkan pabrik akan menghasilkan 10 ton pupuk organik per hari.
"Produksinya sudah mendekati target. Diharapkan bisa produksi pupuk organik 10 ton per hari," kata Sekretaris Kabupaten Lamongan, Fadeli saat meninjau kesiapan pabrik pupuk organik milik Pemkab Lamongan. Bahkan Fadeli optimis dengan pabrik pupuk organik hasil kerja sama produsen pupuk Petrokimia Gresik itu akan menghasilkan pupuk dalam banyak. Meski baru satu shift kerja, sudah menghasilkan 7,8 ton atau dekati target 10 ton.. Pabrik Pupuk Maharani saat ini memanfaatkan kotoran ayam dan sapi sebagai bahan utama.
Dari Semarang (Jawa Tengah), Antara juga melaporkan bahwa saat ini, daerah tersebut mengalami kekurangan 3,1 juta ton pupuk organik. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Jateng mencatat provinsi ini masih kekurangan sekitar 3,1 juta ton pupuk organik pada tahun 2008. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Jawa Tengah, Aris Budiono menyebut, kebutuhan pupuk organik di Jateng capai 3,2 juta ton, sementara alokasi yang tersedia hanya 55 ribu ton.KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Pupuk Organik Hidrolisat Ikan

thumbnail
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Jember (Unej) menciptakan pupuk organik yang bahannya berasal dari ikan. "Pupuk organik hidrolisat ikan ini 100 persen dibuat dari ikan segar yang dicairkan secara enzimatik," kata salah seorang penggagas, A Sjaifullah, PhD di Surabaya, awal Agustus.  
Seperti diberitakan Antara, pupuk organik cair hidrolisat ikan mengandung hidrolisat protein, asam amino dengan nutrisi utama berupa vitamin, hormon, minyak ikan dan mineral, baik makro maupun mikro. Pupuk itu juga mengandung fosfor organik yang diperlukan pertumbuhan akar yang sehat untuk efisiensi pemakaian unsur nitrogen dan kalium.
Karena kandungan nutrisi lengkap, pupuk cair hidrolisat ikan yang pertama kali di Indonesia itu bisa untuk menyuburkan tanah (penyiraman) dan sebagai pupuk daun (penyemprotan). Hasil uji coba terhadap tanaman padi, jagung, kacang tanah, semangka, melon dan jeruk menunjukkan, pemakaian pupuk itu dapat menurunkan pemakaian pupuk kimia hingga 80% dengan hasil panen yang lebih baik.
"Karena keberadaan pupuk cair ini diharapkan menjadi alternatif atau solusi untuk mengatasi kelangkaan pupuk yang akhir-akhir ini dialami petani di Indonesia termasuk di Kabupaten Jember," jelas Sjaifullah. KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Pupuk Kimia Hilang, Organik Dilirik

thumbnail
Meski urusan pupuk masih cukup kuat dikendalikan pemerintah, namun untuk mendapatkan penyubur tanaman berbahan kimia tersebut kian sulit ditemukan di pasaran. Karena itu, Dinas Pertanian Kota Sawahlunto, Sumatera Barat gencar mendorong petani membuat dan memakai pupuk organik "Kita intensifkan penyuluhan dalam pembuatan dan penggunaan pupuk organik pada petani guna memutus ketergantungan pada pupuk kimia dan menekan biaya produksi," kata Kabid Tanaman Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Kota Sawahlunto, Ir Helmi Hamid, usai meninjau tanaman kedelai di areal kelompok Tani Padang Sarai Desa Kolok Mudik Sawahlunto, medio Agustus lalu.
Hamid menjelaskan, untuk pembuatan pupuk organik banyak bahan yang dapat ditemukan di sekitar lingkungan petani baik dari kotoran ternak, air seni kambing maupun dedaunan yang berfungsi sebagai insektisida organik. Selain itu, pembuatan pupuk organik tidak membutuhkan modal besar, setelah dihimpun bahan baku dan diolah sesuai formula yang diberikan penyuluh pertanian. Dalam waktu hitungan sepekan, petani sudah menghasilkan pupuk organik.
Supervisor Penyuluh Lapangan Kecamatan Barangin, Arizal Gozali mengaku, penerapan pupuk organik sebagai antisipasi begitu sulitnya mendapat pupuk kimia. Dengan pupuk organik, para petani membuka kembali unsur hara yang tertutup ketika memakai pupuk kimia. ‘’Penggunaan pupuk kimia membuat unsur hara yang terkandung dalam tanah jadi tertutup sehingga menyebabkan lokasi pertanian menjadi lebih gersang. Untuk lahan sawah lumpur justru semakin dangkal. Kondisi ini sangat berbeda dengan pupuk organik dan insektisida organik. Sebab, pupuk maupun insektisida organik akan membuka dan mengembangkan unsur hara yang terkandung dalam lahan pertanian, sehingga menyebabkan kondisi lahan menjadi subur,’’ jelas Gozali.
Pelatihan pembuatan pupuk dan insektisida organik gencar dilakukan dengan bimbingan petugas penyuluh pertanian. ‘’Kami sangat ingin menggunakan pupuk dan insektisida organik. Selain mengurangi biaya produksi, lahan yang kami gunakan lebih subur,’’ tutur Ris (41), salah seorang anggota kelompok tani Padang Sarai.
Sedangkan pemerintah Sumatera Utara siap menggelontor pertanian organik sebagai program prioritas demi menjaga lingkungan dan pertanian berkelanjutan. "Program penggunaan pupuk organik melalui rumah-rumah kompos pada sentra produksi pertanian menjadi prioritas ke depan," kata Asisten II Pembangunan dan Ekonomi Pemprop Sumut, Kasim Siyo ketika membuka seminar internasional Bio Agricultural Input For Sustainable Agriculture yang digelar di Medan belum lama ini.
Kebijakan itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap penggunaan pupuk kimia plus menjaga kesuburan tanah, produksi lebih optimal dan yang terpenting ramah lingkungan demi pertanian berkelanjutan. Hingga kini pertanian masih memiliki peran penting dan strategis di daerah itu. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Sumut tahun 2007 sebesar 22,74% dengan menyerap tenaga kerja 52,68%.
Beberapa komoditi pertanian yang masih jadi andalan Sumut hingga 2007, padi dengan produksi gabah kering giling 3.257.823 ton dengan surplus beras 312.642 ton. Jagung dengan produksi 804 ribu ton (meningkat 17,88% dari 2006), kelapa sawit (3 juta ton), karet (394 ribu ton) dan coklat (50 ribu ton). Disebutkan, pemakaian biopestisida dan biofertilizer di tingkat petani masih minim dibarengi masalah alih fungsi lahan, rendahnya posisi tawar petani, modal, aplikasi teknologi dan biaya produksi yang tinggi. KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Membangkitkan Semangat Organik Sektor Pertanian

thumbnail
Pemerintah sudah saatnya memberi dorongan yang lebih serius untuk arah pembangunan sektor pertanian ke pengembangan pertanian organik. Caranya, dengan terus mengurangi ketergantungan petani terhadap bahan-bahan pestisida. Meski begitu, ketergantungan petani terhadap bahan pestisida relatif tinggi. Padahal, penggunaan pestisida cenderung tidak ramah lingkungan dan berbiaya produksi relatif tinggi. ‘’Kalau pemerintah akan mengurangi beban petani, butuh pengembangan pertanian organik secara fokus,’’ tegas anggota DPRD Kabupaten Magelang, Berdiyanto.
Anggota DPRD dari Fraksi Persatuan Pembangunan itu menilai, pembangunan sektor pertanian organik juga harus bersinergi dengan peternakan. Untuk itu, petani perlu mendapat bantuan ternak berupa sapi, kambing dan kerbau untuk mendukung pembuatan pupuk kompos. Kotoran ternak bisa dimanfaatkan untuk pembuatan biogas demi kebutuhan energi rumah tangga. Karena itu, SDM petani dan semangat organik di kalangan petani sangat penting dibangkitkan.
Meski kian menguat lirikan petani pada pupuk organik, pemerintah sudah merencanakan agar sistim distribusi pupuk pada musim tanam 2008/2009 dilakukan secara tertutup. Hal itu disampaikan Menteri Pertanian Anton Apriantono di Jakarta, Selasa (26/8). Artinya, pada lini IV yakni di tingkat pengecer langsung ke petani yang terdaftar,--kelompok tani yang memiliki kartu, sudah terdaftar dan diverifikasi camat dan bupati.
Dengan begitu, pupuk bersubsidi tidak lagi dijual bebas. Sistem ini jelas menutup peluang bagi para pedagang untuk penjualan pupuk kepada para petani dengan harga mahal. Kebutuhan pupuk urea di tahun 2008 sekitar 9 juta ton dari kemampuan produksi 6,7 juta ton. Dari jumlah itu, 4 juta ton dijadikan pupuk bersubsidi. Kebutuhan pupuk SP 36 sebanyak 4,6 juta ton, pupuk ZA 1,8 juta ton, NPK 4,2 juta ton. Selisih kebutuhan dengan produksi ini, pemerintah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk melirik pupuk organik.
Stop Produksi
Sementara itu, Kelompok Tani Waspada (KTW) Jorong Liki, Nagari Lubuk Gadang Selatan, Kecamatan Sangir, Kabupaten Solok Selatan, Sumbar seperti dilansir Antara, pihaknya terpaksa stop produksi pupuk organik karena sulit mendapat bahan baku kotoran ternak. ‘’Terhentinya pengolahan kompos itu karena kotoran sapi, kambing dan ayam susah didapat. Meski harganya naik dari Rp 2000 menjadi Rp 9.000 per karung dengan berat 25 kg,’’ kata Ponrin, petugas pembuat pupuk kompos di KTW di Sangir, Sabtu (23/8).
Sebelumnya KTW mampu menghasilkan 2,5 ton pupuk organik. Pupuk organik diproduksi itu, setelah melalui proses pembuatan mencampurkan kotoran hewan, rumput yang telah dikeringkan dan digiling, lalu dicampur M4 (sejenis obat pembusuk) dan kapur dolomite. Produksi pupuk organik yang diolah hanya untuk kebutuhan 17 anggota KTW. Setiap anggota KTW memiliki tanah seluas 400 meter atau membutuhkan 400 kg pupuk. Dari 2,5 ton itu, setiap anggota baru kebagian 150 kg, jelas Ponirin.
Salah satu upaya mengatasi kesulitan kotoran hewan, KTW sedang mengajukan permohonan bantuan sapi ternak kepada Dinas Pertanian dan Peternakan Solok Selatan.
Dampak lain yang bisa dimanfaatkan para petani, bila terkabul program pengadaan sapi, air kencing sapi bisa untuk penyemprotan hama. ‘’Tanaman yang diberi penyubur dengan pupuk organik, reaksinya baru bisa dilihat setelah empat hingga lima bulan, dan sangat baik untuk tanah dan tanaman,’’ katanya. KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Bank Sulut Salurkan Kredit Padi Organik

thumbnail
PT Bank Sulut siap memacu kredit pertanian mulai tahun 2008 terutama budidaya padi organik dan tanaman holtikultura demi meningkatkan pendapatan petani. ‘’Guna mendukung keberhasilan kredit pertanian, Bank Sulut akan menerapkan pola baru dengan membentuk kelompok tani kerja sama Dinas Pertanian,’’ kata Dirut PT Bank Sulut, Xaverius Mapandy, di Manado, Minggu (24/8).
Pembentukan kelompok tani tersebut sebagai salah satu cara agar kredit pertanian yang akan disalurkan dalam jumlah cukup besar, benar-benar digunakan untuk peningkatan usaha pertanian. ‘’Selama ini masih banyak kredit pertanian yang salah digunakan. Bank Sulut ingin memelopori penyaluran kredit pertanian dengan hasil yang terukur,’’ kata Mapandy.
Guna mendukung keberhasilan kredit ke sektor pertanian, maka selain kelompok tani baru, Bank Sulut juga siap membiayai penyuluh pertanian yang akan membina petani yang nantinya mendapatkan penyaluran dana perbankan. Penyuluh pertanian bertindak sebagai konsultan sehingga bila terjadi masalah dalam pertanian dapat dicarikan jalan keluar. Hal ini sekaligus menghindarkan petani mengalami kerugian akibat gagal panen. Sampai 2007, Bank Sulut sudah menyalurkan kredit langsung ke petani sekitar Rp 12 miliar. Dari jumlah itu, 60% belum dikembalikan petani. (Antara) KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Desa Kertalangu Jadi Pasar Pertanian Organik

thumbnail
Kawasan wisata jogging track di Desa Budaya Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, selain dilengkapi berbagai fasilitas rekreasi seperti berkuda dan memancing, juga siap dikembangkan pasar pertanian organik. ‘’Mau makan juga tersedia aneka hidangan berat maupun ringan. Bisa juga untuk pertemuan, rapat. Tetapi yang istimewa setiap hari Minggu pengunjung bisa sambil berbelanja aneka produk pertanian organik,’’ kata Direktur Eksekutif Yayasan Sudhamala Bali, Harry Simorangkir selaku pengelola kawasan wisata tersebut.
Menurut Simorangkir, pasar pertanian organik yang digelar setiap hari Minggu merupakan komitmen yayasan dalam upaya lebih memberdayakan petani di kawasan jogging track tersebut yang mengembangkan aneka budidaya sistem organik.
Pengembangan budidaya pertanian organik, termasuk penanaman padi tanpa pupuk dan obat-obatan mengandung kimia itu, didasari pemikiran bahwa tren ke depan masyarakat akan kembali mengonsumsi produk pertanian organik. ‘’Makanan berasal dari produk pertanian organik jauh lebih sehat ketimbang menggunakan produk yang dalam penanamannya menggunakan pupuk kimia maupun pestisida,’’ katanya.
Aneka produk pertanian organik juga didukung hasil panenan petani dari berbagai daerah di Bali yang sejak beberapa waktu lalu merintis pengembangan budidaya pertanian organik. Dipilihnya kawasan yang dikelola bersama ratusan petani setempat menjadi pasar organik, juga didasarkan komitmen Pemerintah Kota Denpasar yang terus berupaya meningkatkan produksi pertanian alami. Yayasan yang dikelolanya selain mengelola desa budaya, juga berupaya memberikan pembinaan dan pelatihan kepada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Selain itu membantu akses ke lembaga keuangan sehingga keberadaan UMKM akan mampu meningkatkan penghasilan. ‘’Selama ini masih banyak UMKM yang belum maksimal mendapatkan pembinaan dan pelatihan sumber daya manusia. Karena itu kami akan terus berupaya membantunya, termasuk juga di bidang pemasaran,’’ kata Herry.
Secara terpisah, Dr Ir GN Wididana M.Agr mengingatkan para petani untuk mengurangi bahkan meniadakan pemakaian pupuk an-organik atau kimia, yang sesungguhnya menjadi ‘musuh’ bagi lahan pertanian. ‘’Sedapat mungkin petani harus mengurangi pemakaian pupuk yang dapat merusak lahan bahkan tatanan lingkungan,’’ kata ahli pertanian yang juga penganjur pemanfaatan teknologi Efective Microarganisms (EM) untuk dunia pertanian, ketika dihubungi Antara di Denpasar.
Pria yang meraih gelar master agriculture di Universitas Ryukyu Okinawa, Jepang itu menilai, lahan yang selama ini banyak memanfaatkan pupuk an-organik terbukti sudah keracunan. Selain ketagihan, juga tercemar bahan kimia yang berdampak buruk untuk perkembangan mikroorganisme, yang adalah penyubur tanah.
Karena itu, Wididana mengharapkan para petani dapat mengembangkan lahan sebagai areal pertanian organik yang bebas pemakaian pupuk an organik. Sebagai pengganti pupuk kimia, ia menyarankan penggunaan teknologi EM. ‘’Teknologi EM diciptakan sebagai sarana pengganti pupuk yang selama ini tidak ramah lingkungan. Lahan yang dikelola dengan memanfaatkan teknologi EM selain terbebas dari racun yang berasal dari zat kimia, juga lebih subur dalam waktu yang lebih panjang. Kalau pakai pupuk an organik kan terbukti hanya subur sesaat atau semusim, setelah itu tanah mengering dan mengeras atau bantat," ucapnya. KPO/EDISI 159/SEPTEMBER 2008

Hakikat Sastra Sebagai Karya Seni Tereduksi

thumbnail
Hakikat sastra sebagai karya seni sekarang ini mulai tereduksi, karena sastra hanya menjadi alat penerus dan pembentuk watak anak. "Hal itu sebagai dampak negatif dari pembelajaran sastra dalam dunia pendidikan baik di Indonesia maupun di negara lain yang tidak pernah lepas dari ideologi, politik kebudayaan dan kanonisasi yang dilakukan oleh perangkat negara," kata pemerhati sastra Universitas Negeri Malang (UM) Drs. Misbahul Amri, M.A kepada Antara di sela-sela Konferensi Internasional Kesusastraan XIX di Batu, Jawa Timur, Rabu (13/8).
Dosen sastra UM itu mengakui, sastra yang masuk dalam kurikulum dan diajarkan di sekolah-sekolah formal adalah sastra yang telah dipercaya tidak bertentangan dengan ideologi dan politik kebudayaan penguasa.
Ia mengatakan, semua itu dilakukan dengan asumsi bahwa kaum muda memiliki posisi strategis, karena mereka akan menjadi penerus bangsa dan pemimpin masa depan dan sastra dipandang sebagai salah satu alat untuk membentuk moral generasi muda.
Oleh karena itu, katanya, sastra yang dinilai tidak sejalan dengan ideologi dan politik kebudayaan penguasa menjadi tersingkir, terlarang bahkan diabaikan.
Pada kesempatan itu Amri juga menyoroti pembelajaran dan ujian dengan Standar Nasional terutama untuk Mata Pelajaran (Mapel) Bahasa Inggris padahal siswa dan masyarakat secara umum masih banyak yang belum benar dalam menggunakan ataupun pengucapan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Amri juga mengkhawatirkan kondisi bahasa yang terus berkembang sebagai konsekuensi arus globalisasi akan berpengaruh kuat bahkan mampu melunturkan nasionalisme masyarakat Indonesia termasuk meninggalkan budaya dan nidentitas bangsa sendiri.
"Kalau tidak kita mulai dari sekarang kapan lagi kita membangkitkan semangat dan menanamkan rasa cinta, nasionalisme serta identitas bangsa melalui sastra," katanya.
Sementara itu Konferensi Internasional Kesusastraan XIX yang berlangsung di Hotel Asida Batu mulai 12 hingga 14 Agustus 2008 dan Konferensi yang sama tahun 2009 masih belum diputuskan tempatnya, namun ada tiga daerah alternatif yakni Bandung, Bangka Belitung dan Bali.
Peserta dari luar negeri yang hadir dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XIX tersebut berasal dari Singapura, Malaysia, Philipina, Jepang, Brunei Darussalam, Jerman dan Thailand.

KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Sastra Pulihkan Wibawa Guru

thumbnail
Sastra harus mampu memulihkan wibawa guru yang beberapa windu terakhir ini telah memudar dan terenggut serta tidak dihargai derajatnya. "Wibawa, derajat dan penghargaan terhadap guru harus mulai dihembuskan melalui karya sastra masa kini, dan ini adalah tugas para sastrawan maupun penulis untuk memberikan penghargaan pada guru," kata Rosida Tiurma Manurung dari Universitas Kristen Maranatha kepada Antara, di sela-sela Konferensi Internasional Kesusastraan XIX di Batu, Jawa Timur, Kamis (14/8).
Ia mengakui, guru yang berwibawa sangat mutlak diperlukan, karena dengan kewibawaan yang dimilikinya, proses belajar mengajar akan lebih kondusif, efektif, interaktif dan optimal.
Rosida membandingkan, dalam karya sastra Angkatan 1960-an, wibawa guru masih kental dirasakan. Bahkan seorang murid akan tergopoh-gopoh ketika melihat gurunya datang dengan menuntun sepedanya, dan murid itu akan mengambil alih untuk menuntun sepeda gurunya.
Menurut dia, banyak kisah dalam karya sastra masa lalu, begitu berwibawanya seorang guru, sampai murid-muridnya selalu mencium tangan dengan takzim dan itu bertolak belakang dengan karya-karya sastra masa kini, dimana guru justru banyak dijadikan tokoh lelucon, tokoh yang dijadikan bulan-bulanan serta dilecehkan.
"Sungguh ironis, guru masa kini telah kehilangan wibawa bahkan terenggut. Kami berharap, wibawa guru yang mulai memudar dan merosot ini bisa diangkat kembali dan dihargai derajatnya melalui karya sastra", katanya menegaskan.
Sementara Resti Nurfaridah dari Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Bandung, menyoroti pergeseran nilai-nilai moral dalam beberapa waktu terakhir yang terjadi secara drastis, khususnya dikalangan anak-anak muda.
"Bulir-bulir globalisasi begitu cepat melekat erat dalam kehidupan remaja kita saat ini, dan hal itu sanggup meluruhkan nilai-nilai kesopanan ala timur yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bahkan kehidupan sastra remajapun, juga tidak lepas dari lilitan arus barat,” katanya menegaskan. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Memaknai Hakikat Jihad

thumbnail
Judul : Ustadz, Saya Sudah di Surga
Editor : Mohamad Guntur Romli
Penerbit : KataKita, Depok
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : 296 halaman

“Untuk istri dan keluargaku, ketika kalian menyaksikan video ini, saya sudah berada di dalam surga!” Demikian tutur Salik Firdaus, seorang pelaku bom bunuh diri, Bom Bali II. Salik juga tak lupa berpesan, “jika saya punya hutang, mohon dilunasi!”
Benarkah saat ini Salik Firdaus sudah berada di surga? Tak seorang pun yang tahu apakah angan-angannya tercapai. Tentu saja kita tidak dapat mengonfirmasi Salik, baik lewat surat, telepon maupun SMS. Terkait hutang, tidakkah Salik alpa? Hutang uang memang bisa dilunasi, tapi bagaimana dengan “hutang” yang justru lebih besar: hutang malu bagi keluarganya, hutang penderitaan kepada para korban, bahkan hutang dosa terhadap agamanya.
Para alim-ulama yang menonton film bersama di kediaman Wapres Jusuf Kalla, malam 16 November 2005 lalu, terkaget-kaget mendengar alasan “tentara-tentara Tuhan” dalam sebuah tayangan video yang menurut seorang kolumnis Mesir Fahmi Huwaydi, sebagai jundullah fi ma’rakatil ghalath, tentara Allah yang salah medan perang itu.
Melalui rekaman testimoni empat pelaku Bom Bali II tersebut, tokoh-tokoh agama yang hadir umumnya merasa heran akibat ulah nekat anak-anak muda itu atau mungkin karena Islam yang selama ini diyakini sebagai agama damai telah dibajak dari fungsi asalnya oleh kawanan teroris menjadi amunisi pembunuhan.
Memang, alasan terorisme beragam, mulai dari politik, ekonomi, sosial-budaya, atau hanya sebab frustasi. Namun, Mohamad Guntur Romli menegaskan, doktrin agama yang sudah dimanipulasi adalah pemicu paling kuat. Dalam testimoninya, keempat anak muda dalam film itu masing-masing mengumbar kata-kata jihad, keinginan menggempur orang kafir, merindukan mati syahid dan hendak menjemput surga. Di sini sesungguhnya ada ancaman “bom” lain yang justru lebih berbahaya ketimbang bom teror itu sendiri. “Bom” itu bernama agama yang dapat saja meledak di mana-mana (h.21).
Bagaimana agama bisa menjelma sebuah bom? Tulis Guntur, jika agama dirakit dengan kepicikan, kebencian, dan kekerasan, maka agama akan menjadi bom dengan daya ledak yang sangat dahsyat. Dalam konsep jihad, misalnya, mereka cuma menidentikkannya dengan makna peperangan.
Padahal arti jihad adalah perjuangan secara umum, bukan hanya peperangan, dan ia bisa mengalami evolusi sesuai dengan konteksnya. Adapun perang merupakan salah satu dari ragam bentuk jihad. Penguncian makna jihad hanya pada makna peperangan merupakan modus penggerusan terhadap keragaman model jihad yang mesti dilawan.
Sementara ayat-ayat perang dalam Alquran, mengutip Gamal Al-Banna dalam bukunya Al-Jihad adalah ayat-ayat kondisional. Maksudnya, penafsiran terhadap ayat-ayat semacam itu tidak bisa dipisahkan dari sebab-musabab dan tujuan diturunkannya ayat-ayat tersebut.
Masih menurut Gamal Al-Banna, perang boleh dilakukan karena keterpaksaan mempertahankan diri, bukan keberingasan melakukan penyerangan. Jihad dalam bentuk perang yang dilegalkan di era Rasulullah Saw demi mempertahankan prinsip kebebasan beragama yang dirongrong oleh kekuatan bersenjata, bukan seperti kawanan teroris saat ini yang berperang untuk menebar teror dan menanamkan bibit-bibit kebencian.
Toh demikian, dalam kasus Imam Samudra, salah satu pelaku terorisme di Indonesia, alih-alih menyesali perbuatannya, dia malah mengajak umat Islam mengikuti jejaknya. Pengakuan itu tertuang dalam bukunya, Aku Melawan Teroris!. Kemudian muncul buku lain berjudul Sebuah Tinjauan Syariat: Mereka adalah Teroris! yang merupakan bantahan atas ideologi Imam Samudra tersebut.. Menurut buku yang ditulis Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh ini, bahwa Imam Samudra dengan berbagai macam kedustaan berusaha membalik opini: dari tuduhan teroris atas dirinya menjadi pejuang di jalan kebenaran, dari pembunuh keji tak berperasaan menjadi sosok heroik dalam rangka membela umat Islam. Padahal sesungguhnya, dia telah mengunci pengertian jihad dalam makna peperangan secara sewenang-wenang atas nama agama.
Penafsiran agama yang serampangan itulah yang membuat penulis buku ini gelisah, cemas, sekaligus gemas mencermati perilaku teroris-teroris lokal yang sebetulnya adalah korban dari jaringan terorisme global. Diakui Guntur dalam kata pembukaan, sebelum menyelesaikan setiap tulisan dalam buku ini ada perasaan tegang, pikiran menerawang, dan tidak tenang. Dengan kata lain, setiap tulisan yang dipersiapkan sejak lima tahun ini melewati kecamuk batiniah penulisnya.
Alhasil, kumpulan tulisan Guntur ini mengandung gelora kuat untuk menyodok kesadaran kita kaum muslim bahwa Islam adalah agama pembawa damai yang bisa hidup fungsional di zaman modern yang plural, toleran, dan demokratis. Dan tak terelakkan, tulisan-tulisan dalam risalah ringkas ini umumnya polemis dan tajam. Penulis sengaja tidak menyediakan konsensus, tetapi seakan ingin menantang lawan debatnya dengan membuktikan argumen yang selama ini tak didengar, data yang tak terlihat, dan fakta yang tak terungkap.
(Peresensi: Ahmad Fatoni, Penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Memangkas Anarkisme Meretas Pluralisme

thumbnail
Judul Buku : Sepotong Kebenaran Milik Alifa
Penulis : Ahmad Shidqi
Penerbit : Impulse-Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 96 halaman
Islam dikenal sebagai agama yang rahmatan lil-‘alamin (rahmat bagi sekalian alam). Agama ini datang ke dunia memiliki visi-misi untuk menyebarkan kedamaian, kelembutan serta keadilan, agar di dunia ini tercipta kesejahteraan dan rasa persaudaraan di antara sesama makhluk Tuhan di bumi ini. Atas visi-misi perdamaian dan keadilan inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran Islam dapat diterima semua bangsa di dunia ini, tanpa ada perbedaan-perbedaan.
Di tengah-tengah kemelut bangsa yang sedang dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks ini, pertikaian-pertikaian promordial sangat mungkin muncul dalam suatu masyarakat multi budaya. Fenomena akhir-akhir ini yang mengalami gejala sosial dengan budaya anarkisme, sederetan aksi premanisme, teror yang dilakukan oleh oknum tertentu semakin menghilangkan identitas ke-Islam-an Indonesia yang selama ini dikenal dengan Islam yang mencintai perdamaian dan kebersamaan. Lemahnya penegakan hukum, seakan-akan memberikan jalan lebar bagi gerakan fundamentalisme. Tak pelak aksi-aksi mereka selalu meresahkan masyarakat dan mengancam stabilitas umat beragama, dan bahkan dapat mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antar agama misalnya, tampaknya sudah mengalami perluasan dimensi yang tidak hanya berkisar pada masalah perdebatan, lebih dari itu sudah mengarah pada tindakan dalam bentuk kekerasan. Telah banyak kita jumpai konflik tersebut di beberapa daerah di negara ini. Bukan saja antar-agama, tetapi juga antar aliran-aliran dalam sebuah agama.
Dengan gaya reportasenya yang enak dan lugas, Ahmad Shidqi, melalui buku berjudul Sepotong Kebenaran Milik Alifa, mengajak pembaca untuk memahami dan melihat lebih dekat salah satu sisi kehidupan kelompok keagamaan (Islam) yang dikenalkan lewat sosok Alifa. Menariknya, objek reportase tema di atas dikemas oleh penulis dengan setting Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai wilayah yang senantiasa setia menjaga kultur dan tradisi budaya. Kota yang meletakkan multikulturalisme sebagai trand image sosial budayanya.
Buku ini adalah narasi tentang sosok muslimah bernama Alifa yang menjelaskan keberagamaannya dengan cara yang diyakini oleh kelompok-kelompok ini sebagai keberislaman yang kaffah (Islam yang sempurna). Potret seorang perempuan biasa yang berasal dari desa dan merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi sebagaimana sekian banyak mahasiswa yang memiliki tujuan serupa. Dalam perjalannya, Alifa mengalami sebuah proses panjang dan tahap spiritual yang melelahkan. Alifa akhirnya memantapkan diri untuk masuk dalam kelompok salafisme (sebuah kelompok keagamaan yang berusaha menjalani hidup sesuai pengalaman Rasulullah). Sejak saat itu, Alifa pun memakai cadar sebagai bentuk komitmennya (hlm. 17-23). Secara sosio-teologis, sikap seperti Alifa selalu dikaitkan dengan kebangkitan sikap fanatisme agama. Menurut Prof. Abdulazis Sachedina, Guru Besar Studi Agama di Universitas Virginia Amerika Serikat, ada sekat yang jelas antara “kebenaran agama” (al-haqỉqah al-dỉniyah) dengan “fanatisme agama” (al-ta’ashub al-dỉnỉ). Abdulaazis berpendapat, seseorang sah-sah saja meyakini kebenaran agamanya. Namun, ketika keyakinan itu bergumpal dengan kebencian dan permusuhan terhadap agama lain, itulah fanatisme agama.
Dalam batas tertentu, keyakinan dan sikap fanatis ini memang tidak perlu dirisaukan. Negara dengan segala sistem tatanan masyarakatnya tentu harus bersikap adil dalam memandang semua kelompok yang hidup di dalamnya, termasuk kelompok Alifa. Yang menjadi persoalan adalah bila kelompok seperti Alifa ini mengarah pada upaya monokulturalisme terhadap semua bentuk-bentuk kebudayaan dalam masyarakat. Shidqi dalam buku ini, meyakini bahwa pandangan-pandangan fanatis semacam inilah yang justru menjadi benih-benih radikalisme agama yang dalam batasan tertentu mendorong munculnya terorisme (hlm. 80-82). Terorisme sebagai sebuah gerakan atau organisasi mungkin bisa ditangkap atau dihancurkan oleh aparat Densus ‘88, tetapi terorisme sebagai sebuah ideologi tidak bisa dilawan dengan senjata sekaliber bom nuklir sekalipun kerena permasalahan terorisme adalah persoalan ideologi yang justru menyerang kaum muda. Kelompok-kelompok fundamentalisme Islam ini sudah begitu kentalnya memengaruhi sebagian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam perkotaan. Mereka lahir dengan berbagai rupa dan bentuk warnanya. Gerakan-gerakan mereka lebih mencerminkan sikap keras dan tanpa akomodatif serta tidak mengenal jalan damai. Tidak jarang, semangat gerakan mereka oleh sebagian orang dianggap lebih banyak yang membahayakan dan mengancam kemanusiaan.
Di sinilah umat beragama harus secara tegas menyatakan diri akan melawan segala bentuk tirani yang mengangkangi segala bentuk humanisme agama. Jika hendak melakukan tindakan yang membebaskan sesama umat manusia, tidak lagi perlu ada pertanyaan tentang asal usul agama atau suku. Jika pemahaman agama beranjak dari teosentrisme egois menjadi antroposentrisme, tegaknya HAM, keadilan, kesetaraan dan emansipasi di tengah masyarakat barangkali bisa diwujudkan. Ini semua akan terbukti apabila umat beragama tak terpasung dalam kerangkeng kesalehan simbolis semata, yang terbungkus teologi teosentris. Di situlah rumusan agama dalam formula humanis akan menemukan bentuknya, sehingga turut berperan dalam meretas konflik sosial yang mungkin dipicu oleh agama. Islam telah cukup lama “dibajak” oleh sejumlah kelompok untuk menuai target-target politik kekuasaan. Islam sudah sering dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan penghancuran komunitas lain di luarnya.
Untuk menghindari konflik-konflik yang ada, diperlukan strategi yang membantu masyarakat Indonesia kepada kehidupan bersama yang saling menghargai, rukun, dan menghormati perbedaan. Salah satu stategi jitu itu adalah dengan jalan mendialogkan kembali pluralisme. Terlepas dari perdebatan tentang wacana pluralisme sebagai perbincangan yang sensitif karena menyangkut perkara teologis. Karena memang, tidak semua agama sepakat tentang adanya kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran agama kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agamanya saja yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, ada “jalan lain” yang universal di luar agamanya yang bisa dijadikan sebagai jalan yang absah untuk dilalui dalam proses menuju Tuhan.
Dialog kontruktif untuk menghindari salah paham umat seagama ataupun antar-agama merupakan tuntutan yang tidak bisa ditunda. Karena itu, kita harus menghargai agama dan kepercayaan lain tanpa harus dihantui anggapan “menyamakan semua agama”. Hal ini diperlukan, karena dialog yang produktif tidak akan terwujud manakala masing-masing agama bersikap apatis dan tidak bersedia membuka diri. Meminjam ungkapan KH. Agil Siradj pada bagian pengantar buku ini, bahwa sikap menutup diri dari dialog itu bukanlah merupakan suatu sikap kekokohan iman sejati, akan tetapi justru merupakan kegoyahan. Karena “kekokohan” yang sejati tentu tidak memerlukan benteng ketertutupan.
Setiap agama tentu punya ciri, tetapi tidak harus kemudian mengekslusifkan diri. Masing-masing agama punya paham dan konsepsi mengenai “Yang Maha” disembah. Tetapi dalam hal etika dan moral, bukankah titik persamaan akan sering tampak dalam semua agama. Dalam ranah inilah barangkali, sisi universalitas nilai-nilai semua agama bisa ditumbuhkembangkan dan dikedepankan oleh semua golongan umat.
Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Menyadari bahwa perdamaian dunia serta kesejahteraan merupakan dambaan umat manusia, maka hal-hal yang menimbulkan penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan serta yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia harus ditanggulangi oleh setiap elemen bangsa negeri ini.
(Peresensi: Humaidiy AS, aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Masyarakat (LeKaS) Yogyakarta). KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Menyelami Celah Kehidupan

thumbnail
Judul : The Great Spirit (wisdom, inspiration, and reflection)
Penulis : Prie GS
Penerbit : Republika and BRC
Cetakan : Terbit 2008
Tebal : 170
Kehidupan, sebagaimana yang dialami tiap orang, mempunyai makna tersendiri yang tak sama satu dengan yang lain. Cara pandang yang berbeda menjadikan pemaknaan masing-masing person merengkuh penafsiran yang berlainan pula.
Meski dalam lingkup masalah yang sama, kadang orang memiliki metode peneropongan yang mengejutkan. Mempunyai jalan keluar berbeda. Lain dari cara pandang yang biasa-baiasa saja. Menembus batas teropong orang awam. Menelisik hal terkecil yang kadang sering terabaikan. Dan inilah kelebihan yang patut ‘dijual’ dan seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebagai bahan kajian yang enteng tapi bergelimang makna.
Buku berjudul The Great Spirit karya Prie GS yang disaripatikan dari acara radio Smart FM mencoba mencari celah kehidupan terkecil kita. Menguak rahasia yang kadang tereliminasi dari kacamata orang biasa. Didalamnya memuat ulasan tentang keculasan, tipu muslihat, dan aneka kebejatan hidup manusia. Tak ketinggalan, dengan gayanya yang khas, Mas Prie memunculkan sikap tulus, jujur, dan apa adanya, yang sekiranya patut dijadikan teladan buat bercermin.
Misalkan saja, ketika sang pengarang Mas Prie mendiskripsikan masalah nasib ramaja pada hari kiamat nanti yang dikemas dalam tulisan yang berjudul Suatu Hari di Padang Mahsyar Nanti terlihat kepiawaiannya mengemas kata, mengolah makna. Remaja digambarkan sebagai sekelompok manusia yang paling ngenes menghadapinya. Lha, gimana. Namanya remaja, sukanya masih yang enak-enak.
Bila dihubungkan dengan masalah beribadah bukan main malasnya. Disamping mempunyai bejibun aktifitas yang melupakan. Pun, sifat naluriah remaja yang suka bermalas-malas. Tak salah jika menjadi remaja merupakan tingkatan terberat yang harus dilalui manusia. Kalau memang begitu adanya bukankah semuanya, termasuk kita, pernah dan tengah mengalami masa remaja tersebut. Semoga saja kita tergolong rajul yang benar dalam bertindak. Tak seenaknya mendiri melegitimasi apa yang dikehendaki. Oh, semoga.
Kejelian ‘membaca’ Prie GS juga terdeskripsikan sendiri dalam tulisan yang berjudul Diri Sendiri. Banyak orang salah paham terhadap dirinya sendiri sehingga menganggap diri sendiri paling penting, paling banyak diurus, harus paling selamat, paling kaya, paling berkuasa. (hal 49)
Kecongkakan yang sering ditonjolkan itu kadang menggelapkan hati nurani. Bagi siapa saja yang menghalangi jalan yang ditempuh harus ditumbangkan terlebih dahulu. Sifat yang satu ini, kalau sudah mendarah daging, bisa besar masalah yang ditimbulkan. Apa saja disingkirkan. Tak peduli tetangga sendiri yang menjadi penghalang. Bahkan, kadang, handai taulan atau kedua orangtua menjadi pertaruhan. Sungguh mengenaskan.
Dalam refleksi selanjutnya kita akan dicengangkan dengan tulisan singkat tentang suatu hal yang biasa kita saksikan. Namun, tak jarang ditinggalkan untuk diteliti. Dengan judul Yang Naik Hanya untuk Terjatuh kita dipaksa untuk tidak melepaskan buku ini dari genggaman kita. Seolah kita dipaksa untuk terus melanjutkan sampai pada kata terakhir. Pada salah satu paragrafnya berbunyi “Kita sering banyak salah duga bahwa orang yang tengah naik kelas, selalu berarti naik derajat. Inilah kenapa banyak orang yang syukuran jika naik jabatan, naiuk status dan naik golongan. Kenaikan itu, misalnya, tak pernak dipahami sebagai penderitaan baru, ketertakanan baru dan cobaan baru.
Logika kenaikan kelas selalu dipandang sebagai kebaikan segala-galanya. Padahal orang tak pernah menduga, ketika seseorang tengah ge-er dinaikkan itulah sesengguhnya ia tengah dijatuhkan. Maka kita bisa melihat tentang manusia yang kemalangannya bertepatan dengan kenaikannya.” (hal 82). Saat itulah kita harus memegang banyak tuntutan. Dan jika tuntutan tersebut tak memuaskan banyak pihak yang tentunya memiliki standart penilaian yang berbeda maka yang dibuat pusing adalah kita sendiri. Lalu, senangkah anda jika
Ketika menggambarkan perihal kebangsaan Prie GS pun kian mnyadarkan kita bahwa tolak ukur sukses tidaknya bangsa bukan berdasarkan seberapa lebar negara itu terhampar, seberapa banyak pulaunya bertebaran. Dengan begitu, jangan lantas secara kuantitas masyarakat menang kita melupakan hal yag paling urgen dalam struktur ke-masyarakatan. Yakni, kualitas. Yang tak lain lain adalah berapa jauh tingkat kemakmuran, kenyamanan rakyat yang menghuninya.
Dalam Kebesaran Suatu Bangsa Jakarta digambarkan sebagai kota yang ngenes. Seharusnya, karena selalu diurus terus menerus, memiliki daya tarik melebihi kota-kota yang lain. Namun, dikalahkan oleh ‘anaknya’ sendiri. Bali, dengan sejuta pesonanya, mampu menyaigi kemasyhuran ibkota tersebut pada tataran internasional. Coba saja tanya pada turis lebih kenal mana Jakarta dibandingkan dengan Bali?
Dengan buku ini Prie GS tengah menunjukkan eksistensinya sebagai orang yang bukan biasa-biasa saja. Tulisan refleksi sebanyak 54 ini mengajak serta menyentak kesadaran orang ‘awam’. Yang biasanya mau dan hanya mampu ‘membaca’ permasalahan pada tataran permukaannya saja. Lebih dari itu, Prie GS telah malampaui cara baca ‘membaca kehidupan’ dengan pendekatan yang jarang diketemukan.
Inilah mengapa Mohamad Sobary ‘berani’ berkomentar dalam testimoninya “...dan karena itu kita masih terlongo-longo mengenyam isi pesannya. Kita bahkan sering memikirkannya kembali dari titik awal, dengan segenap kenikmatan, sampai di titik akhir lagi, seperti saat kita komat-kamit tiap sehabis makan tongseng...”.
Membeberkan kemahiran penulis dalam tulisan singkat ini adalah sebuah kemustahilan. Karena anda akan menemukannya saat anda menelaah sendiri satu persatu refleksi-refleksinya. Selamat membaca dan ketagihan pula.
(Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka, mahasiswa IAIN Walisongo, pustakawan Pesanggerahan Kalamende Semarang) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Tahu Karena Terbiasa

thumbnail
‘’Jakarta Kapal Api
Bali Asri
Madura Kental
NTB Manis
Lainnya biasa-biasa saja’’
Desain kalimat di atas sengaja saya rancang menyerupai bentuk gaya tulisan puisi atau sajak agar lebih tegas dibaca. Aslinya, itu merupakan satu kesatuan jawaban dari seorang Ahmad Sauri (45), pedagang asal Banyuwangi atas pertanyaan saya tentang bagaimana Sauri bisa menyeduh kopi dengan hanya melihat wajah atau mendengar dialek (logat) bahasa seseorang.
Saya sendiri bertemu Sauri pada awal Agustus 2008 saat mampir ke warung yang disewa di sebuah areal lapang KMP Gilimanuk II yang saban hari melayari rute Pelabuhan Ketapang (Banyuwangi) – Gilimanuk (Jembrana). ‘’Saya sudah hafal betul kemauan penumpang kapal ini yang hendak minum kopi di sini. Penumpang dari Jakarta atau Jawa Barat, biasanya lebih suka kopi merek Kapal Api. Kalau Bali, harus asri dengan seduhan kopi setengah kelas. Madura biasanya minta kopi kental, orang NTB dan NTT agak manis dan yang lainnya biasa-biasa saja,’’ kata Sauri.
‘’Saya sendiri sudah sepuluh tahun bertahan hidup di atas kapal ini, jadi mengetahui betul kemauan penumpang yang ingin minum kopi,’’ lanjut Sauri lagi. Seraya menikmati suguhan kopi yang dibuatkan Sauri, saya hanya berusaha mangguk-mangguk. Nampaknya Sauri bisa mengetahui karaktek para peminum kopi di kedainya karena sudah terbiasa bertemu berbagai latar belakang masyarakat pengguna kapal penyeberangan saban hari.
Sauri sendiri memiliki dua istri dan dikaruniai lima orang anak. Sauri sudah 10 tahun menyewa salah satu areal di dek parkir berukuran 1 x 1,5 untuk jualan aneka camilan, nasi bungkus bila ada, mie rebus dan kopi. Setiap saat, kedai kecil ttersebut selalu saja ada pembeli. Tempat itu disewa Sauri Rp 2 juta per bulan, dan meraih untuk sekitar Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.
‘’Hidup itu tidak boleh tegang-tegang. Seperti saya, tetap berusaha tertawa, meski memiliki dua istri. Ya, enjoy aja seperti bahasa iklan sebuah produk rokok. Soal urusan ‘’setor’’ saya tetap melakukan kewajiban sebagai seorang suami secara bertanggung jawab, di samping memberi nafkah secara lahiriah setiap bulan,’’ kata Sauri sembari tertawa ngakak.
Kesan yang minimal saya dapat dari pertemuan dengan Sauri; untuk hidup dan membangun kehidupan, harus tetap berjuang dengan penuh kreatif. Untuk menggerakan sebuah bisnis, sangat dibutuhkan modal, komunikasi (informasi) dan harus berani membuka diri untuk memulai.
Dalam berbisnis, tidak pernah ada sekat-sekat ruang, waktu dan musim. Pun tidak pernah ada nubuat bahwa berbisnis itu hanya bisa dilakukan siang atau malam saja. Juga tidak pernah ada larangan agar tidak boleh berbisnis pada siang atau malam hari. Berbisnis itu tidak mengenal ruang terang atau ruang gelap. Bisnis dapat digeluti siang atau malam, gelap atau terang, panas, dingin dan bahkan hujan sekalipun. Di simpul ini, berbisnis dapat digeluti siapa saja di bawah kolong langit katulistiwa, --di darat, laut maupun di udara. Jaya terus bagi anak negeri yang kreatif dan berani!!! (Albert Kin Ose Moruk) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Selebritas Pemberitaan

thumbnail
Setiap insan dalam segala keelokan talenta menyisir alur kehidupan terberi. Jejak fase kehidupan menghidangkan kerumitan dari masa kana-kanak, remaja hingga dewasa. Di belahan pengalaman kegembiraan maupun semburat duka bercampur tangis bersemi sinar harapan. Ya…manusia mencari dan terus mencari hari demi hari sebuah alasan eksistensial. “Untuk apa saya hidup dan ke mana saya akan melangkah!”
Kegamangan yang amat mendalam ini kerap mendorong manusia masuk dalam alam refleksi. Ada saat di mana seseorang diam hening berbincang intens dengan dirinya. Ia mematangkan pandangan hidupnya secara rohaniah dengan menekuni kitab-kitab keagamaan yang diyakini. Ia menenangkan kegelisahan nurani dengan menyerap butir-butir kebijaksanaan dari orangtua, guru, sahabat dan teman hidup yang dijumpai. Muara penemuan diri berujung pada kerendahan hati: setiap insan –yang berbeda ras, agama dan budaya—adalah duta-duta kehidupan.
Keajaiban terjadi kala seseorang menyadari dirinya sebagai pribadi yang mandiri, bebas dan otonom. Pribadi yang memiliki potensi pengembangan diri dan aktualisasi karakter. Hanya ada satu Barack Obama. Cuma ada satu Sheila Marcia. Juga Osama Bin Laden berbeda dengan Mike Tyson. Setiap pribadi mengukir kisah hidupnya sendiri. Kita tidak ditugaskan untuk bertanggung jawab atas kehidupan orang lain. Namun kesadaran kita akan benih-benih kebaikan membuat kita lebih awas untuk tidak melukai kehidupan dengan amarah, dendam dan iri hati.
Saat ini gendang pengungkapan korupsi terdengar ramai. Silat lidah politikus muda dan tua seperti sebuah ketoprak humor. Pengurus partai maupun tokoh independen gencar mengiklankan diri. Sementara rombongan aktor dan artis yang terlanjur tersohor mencoba peruntungan di panggung politik maupun kekuasaan. Koruptor, aktivis, penjahat sekelas Verry Idam Henyansyah alias Ryan hingga elite politik di negeri ini menjadi “tokoh publik”. Itulah kekuatan selebritas pemberitaan maupun parade iklan yang berlangsung kontinyu.
Setiap saat selalu ada wajah baru maupun lama yang nongol di layar kaca menyapa kita lewat akrobat peran mereka dalam kisah tertentu. Wajah Artalyta Suryani begitu familiar bak artis dadakan. Sosok Roy Surya sang pengamat IT dengan suara analisis terekam akrab di telinga pemirsa. Tawa renyah Oprah Winfrey menyapa bintang tamu sudah seperti suara orang terdekat di hati kita.
Selebritas pemberitaan membuat obyek pemberitaan menjadi subyek tontonan mengasyikkan. Tragedi maupun bencana seperti pentas kolosal di sebuah tempat. Masyarakat digital kerap tak peduli dengan masalah-masalah krusial kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri.
Demikian pula di pentas politik, rakyat digiring mendewakan tokoh-tokoh muda yang dicitrakan dinamis dan penuh daya dobrak. Tapi, perangkat-perangkat pencitraan “lupa” bahwa yang tersajikan adalah selebritas wacana, opini, asumsi dan prediksi. Bukan selebritas aksi.
Itulah kelemahan krusial yang membuat kita lupa bahwa setiap kita adalah duta kehidupan. Pribadi-pribadi yang menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Karya kita adalah eksistensi kita. Bakti kita adalah kualitas kemanusiaan kita. Itulah yang tidak tertanam sebagai gerak kesadaran untuk membangun bangsa dengan kerja keras dan karya cerdas. Akibatnya kita (bangsa Indonesia) lamban membaca peluang-peluang usaha. Saatnya kita meneladani bangsa Cina dan India yang mulai menawarkan kejayaan peradaban baru di tengah pudarnya dominasi “peradaban Amerika”. Mereka bangsa yang tekun dan pekerja keras. Apakah manusia Indonesia jarang berkomunikasi dengan dirinya, memasuki alam refleksi sehingga tidak mau tahu bahwa hidup adalah berkarya bukan bermimpi. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Masih Minim Resep Masakan Khas Bali

thumbnail
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Ardika mengatakan masih minim resep masakan Bali untuk dijadikan acuan membuat menu atau cara memasak bagi pecinta juru masak nasional maupun internasional. "Resep masakan Bali masih sedikit sehingga untuk dapat menembus pangsa pasar nasional maupun internasional perlu pengkajian dan penelitian lagi," kata Ardika di Sanur.
Di hadapan peserta seminar Membedah Khasanah Kuliner Bali itu, Ardika mengatakan, seni menyajikan hidangan yang lezat dalam dunia memasak identik dengan seni menari. Makanan dirasakan enak bila mampu mengolah dengan keahlian masak dengan cara atau seni seorang juru masak yang disebut Gastronomi. Gastronomi Bali (keahlian) memasak khas Bali, selayaknya diangkat dalam bentuk identitas untuk sebuah pelestarian. Karena itu tugas lembaga pendidikan dan pariwisata wajib memberi dukungan demi terciptanya resep masakan Bali. "Sering saya menerima pertanyaan dari beberapa wisatawan, masakan Bali itu apa saja, dan tempatnya yang benar-benar dikenal cari di mana, ucap pria kelahiran Kabupaten Buleleng.

Hal tersebut menunjukkan Bali dengan budaya dan seninya yang terkenal, padahal di balik itu juga memiliki khasanah budaya kuliner yang begitu kaya yang belum tergarap. Sementara itu salah seorang pembicara I Gusti Ngurah Seramasara M.Hum mengatakan, masakan Bali begitu kaya dan layak go internasional. Semisal cara adonan "lawar" atau babi guling sangat layak untuk diangkat ke tingkat internasional.
Asalkan resep dari masakan tersebut benar-benar dikaji dan memenuhi higienis meliputi ketepatan bahan, rasa aroma dan cita rasa mampu diracik dalam sebuah panduan menu. "Mengolah masakan diakui sulit untuk menetapkan standar baku, walau dalam resep telah ditentukan bahan yang tepat, tetapi dari hasil rasa maupun aroma kadang beda," kata dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Dalam mengolah masakan kadang tanpa resep pun memiliki kekhasan, karena keahlian dan kemampuan memasak bisa dipelajari, namun cita rasa kadang berbeda. Peserta seminar sehari difasilitasi Indonesia Chef Asociation (ICA) dan dihadiri kalangan praktisi juru masak, mahasiswa pariwisata dan pemerhati masakan.
Sementara 136 peserta dari 22 hotel di Bali ikut serta dalam lomba masakan tradisional dan internasional dalam kegiatan Sanur Village Festival (SVF) ke-3 yang berlangsung selama lima hari hingga 10 Agustus 2008. Presiden Indonesia Chef Association (ICA) Bali, Bagus Made Parwata mengatakan, lomba masakan itu siap menguguhkan 14 kelas.
ICA sebagai wadah para kepala juru masak dari berbagai kalangan hotel di Pulau Dewata, untuk berpartisipasi memajukan profesionalisme juru masak, khususnya di Bali sebagai kawasan pariwisata dunia. Pada hari pertama, peserta dibagi lima kelompok dengan masakan tradisional yaitu masakan jenis sate.
Juru masak tersebut diarahkan agar mampu mengolah masakan secara sehat, tepat, memperhatikan rasa dan aroma sebagai konsep dasar memasak serta menjaga kebersihan dapur dengan memperhatikan kebersihan lingkungan. ‘’Saat mengolah masakan tidak boleh membuang sampah sembarangan. Peserta juga harus memilah-milah sampah sesuai kategori organik dan anorganik serta membuang ke tempat yang sesuai," katanya. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Gunung Rinjani Terus Menebar Pesona

thumbnail
Kunjungan wisatawan ke Gunung Rinjani (3.726 m di atas permukaan laut ) di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan salah satu obyek wisata andalan daerah ini, terus meningkat.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) , Ir. M. Arief Toengkagie mengatakan, selama empat bulan tahun 2008 (April-Juli) jumlah wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata pendakian itu tercatat 5.038 orang, 3.238 orang diantaranya wisatawan mancanegara (wisman) dan 1.800 orang wisatawan nusantara (wisnu).
Kalau dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan pada periode yang sama tahun 2007 sebanyak 4.477 orang, maka terjadi peningkatan cukup signifikan, selama tahun 2007 (Januari-Desember) jumlah wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata tersebut mencapai 9.517 orang, 5.065 orang diantaranya dari mencanegara dan 4.452 orang wisnu.
"Melihat kecenderungan semakin ramainya kunjungan wisatawan, maka hingga akhir tahun 2008 nanti diperkirakan jumlah wistawan yang berkunjung ke obyek wisata tersebut bisa mencapai lebih dari 10.000 orang," kata Arief seperti dikutip Antara.

Obyek wisata yang secara geografis terletak di tiga kabupaten, yakni Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur melalui jalur pendakian Sembalun, dapat ditempuh selama 4-5 jam menggunakan kendaraan umum.
Sedang untuk jalur pendakian Sembalun, dari Sembalun Lawang ke Puncak Gunung Rinjani ditempuh selama tujuh jam jalan kaki, sementara Sembalun Lawang-Segara Anak selama 8-10 jam jalan kaki.
Sementara untuk jalur pendakian Senaru, Kecamatan Bayan, dari Mataram dapat ditempuh selama tiga-empat jam dengan kendaraan umum, selanjutnya Senaru-Segara Anak selama tujuh hingga 10 jam jalan kaki.
Para wisatawan yang berkunjung ke Gunung Rinjani bisa menikmati berbagai obyek wisata menarik, antara lain di Senaru yang merupakan gerbang pendakian terdapat desa adat Senaru dan di desa tersebut juga terdapat air terjun dua tingkat, yakni Sedang Gila dengan ketinggian 25 meter dan Tiu Kelep.
Selain itu juag bisa ditemukan air terjun Jeruk Manis dengan ketinggian 30 meter di Desa Kembang Kuning dan di lokasi tersebut terdapat berbagai jenis fauna, antara lain lutung (Tracyphitecusauratus cristatus dan burung elang.
Di puncak Gurung Rinjani para wisatawan bisa menikmati keindahan dan memancing ikan di Danau Segara anak yang berada pada ketinggian 2.010 dpl dan mandi di sumber air panas, Aik Kalak dan pemdangan alam yang indah di obyek wisata ini juga bisa ditemukan berbagai jenis fauna dan flora.
Kini pengelolaan obyek wisata Gunung Rinjani semakin baik dengan melibatkan masyarakat sekitarnya, sehingga kawasan Rinjani kini tengah diusulkan menjadi `Geopark` (Taman Bumi) pertama di Indonesia dan kedua di Asia setelah Pulau Langkawi, Malaysia. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008


Kebun Raya Bogor Koleksi Anggrek “Raksasa”

thumbnail
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (PKT-KRB) di bawah otoritas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memiliki rumah angrek (Orchid House), yang merupakan bagian dari koleksi tanaman di kebun raya itu.
Namun, khusus di pekarangan KRB juga terdapat beberapa jenis anggrek lainnya, dan salah satunya adalah "Grammathophyllum Speciosum Blume "(Giant Orchid) yang dikenal dengan "anggrek raksasa" atau dikenal pula dengan "anggrek tebu".
"Disebut dengan `anggrek tebu`, karena karena perawakannya yang mirip (tanaman) tebu," kata penanggung jawab Rumah Anggrek KRB, Eka Ratna kepada ANTARA.
Eka Ratna menjelaskan rumah anggrek memiliki koleksi beragam jenis anggrek, baik dari Indonesia maupun dari mancanegara. Koleksi tersebut antara lain berbagai macam spesies anggrek mulai dari "Phalaenopsis", "Dendrobium", "Coelogyne", "Cymbidium", "Vanda", "Spathoglotis", "Phaius", "Mokara", "Oncidium", dan "Caheya".
Koleksi anggrek tersebut, katanya, ditanam di dua ruangan yaitu ruang hibrid dan ruang spesies. Di ruang hibrid sebagian jenis anggrek seperti "Phalaenopsis", "Dendrobium", "Cheya", "Ochidium", "Mokara", juga dapat dibeli masyarakat umum penggemar tanaman anggrek dengan kisaran harga mulai dari Rp20 ribu hingga Rp250 ribu.
Dikemukakannya bahwa tanaman angrek Bulan adalah jenis anggrek banyak diminati oleh pengunjung.
"Bunga berwarna putih tersebut harganya Rp120 ribu per satu pot-nya," kata Eka sambil menambahkan bahwa jenis "Dendrobium" juga cukup banyak diminati oleh pembeli, dengan harga mulai Rp20 ribu rupiah hingga Rp70 ribu. Selain menjual anggrek, pihaknya juga menjual tanaman lainnya seperti "Anturium".
Menurut dia, untuk merawat anggrek supaya tetap sehat harus disiram setiap harinya. Selain itu, perlu diberikan pupuk dan pestisida agar tumbuh subur. Air beras juga dapat digunakan sebagai pengganti pupuk tanaman anggrek yang dapat diberikan dua kali dalam seminggu.
Dijelaskannya bahwa setiap jenis anggrek memiliki cara perawatan yang berbeda. Untuk anggrek Bulan misalnya, jenis ini membutuhkan tempat yang lembab dan teduh, sedangkan untuk jenis "Dendrobium", justru membutuhkan lebih banyak cahaya matahari. Jika tidak, maka tunasnya tak bisa tumbuh kokoh dan bagus.
Medium anggrek juga berbeda dari tanaman lainya, yakni mediumnya tidak berupa tanah, tetapi berupa arang atau pakis cacah. Omset yang bisa didapat dari bisnis anggrek tersebut bisa mencapai Rp8 juta hingga 10 juta perbulannya, demikian Eka Ratna. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Menu Indonesia Di Restoran Roszakert Hungaria

thumbnail
Makanan Indonesia untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada masyarakat Hungaria oleh putri pemilik restoran di Kota Budaors sekitar 20 km dari Budapest yang menggeluti profesi bidang pariwisata.
Juliana Koblov yang pernah mengikuti beasiswa Darmasiswa dari Departemen Luar negeri RI yang belajar di Universitas Padjajaran, Bandung tidak saja memperkenalkan makanan, tetapi juga seni budaya Indonesia yang ditampilkan di Restoran Roszakert.
Sekretaris I, Pensosbud KBRI Budapest Arena Sri Victoria kepada koresponden ANTARA London, mengatakan Juliana Koblov memiliki ikatan budaya yang sangat kuat dengan Indonesia itu melihat peluang bisnis dengan memperkenalkan makanan dan budaya yang dipelajarinya.
Arena mengatakan sehari dalam seminggu, Restoran Roszakert hanya menyajikan menu Indonesia dan menampilkan kesenian Indonesia berupa tari tarian kepada tamu yang datang.
Program memperkenalkan makanan Indonesia itu diluncurkan Dubes RI untuk Republik Hungaria merangkap Republik Kroatia, Bosnia-Herzegovina, dan Macedonia, Mangasi Sihombing, beserta isteri yang menjadi tamu kehormatan.
Pemilik restoran Kelemen Tibor mengharapkan Dubes dan Ny Mangasi Sihombing memberi penilaian dan juga saran untuk dapat meningkatkan kualitas makanan Indonesia yang disajikan.
"Pesanan tempat untuk minggu depan sudah penuh," ujar Juliana Koblov yang mengaku mencari resep makanan Indonesia melalui internet seperti resep masakan asal Maluku ikan tuna dengan saus buah alpukat dan kalio ayam dari Padang.
Suasana Indonesia terasa sangat kental di restoran yang menampilkan musik rindik Bali yang ditampilkan alumni Darmasiswa lainnya diantaranya Nemeth Gabor, Terfy Andras, Oliver dan Felicia Zsinka. Apalagi saat Shinto Murastuti melantumkan lagu Indonesia mulai dari irama dangdut sampai campur sari.
Menurut Arena, dalam mensukseskan promosi masakan dan senibudaya Indonesia, KBRI Budapest menyumbangkan brosur yang diberikan kepada pengunjung restoran. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Muhamad Zaini Dan Mainan Rakyat Sunda

thumbnail
Mainan anak-anak atau mainan tradisional rakyat di Jawa Barat telah ada sejak abad 13, mulai dari congklak hingga mainan yang juga berfungsi sebagai instrumen musik semacam sanari, jumlahnya tidak kurang dari 186 jenis.
Hal itu dikemukakan sarjana desain Institut Teknologi Nasional, Muhammad Zaini Alif yang meraih S2 bidang mainan rakyat di Institut Teknologi Bandung, ketika dijumpai Antara di acara Bandung Kotaku Hijau, di Tegal Lega, Bandung Selatan, akhir pekan lalu.
"Sayangnya, mainan itu sudah lama ditinggalkan atau dilupakan orang, sehingga saat ini sudah banyak yang punah," kata Zaini, juga dikenal sebagai Ketua Umum Komunitas Hong (mainan rakyat) dan pendiri sebuah perkampungan khusus untuk koleksi mainan rakyat Sunda.
Berdasarkan penelitiannya, Zaini mengatakan bahwa setiap jenis mainan tradisional memiliki tiga manfaat, yakni membuat si pemain memperoleh pemahaman tentang dirinya sendiri, tentang alam sekitarnya, dan tentang agama (Tuhan).
"Sedangkan mainan modern hanya memberikan kecerdasan lahiriah," katanya.
Melihat arti penting mainan rakyat bagi pengembangan mental dan kecerdasan anak-anak, Zaini merasa perlu melakukan penelitian dan membangun pusat pelestariannya, yakni Kampung Kolecer di Desa Cibuluh, Tanjung Siang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Terletak di antara Desa Ciater dan Sumeng, tempat seluas 2.000 meter persegi itu dapat dijangkau melalui rute Jakarta Subang-Ciater atau Bandung-Lembang-Ciater.
Setiap hari dibuka untuk umum mulai pukul 08.00-15.00 WIB, Kampung Kolecer menerapkan Harga Tanda Masuk Rp100.000 per orang untuk biaya perawatannya.
Pengunjung dapat memainkan berbagai jenis mainan yang diinginkan, termasuk yang sudah dianggap punah seperti sanari (bambu panjang yang di lubangi di beberapa bagian sehigga menghasilkan bunyi bila terhembus angin), toleot (suling yang sembilunya dipotong), bangbarangapung (mainan dari bahan bambu pipih, jenisnya terdapat di hampir setiap negara di dunia), ataupun gogolekan (wayang dari bahan pelepah daun singkong).
Menurut Zaini, pihaknya menerapkan pula paket khusus untuk kunjungan pelajar sekolah, minimal 40 orang. Sebaliknya, ada pula paket kunjungan ke sekolah dengan biaya Rp2 juta, di luar perhitungan biaya transportasi.
"Tergantung jaraknya. Kalau sekolahnya di Bandung tentu lebih murah ketimbang kalau harus ke Jakarta, " katanya sambil tertawa.
Berharap dapat memperluas Kampung Kolecer sebagai salah satu wadah pelestarian budaya bangsa, Zaini mengatakan pihaknya membutuhkan bantuan dana.
Ketika ditanyakan apakah ada kepedulian dari pemerintah, ia mengatakan kampungnya itu sudah beberapa kali dikunjungi pejabat, termasuk dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, namun hanya sebatas kunjungan. "Orang Sunda bilang, `Waraga na datang, Warogat na teu datang-datang`," demikian Zaini. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Pertanian Diabaikan Karena Kesan Kotor

thumbnail
Fakultas pertanian mulai ditinggalkan generasi muda. Padahal dalam bentangan kawasan usaha, sektor pertanian Indonesia potensial dikembangkan dalam peta agribisnis terpadu hulu hingga hilir. Persepsi yang keliru soal ilmu pertanian di kalangan pelajar muda perlu disiasati dengan mengembangkan bidang agribisnis menjadi sentral perguruan tinggi. Tentunya, minat kaum muda akan kembali tumbuh karena dunia pertanian jauh dari kesan kotor dan berlumpur.
Generasi muda kurang berminat mendalami ilmu pertanian di tingkat perguruan tinggi. Hal ini disinyalir Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Fasli Jalal karena adanya citra pertanian yang basah, kotor dan berlumpur. Sehingga fakultas pertanian tidak menjadi fakultas favorit di negeri ini. "Pandangan orang kan tentang petani itu, identik dengan basah dan berlumpur. Ini yang harus kita hilangkan," katanya kepada Antara.
Menurut Fasli Jalal, citra tersebut bisa dihilangkan dengan memberikan sosialisasi kepada para murid SMA, guru, orang tua dan masyarakat umum, tentang fakultas pertanian.
Lebih lanjut Fasli mengatakan fakultas pertanian akan diarahkan kepada pengembangan agrobisnis dan agroteknologi. "Kalau sudah bisnis kan akan terbayang yang lebih menjanjikan," katanya.
Dari segi kurikulum, kata dia, harus digunakan cara yang responsif dan kompeten dengan dunia kerja. Nantinya penguasaan ilmu pertanian tidak lagi berorientasi pada aspek pendalaman ilmu, tapi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
"Akan ada banyak praktek langsung secara riil yang dilakukan," katanya.
Ia mengakui masih sedikit perusahaan pertanian berskala besar di Indonesia, kebanyakan berskala sedang dan kecil. "Ini juga menjadi salah satu penyebab kurang diminatinya fakultas pertanian," katanya.
Berdasarkan data Departemen Pertanian (Deptan), saat ini terdapat 94.070.066 (94 juta) hektar (ha) lahan di Indonesia yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Dari lahan tersebut sekitar 25,4 juta ha diantaranya, menurut Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Deptan, Hilman Manan, potensial untuk persawahan atau budidaya tanaman pangan. "Potensi lahan tersebut tersebar di hampir seluruh propinsi di tanah air baik di kawasan Sumatera, Jawa, Bali, NTB dan NTT, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku," katanya.
Menurut Hilman, luas lahan potensial untuk pertanian tersebut baik lahan rawa maupun non rawa terbesar di kawasan Kalimantan yang mencapai 28,03 juta ha, disusul Sumatera 26,11 juta ha, serta Papua dan Maluku 20,96 juta ha. Lahan-lahan tersebut, tambahnya, tidak hanya berpotensi untuk pertanian namun juga perkebunan dan pengembangan peternakan guna penyediaan daging.
Sementara Gurubesar Universitas Udayana Prof Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta mengingatkan bahwa membangun dan memajukan sektor pertanian tidak bisa hanya dibebankan kepada Departemen Pertanian bersama petani, namun harus mendapat dukungan dari semua pihak secara terpadu. Dukungan tersebut antara lain menyangkut infrastruktur, pendidikan, industri, perbankan, perdagangan, hukum, penelitian serta pemihakan masyarakat terhadap petani. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008


Fakultas Rumpun Pertanian Unhas Sepi Peminat

thumbnail
Indonesia terkenal sebagai negara agraris dan maratim dengan potensi lahan pertanian dan garis pantai terluas di kawasan Asia Tenggara. Sayang, Fakultas Rumpun Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar yang meliputi bidang studi pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan serta kehutanan kurang diminati calon mahasiswa. Padahal negeri ini amat membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang mampu mengelola berbagai potensi sumber daya alam yang ada.
Menurut pengakuan Pembantu Rektor I Unhas Makassar, Prof DR Dadang Achmad Suryamihardja, yang dilansir Antara, minat calon mahasiswa masuk fakultas ini sangat minim. Jumlah calon mahasiswa hingga saat ini belum mencapai target sekitar 1.000 orang per tahun.
Calon mahasiswa lebih banyak yang memilih masuk fakultas kedokteran dan fakultas lainnya, padahal mahasiswa yang diterima minim karena daya tampung setiap tahun terbatas.
Menurut Dadang, fakultas rumpun pertanian tersebut hanya dijadikan pilihan, sedangkan sasaran utama mahasiswa lebih dominan ke rumpun fakultas kesehatan yang meliputi kedokteran, kedoteran gigi, kesehatam masyarakat dan farmasi.
Selain itu, calon mahasiswa juga banyak yang tertarik pada teknik jurusan geologi dan perkapalan karena banyaknya order untuk luaran dari fakultas tersebut sebelum mahasiswa selesai.
Dadang mengatakan, hingga saat ini, kedokteran dan teknik masih menjadi favorit sedangkan fakultas lainnya dijadikan alternatif.
Padahal lanjutnya, aktivitas masyarakat pada bentangan agro kompleks, cukup luas mulai dari proses pembenihan, pembesaran, pemanenan hingga pemasaran.
Semua aktivitas tersebut, ada di lapangan dan memberikan peluang lapangan pekerjaan. Sebabnya karena, pelaku usaha kurang memberikan promosi kepada calon mahasiswa untuk masuk ke universitas sehingga calon mahasiswa tidak terpikat.
Sementara itu, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Unhas, Dahlan Abubakar mengatakan, pihaknya memberikan porsi yang lebih banyak kepada fakultas rumpun pertanian. Sebab Unhas memiliki peran sebagai menara pendidikan tinggi yang menjadi sandaran bagi daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) khususnya yang berbasis pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan.
Karena itu, lanjutnya, Unhas memberikan keringanan pembayaran bagi calon mahasiswa yang memilih bidang studi ini, baik melalui regular maupun non-regular.
Biaya yang dibebankan kepada mahasiswa baru untuk regular fakultas kedokteran mencapai sekitar Rp100 juta, kedokteran gigi Rp60 juta, farmasi Rp50 juta, dan keperawatan Rp40 juta.
Sementara, fakultas ekonomi Rp30 juta, kesehatan masyarakat Rp25 juta, hukum Rp25 juta, teknik Rp15 juta hingga Rp25juta, ilmu sosial politik sekitar Rp25 - Rp30 juta, ilmu budaya Rp8 juta - Rp15 juta, MIPA Rp15 juta. Sedangkan pertanian, peternakan, ilmu kelautan dan perikanan dan kehutanan hanya Rp15 juta. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Agribisnis Jadi Sentral Pendidikan Perguruan Tinggi

thumbnail
Seleksi nasional mahasiswa baru 2008 menunjukkan turunnya jumlah calon mahasiswa yang masuk Fakultas Pertanian. Fakta tersebut membuat miris pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Mochamad Maksum.
Seperti dilansir Antara, Mochamad Maksum menilai ironis minat generasi muda masuk Fakultas Pertanian kini semakin turun. "Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, tetapi ternyata generasi mudanya tidak lagi berminat masuk Fakultas Pertanian," katanya.
Perlu terobosan mendasar agar ilmu pertanian kembali diminati kalangan muda. "Solusinya, kalau Fakultas Pertanian tidak lagi menarik bagi generasi muda, perlu dibuat terobosan agar bidang studi ini kembali diminati," katanya.
Misalnya bidang agribisnis perlu menjadi sentral perguruan tinggi di Indonesia. "Dengan demikian diharapkan generasi muda dapat tertarik kembali untuk mempelajari ilmu tersebut," katanya.
Ia mengingatkan turunnya minat generasi muda masuk Fakultas Pertanian perlu dilihat sebagai kritik internal bagi dunia perguruan tinggi di Indonesia.
"Karena itu semua pihak perlu lebih memperhatikan Fakultas Pertanian agar dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman," katanya.
Sementara Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan Depdiknas menjalin kerjasama dengan Departemen Pertanian mengenai Pembinaan Pendidikan Kejuruan pada Sekolah Pertanian Pembangunan.
Diharapkan kerjasama tersebut mampu meningkatkan rasio jumlah peserta didik antara sekolah menengah kejuruan (SMK) dan sekolah menengah atas (SMA) menjadi 70:30 dapat tercapai pada tahun 2015.
"Kesepakatan bersama ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan mutu penyelenggaraan dan pembinaan pendidikan menengah kejuruan bidang pertanian yang handal melalui penataan satuan pendidikan yang diselenggarakan Deptan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional pada jenjang pendidikan menengah kejuruan," katanya.
Ruang lingkup kerjasama meliputi pembinaan kelembagaan, pengembangan program studi/keahlian, kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran, pengembangan peserta didik, pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, dan sebagainya, katanya.
Sedangkan Menteri Pertanian, Anton Apriyanto mengatakan, saat ini Deptan dengan bantuan Depdiknas tengah mempersiapkan empat Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) menjadi sekolah bertaraf internasional, yakni SPP Negeri Sumbawa, SPP Negeri Pelaihari, SPP Negeri Banjarbaru, dan SPP Negeri Kupang.
"SPP yang dulu bernama Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) akan direvitalisasi ke arah pendidikan menengah kejuruan berbasis kompetensi di bidang pertanian guna mendukung pelaksanaan program pembangunan pertanian," katanya.
Revitalisasi pendidikan menengah pertanian difokuskan pada lima langkah, yakni pengembangan lembaga pendidikan pertanian, peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan, peningkatan profesionalisme tenaga pendidikan dan kependidikan, peningkatan kualitas sarana dan prasarana serta peningkatan kerjasama dalam pelaksanaan program pendidikan, tambahnya. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Bahan Bakar Buat Anak

thumbnail
Alya Rohali
“Andjani kalo ke sekolah berangkatnya jam tujuh. Waktu TK, dia sering sarapan di mobil. Saya lalu berpikir tidaklah baik kalo itu jadi kebiasaan,” kenang Alya Rohali (32) mengawali kisah bagaimana ia membiasakan puterinya Namira Andjani Ramadina, berusia 9 tahun, gemar sarapan pagi.
Presenter dan bintang sinetron Alya Rohali hadir di Denpasar bersama puteri semata wayangnya Andjani --buah perkawinan dengan suami pertama Eri Surya Kelana--
membagi tips dan pengalaman kepada orangtua terutama kaum ibu untuk mengisi “bahan bakar” anak sebelum memulai aktivitas seharian.

Sarapan pagi identik dengan mengisi “bahan bakar” sehingga anak memiliki kecukupan energi untuk beraktivitas. Sarapan adalah kegiatan makan yang terpenting bagi anak, setelah makan malam kira-kira 12 jam sebelumnya. Setelah berjam-jam tidak memperoleh asupan makanan, maka tubuh anak membutuhkan sarapan sebagai bekal kegiatannya sepanjang hari.
Riset memperlihatkan bahwa sarapan berperan mendukung prestasi belajar anak di sekolah. Alya Rohali telah membuktikan bahwa anak-anak yang rajin sarapan bergizi, termasuk sereal, akan lebih baik di sekolahnya. “Saya melihat ada korelasi kebiasaan Andjani sarapan pagi dengan prestasinya di sekolah. Andjani jadi jarang sakit, prestasi bagus dan absensinya juga bagus. Andjani jadi jarang jajan di sekolah. Untuk ibu-ibu jangan lupa perhatikan sarapan pagi dan pilih sereal yang bernutrisi,” saran Puteri Indonesia 1996 itu saat menjadi bintang tamu Koko Olimpiade VII 2008 bertema Ajang Kreasi & Prestasi dengan Sarapan Bernutrisi, di GOR Kompyang Sujana, Denpasar, Minggu (10/8).
Menurut konsultan gizi Nestle Farida Nuryati, sarapan memberi 20-23 persen kebutuhan nutrisi. Sarapan juga mencegah kegemukan dan anak bisa jarang jajan. “Sarapan yang baik terdiri dari biji-bijian yang mengandung karbohidrat, protein dan vitamin yang biasanya terdapat dalam produk gandum utuh,” ujarnya.
Data European Breakfast Cereal Assosiation mengatakan, anak-anak yang sering sarapan sereal lebih tercukupi kebutuhan vitamin dan mineralnya dibanding dengan anak yang jarang sarapan sereal. (Beny Uleander) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Melirik Jajan Alami

thumbnail
Nena Mawar Sari, S.Pi
Anak-anak umumnya doyan jajan alias camilan. Tapi kebiasaan jajan lebih banyak rugi daripada untungnya, seperti diungkap konsultan gizi dan psikolog Nena Mawar Sari, S.Psi. saat ditemui dalam ajang Koko Olimpiade VII 2008 bertema Ajang Kreasi & Prestasi dengan Sarapan Bernutrisi, di GOR Kompyang Sujana, Denpasar, Minggu (10/8).
Menurut Dosen Akbid Kartini Denpasar itu, jajan tidak bisa menjadi pengganti makanan. Karena jajan tidak cukup mengandung kadar gizi seperti protein, karbohidrat, mineral dan vitamin yang penting untuk pertumbuhan fisik anak.
Ia mengaku prihatin melihat semakin banyak jenis jajan pabrikan dengan bahan pengawet yang beredar di pasaran. “Ibu-ibu sebaiknya membuat sendiri camilan alami seperti singkong. Ngga mungkinlah kita melarang iklan dan penjual jajanan di supermarket,” ujar dara kelahiran Denpasar 16 April 1982.
Ditanya kenapa anak-anak doyang jajan, dosen yang masih lajang ini menyebutkan bahwa anak-anak cepat jenuh atau sulit makan menu yang tidak bervariasi di rumah. Ia mengusulkan kepada para orangtua agar membuat variasi menu makanan yang bisa mengundang nafsu makan anak. “Orangtua sebaiknya tahu dasar-dasar makanan bergizi dan menu dengan sayuran untuk pencernaan perut anak,” ujar Nena Mawar Sari yang juga konsultan LK3.
Misalnya, jelas psikolog muda itu, perpaduan menu yang mengandung daging dan sayuran. Nena Mawar Sari menyebut pangsit isi sayuran yang mengandung vitamin, karbohidrat dan protein bisa jadi alternatif. Atau omlet mie yang terbuat dari telur. “Anak-anak makan di rumah lebih efektif daripada membeli jajanan di supermarket,” urai alumni Universitas Wisnuwardhana Malang tahun 2003. (Beny Uleander) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Biarkan Anak Panah Melejit

thumbnail
IGA Diah Fridari, S.Psi.
Berbicara lugas, cerdas dan penuh perhatian. Itulah gaya komunikasi yang dibangun praktisi psikologi industri dan organisasi IGA Diah Fridari, S.Psi. Saat disinggung dunia tumbuh kembang anak, ibu tiga anak itu dengan sigap menanggapi. Anak-anak adalah sosok kepribadian otonom. Mereka memiliki karakter dan kepribadian sendiri. “Ya seperti ditulis penyair Khalil Gibran, anak itu ibarat anak panah yang dibiarkan melejit,” tukas Diah, demikian sapaannya.
Karena itu, orangtua tak perlu membentuk sepenuhnya kepribadian anak sesuai selera ayah ibu. “Memang ada teori tabula rasa. Anak seperti kertas kosong, tapi sebenarnya dalam diri anak ada potensi karakter yang bakal bertumbuh,” urai Diah yang menyelesaikan Magister Profesi Psikologi Unair Surabaya 2006 lalu.
Lantas wanita kelahiran Denpasar, 2 Februari 1974 silam itu mengusulkan orangtua lebih menerapkan pola pengasuhan otoratif yang mengutamakan cinta orangtua tanpa pamrih kepada anak. Ada komunikasi yang terbangun antara anak dan orangtuanya. Selain itu, anak dibawa ke arah empati sehingga anak kelak memiliki kecakapan sosial. Tentunya berbeda dengan pola asuh otoriter atau permisif yang serba membolehkan anak tanpa disiplin. “Orangtua harus jadi pendamping dengan rasa respek kepada anak dan memandang dunia dari sudut pandang anak,” saran istri dr IB Krisna Wiweka itu.
Selain memperhatikan faktor gizi dan makanan anak, Diah Fridari, mengajak orangtua memperhatikan kesehatan psikis anak. Pola pendampingan orangtua berpengaruh pada pertumbuhan mental anak. “Pikiran itu sumber penyakit. Stres dan depresi terjadi karena pikiran. Memang sih ada virus dan bakteri yang mendatangkan penyakit,” ujarnya.
Diah lebih menekankan pendampingan orangtua yang membuat anak memiliki konsep diri yang matang. “Anak-anak jadi lebih optimis secara mental bukan kognitif. Kita lihat saja anak-anak yang tinggal di panti asuhan melihat kasih sayang sebagai barang yang mahal. Akibatnya secara psikologis timbul penolakan terhadap diri sendiri yang terungkap dalam sikap agresif, psikopat atau minder sebagai mekanisme pembelaan diri dari rasa tidak nyaman atau kompensasi,” urainya lagi. (Beny Uleander) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Merdeka 100% Dalam Visi Tan Malaka

thumbnail
Oleh: A. Zaenurrofik*
Kemerdekaan pada awal perjuangan dipahami sebagai perjuangan untuk bebas dari derita fisik dan belenggu penjajahan. Penjajahan penguasa kolonial telah membuat nestapa selama ratusan tahun. Hal inilah yang memicu resistensi dari rakyat --sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk membebaskan dari penindasan sembari mengidealkan bentuk tatanan sosial yang berbeda dengan tatanan sosial sebelumnya.
Beragam bentuk, pola, cara, dan tujuan perjuangan telah menjadi kategorisasi yang membedakan gerakan perjuangan kelompok yang satu dengan yang lainnya. Boedi Oetomo, misalnya, mencoba untuk membangkitkan kembali nasionalisme Jawa, dengan memberikan penekanan pada perjuangan-perjuangan yang sifatnya kebudayaan Jawa.
Sedangkan Serikat Islam pada awal kehadirannya berupaya melindungi kepentingan para pedagang batik dalam persaingan dengan pedagang asing. Dalam perkembangannya, Serikat Islam menjadi organisasi yang konsisten merecoki setiap kebijakan pemerintahan Hindia-Belanda. Gerak sejarah mengubah pola-pola perjuangan berbagai organisasi pergerakan. Ada yang tetap konsisten dengan garis perjuangannya, semakin radikal, ke arah moderat, atau konservatif. Perbedaan pola perjuangan inilah yang menjadi garis pembeda gerakan yang satu dengan yang lainnya.
Salah satu pemikiran tentang konsepsi kemerdekaan yang tidak boleh kita lupakan adalah pemikiran Tan Malaka mengenai “merdeka seratus persen”. Menurut Tan Malaka, merdeka seratus persen berarti kemerdekaan penuh oleh bangsa Indonesia dari anasir-anasir penjajahan. Dalam konteks masa itu, terjelma dalam tuntutan-tuntutan yang menolak setiap potensi ataupun bentuk penjajahan kolonial. Dengan konsep ini,Tan Malaka berhasil menyatukan perbedaan-perbedaan gerakan dalam wadah Persatuan Perjuangan. Dengan tegas Tan Malaka menolak konsesi apapun dari Belanda dalam perjanjian-perjanjian —yang tentunya bermuatan niat Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Tan Malaka senantiasa menegaskan prinsip kemerdekaan seratus persen. Dalam pamfletnya yang berjudul Gerpolek (gerilya, politik, ekonomi) ia menegaskan banyak hal tentang merdeka seratus persen, seperti prinsip berunding dengan dasar pengakuan kemerdekan seratus persen dan demokrasi ekonomi serta politik yang juga seratus persen untuk, dari dan oleh rakyat.
Harapan akan kemerdekaan yang sepenuhnya bisa direngkuh bangsa Indonesia selalu menjejali benak sang revolusioner ini. Tan Malaka dengan konsisten menyuarakan pemikirannya tersebut. Sayang, kemerdekaan seutuhnya kerapkali terabaikan dan hanya menjadi sebuah catatan kecil sejarah.
Yang jelas terdengar hingga kini adalah jargon-jargon kosong pekik kemerdekaan. ”Dengan semangat proklamasi kemerdekaan, kita tingkatkan pembangunan” ataupun jargon-jargon sejenis yang kehilangan daya sapa.
Membumikan kembali pemikiran revolusioner Tan Malaka pada situasi kekinian masih sangat relevan. Penafsiran baru pemikiran Tan Malaka ditempatkan dalam perspektif penjajahan modern. Yakni imperialisme baru menurut Lenin yang berbeda dengan penjajahan fisik tapi ada dominasi hasrat untuk menguasai sebuah suku atau bangsa. Seperti dominasi ekonomi, politik, dan budaya bangsa asing yang kini menjadi duri dalam daging kemerdekaan bangsa Indonesia. Duri kemerdekaan tersebut telah tertancap selama puluhan tahun. Parahnya lagi, banyak duri yang harus dicabut.
Dalam konsep merdeka seratus persen Tan Malaka kini adalah pergerakan memerdekakan diri dari dominasi dan subordinasi negara (imperial) lain. Negeri ini sudah habis dikapling menjadi lahan jajahan negara-negara maju. Multi National Corporation (MNC) menjelma menjadi sosok yang mewakili kepentingan modal. Kekayaan alam negeri ini sudah hampir habis dibagi oleh MNC tersebut. Hutang dikucurkan, namun diselubungi dengan ideologi ketergantungan.
Liberalisasi pasar dibuka untuk memasarkan produk-produk dari negara maju sehingga mematikan produsen lokal yang memproduksi produk dari hulu hingga hilir. Subsidi dihapus dari neraca APBN sehingga semua pelayanan publik diambil alih lembaga swasta yang murni mengejar keuntungan. Hal tersebut menjadi penegas bahwa bangsa Indonesia belum merdeka seratus persen.
*)Peneliti Center for Social Science and Religion (CSSR), Surabaya, sedang menyelesaikan tesis di Program Magister Hukum Universitas Negeri Jember. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

TV Dan Fatalisme Anak-anak Kita

thumbnail
Oleh: Nurani Soyomukti*
Dunia sinetron kita didominasi kisah yang menampilkan anak-anak keluarga borjuis atau kaum jetzet. Ada juga sinetron yang mengisahkan anak-anak gembel yang jadi pengamen. Hal tersebut mencerminkan sebagian besar anak Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin.
Persoalannya bukan apakah kisah sinetron menampilkan anak-anak Indonesia dari kalangan kaya atau miskin, anak sekolah atau bukan. Tetapi yang menjadi masalah adalah amanat dari kisah sinetron itu sendiri yang alur ceritanya tidak menggambarkan solusi dari konflik yang menghiasinya. Misalnya, dalam sebuah kisah ada seorang gadis miskin yang kondisi hidupnya susah. Seharusnya kalau sinetron memang memiliki fungsi pencerahan, maka tidak hanya sekedar menawarkan solusi kedermawanan dalam melihat hubungan sosial. Kisah gadis yang miskin mendapatkan kerja karena bantuan seorang laki-laki yang kemudian menjadi kekasihnya; sang gadis yang bahagia karena dinikahi pria yang sangat kaya; atau sang anak yang kehilangan orangtua dan diadopsi orang kaya.
Tiada kisah yang menyuguhkan kontradiksi universal, misalnya menggambarkan perjuangan untuk mengatasi kemiskinan bukan karena kedermawanan, tetapi karena keuletan menghadapi pihak-pihak yang memiskinkan. Artinya, juga harus dikatakan bahwa tidak ada sinetron yang mengisahkan perjuangan universal, perjuangan seorang anak atau remaja yang mencari sumber politis dari kemiskinan yang menimpanya. Sumber-sumber objektif dari kondisi kemiskinan tentu saja diperoleh dari kemampuan berpikir dan menganalisa. Berpikir membuat anak-anak kita cerdas dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan.
Anak-anak yang anti-ilmiah
Lebih ekstrim lagi, solusi yang ditawarkan adalah solusi metafisik atau mistik. Kisah anak banyak didominasi oleh cerita hantu, setan, jin, tuyul, atau kisah di mana tokoh anak memiliki kekuatan mistik dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut saya, tayangan seperti inilah yang sangat memundurkan cara berpikir generasi kita.
Kita dapat membandingkan dengan kisah-kisah anak dalan sinetron atau film di Barat yang mengisahkan perjalanan anak dalam memahami sebuah persoalan, petualangan, dan juga anak-anak yang berperan sebagai detektif atau membantu upaya menangkap kejahatan. Cara menangani masalahnya dengan akal, taktik, dan kemajuan teknologi dibarengi dengan analisa kritis. Tetapi anak dalam sinetron Indonesia biasanya menangkap pencuri dengan bantuan jin, kekuatan ga'ib atau mistik.
Kisah mistik ini adalah racun dalam peradaban kita yang telah memasuki era modern. Bukan hanya sinetron anak, hampir semua kisah sinema baik elektronik maupun layar lebarpun juga mengeksploitasi horor dan ketakutan karena hantu ini. Nampaknya memang tak pernah dipikirkan bahwa kisah ini hanya akan menyebarkan ideologi dan perasaan fatalisme di kalangan generasi.
Anak-anak Indonesia yang menonton tayangan mistik tentunya akan mempercayai bawa dunia dikendalikan oleh logika mistik. Logika kritis dan pencarian kebenaran objektif dan dialektis tidak akan dimiliki lagi. Dan seakan-akan, tujuan pendidikan untuk menciptakan generasi berpikir modern juga bertabrakan dengan kepentingan para pembuat sinetron hantu yang tidak memikirkan upaya pencerahan di masyarakat. Atau jangan-jangan, ada kepntingan besar yang sengaja dilakukan untuk membawa masyarakat kita kembali ke jaman kegelapan.
Jaman kegelapan dicirikan dengan adanya upaya mengembalikan segala persoalan kpada mistik atau suatu di luar logika material-dialektis. Karena orang semata-mata memahami bahwa apa yang menimpa dirinya disebabkan dan diakhiri (dipecahkan dengan) logika mistik, moral tradisional, dan reliji. Orang menderita dianggap karena takdir dan solusi dari persoalan masyarakat haruslah berserah diri semata.
Bahkan kejahatan dianggap bukab sebagai produk masyarakat yang mayoritas rakyatnya ditindas. Ketika kebijakan negara yang memundurkan kesejahteraan rakyat pada titik paling terendahnya terus terjadi (pencabutan subsidi, penjualan aset-aset bangsa, perampasan kekayaan alam, kenaikan biaya-biaya khidupan, dll), nampaknya rakyat harus menganggapnya sebagai cobaan Tuhan, dan bukannya karena hubungan ekonomi-politik yang eksploitatif. Ideologi fatalisme inilah, sesungguhnya, yang menyebabkan Indonesia semakin mundur.
Anak-anak di sekolah selalu belajar tentang gejala lam, logika alam, dan penyelidikan terhadap alam dan hubungan sosial. Setelah kembali ke kehidupan seharihari, ketika mereka melihat gejala bahwa ada orang gila meninggal dunia pada saat tidur di bawah pohon besar di desanya, misalnya, seharusnya kita melihat anak-anak yang bertanya dan menyelidiki kematian itu. Banyak kemungkinan dari penyebabnya, bisa karena keracunan gas karbon gara-gara proses sirkulasi udara di pohon yang besar atau karena kena penyakit jantung (“angin duduk”), atau alasan ilmiah lainnya. Tetapi kalau kita mendengar dari anak-anak kita bahwa orang gila itu mati karena dimakan hantu, dan hanya itu yang secara spontan (tanpa dipikirkan) menjadi jawabannya, maka berakhirlah peradaban ilmiah dan modern yang seharusnya mencirikan peradaban maju.
Keterbelakangan generasi kita dalam berpikir itulah yang menyebabkan kita terbelakang, tidak produktif dan kreatif dalam pengetahuan dan teknologi, yang membuat kita menempati mata rantai paling lemah dalam hubungan penindasan kaptalisme global. Generasi yang dalam pikirannya sejak anak-anak hanya ada hantu dan kekuatan mistik, yang selalu kalap atau lemah dalam merespon realitas material yang terus berubah.
Lihatlah betapa dalam sinetron kita kekuatan anak-anak dan remaja, kalau tidak berdo'a dan ketabahan yang moralis-relijius, tentunya ditemani oleh “Om Jin” yang siap membantunya dalam mengatasi persoalan sehari-hari. Lalu bayangkan jika anak-anak Indonesia punya pikiran bahwa mereka dapat menghadapi keadaan hidup ini dengan bantuan ketabahan, kepasrahan, dan juga khayalan tentang jin itu! Apakah yang nanti akan terjadi, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan? Wallahu'alam!
*)Penulis buku Pendidikan Berperspektif Globalisasi (Aruzzmedia, Yogyakarta 2008) & Juara I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional Menpora 2007. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Banyak Sarjana Menganggur

thumbnail
Sungguh memprihatinkan. Itulah kata yang terlontar saat mendengar pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal. Menurutnya, setidaknya saat ini di Indonesia ada 740.206 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Mereka tidak bekerja dengan alasan kompetensi ilmu yang tidak sesuai, lulusan yang tidak terserap, dan sarjana lulusan dari program studi yang sudah jenuh.
Lulusan dari fakultas ilmu sosial dan politik serta fakultas ekonomi sudah sangat banyak, tapi kurang dibutuhkan dalam dunia kerja.

Ini sungguh ironis. Karena pendidikan di Indonesia makin banyak menghasilkan penganggur. Apakah mereka dididik hanya untuk menjadi buruh yang mencari kerja pada orang lain. Bukankah seharusnya para sarjana lebih mampu dan lebih berilmu. Sehingga seharusnya mampu menciptakan lapangan kerja, setidaknya mandiri. Nampaknya semangat entreprenur dan berwirausaha harus semakin dikobarkan pada generasi muda. Agar mereka tidak selalu bergantung pada pengadaan lowongan menjadi PNS atau lowongan kerja di swasta. Inilah saatnya kita buat lapangan kerja bagi diri kita sendiri dan kalau bisa bagi orang lain. Ayo kita bisa!
(Komentar: Rosi Sugiarto, Pondok TK Al Firdaus Jatisari BSB Mijen Semarang) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Hukum Mati Koruptor

thumbnail
Sorotan utama berita di televisi dan koran saat ini adalah para pejabat negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Anehnya, pelaku korupsi dari daerah sampai pusat terus bertambah banyak, entah di kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Jumlah uang negara yang menguap tak terhitung lagi.
Masyarakat biasa yang menjadi korban kebejatan elite kekuasaan. Para koruptor sebenarnya mendzalimi masyarakat. Akibat ulah mereka, kehidupan rakyat lapisan bawah menjadi tambah sengsara dan sulit keluar dari jerat kemiskinan. Anggaran pembangunan yang seharusnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat justru masuk ke kantong pejabat untuk kepentingan pribadi.
Diskursus mengenai hukuman mati bagi koruptor yang terbukti mencuri uang negara perlu segera diterapkan di Indonesia. Mengingat banyak sekali dampak buruk yang ditimbulkan akibat perilaku korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah.
Meskipun tindakan koruptor tidak sampai menghilangkan nyawa orang, namun efek multiplier yang ditimbulkan akibat penggelapan uang negara bisa menyengsarakan orang banyak.
Karena itu, penerapan hukuman mati sangat relevan dan layak diterapkan bagi koruptor agar menimbulkan efek jera. Orang yang akan mengkorupsi uang negara akan berpikir dua kali.
(Komentar: Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi UMM Malang) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Kedaulatan Ekonomi Sektor Strategis Keropos

thumbnail
Pengamat ekonomi kerakyatan Sri Edi Swasono mengatakan, banyak ketentuan perundangan seperti di bidang migas, pelayaran maupun perbankan tidak lagi sesuai dengan jiwa gotong royong perekonomian seperti tercantum dalam pasal 33 UUD 1945.
Sri Edi Swasono dalam seminar "Mewaspadai Ancaman Asing Terhadap Kedaulatan Ekonomi Sektor Strategis" di Jakarta, mengatakan lahirnya kebijakan yang tidak pro rakyat itu antara lain karena para anggota DPR kurang menyuarakan kepentingan rakyat, tapi kepentingan partainya masing-masing. "Jadi sah-sah saja jika ada desakan mengundurkan Gus Dur, Habibie, sekarang kita mendesak supaya DPR juga dibubarkan," katanya seperti dikutip Antara.
Sri Edi Swasono menilai keroposnya kedaulatan ekonomi sektor strategis diawali sikap wakil rakyat di DPR yang kurang menyuarakan kedaulatan rakyat, tapi jadi pintu masuk kepentingan penguasaan ekonomi global.
Oleh sebab itu, katanya, kebijakan menjual BUMN strategis, selain merupakan kesalahan pemerintah karena hanya pelaksana Undang-Undang, tapi juga merupakan kesalahan anggota DPR yang mengagendakan privatisasi sektor strategis.
Hadir sejumlah pembicara lain pada acara itu, seperti Agus Mulya (Direktur Indo Solution), Sebastian Salang (Sekjen Forum Masyarakat Pengamat Parlemen Indonesia/Formappi) dan Adhie M Massardi (Komisi Penyelamat Kekayaan Negara-KPKN).
Sementara Agus Mulya menyoroti keluarnya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang menghapuskan monopoli pengelolaan pelabuhan komersial oleh BUMN pelabuhan. Indonesia, katanya, memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, tapi menjadi rapuh dengan pengelolaan pelabuhan yang sifatnya liberal.
Padahal, garis pantai dan pelabuhan berfungsi menjadi penjaga kedaulatan karena sebagai alat pengukur masuknya berbagai produk barang dan jasa yang mesti dilakukan pihak berwenang dalam pengelolaan ekonomi.
Sedangkan, Adhie M Massardi menilai penyerobotan terhadap aset-aset strategis merupakan bagian dari skenario global. Dia juga menilai penyerobotan sektor-sektor strategis oleh pihak asing sering dilakukan dengan cara-cara "preman" sampai opini yang pada akhirnya dieksekusi melalui mekanisme pembuatan undang-undang oleh parlemen.
"Ini memang berbahaya segala sesuatu dilegalkan lewat parlemen termasuk menjual berbagai kekayaan alam negara," katanya.
Globalisasi
Sementara itu keterangan tertulis seminar menyebutkan, kesepakatan WTO menekankan untuk membuka pangsa pasar bagi ekspansi ekonomi dan industri antar negara di dunia.
Paradigma ini mendorong para pemilik modal (kaum kapitalis) melakukan investasi ke negara-negara lain, terutama di negara-negara berkembang yang masih memiliki potensi sumber daya untuk dieksploitasi atau dijadikan sebagai pangsa pasar.
Namun regulasi yang berlaku di negara-negara tersebut dirasakan oleh para pemilik modal belum mendukung terhadap pelaksanaan "Foreign Direct Investment" (FDI).
Mereka menuntut agar seluruh negara-negara anggota WTO tersebut melaksanakan kesepakatan internasional globalisasi melalui revisi terhadap regulasi yang berlaku dalam rangka menciptakan iklim usaha yang dapat memperlancar masuknya investasi asing di sebuah negara.
Indonesia, sebagai salah satu negara anggota WTO dan telah sepakat dengan globalisasi tersebut, langsung merespon dengan langkah-langkah sesuai dengan tuntutan dunia internasional.
Para invetor asing mengharapkan pemerintah Indonesia dapat merevisi regulasi yang mereka rasakan masih melindungi sektor-sektor usaha tertentu dari masuknya investasi asing.
Sesuai dengan semangat globalisasi, pemerintah merevisi regulasi sektor usaha tertentu seperti UU Migas, UU Tenaga Listrik, UU SDA, UU Pelayaran, UU Perkeretaapian.
UU Penanaman Modal, diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Produk hukum yang menjadi dasar/regulasi bagi masuknya investor ini dirasakan berbagai pihak terlalu mengedepankan kepentingan asing untuk menguasai sektor-sektor usaha tertentu yang sebenarnya merupakan cabang produksi yang menguasai hajat orang banyak dan harus dikuasai oleh negara dalam penyelenggaraannya. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008