Home » » TV Dan Fatalisme Anak-anak Kita

TV Dan Fatalisme Anak-anak Kita

Oleh: Nurani Soyomukti*
Dunia sinetron kita didominasi kisah yang menampilkan anak-anak keluarga borjuis atau kaum jetzet. Ada juga sinetron yang mengisahkan anak-anak gembel yang jadi pengamen. Hal tersebut mencerminkan sebagian besar anak Indonesia yang hidup dalam kondisi miskin.
Persoalannya bukan apakah kisah sinetron menampilkan anak-anak Indonesia dari kalangan kaya atau miskin, anak sekolah atau bukan. Tetapi yang menjadi masalah adalah amanat dari kisah sinetron itu sendiri yang alur ceritanya tidak menggambarkan solusi dari konflik yang menghiasinya. Misalnya, dalam sebuah kisah ada seorang gadis miskin yang kondisi hidupnya susah. Seharusnya kalau sinetron memang memiliki fungsi pencerahan, maka tidak hanya sekedar menawarkan solusi kedermawanan dalam melihat hubungan sosial. Kisah gadis yang miskin mendapatkan kerja karena bantuan seorang laki-laki yang kemudian menjadi kekasihnya; sang gadis yang bahagia karena dinikahi pria yang sangat kaya; atau sang anak yang kehilangan orangtua dan diadopsi orang kaya.
Tiada kisah yang menyuguhkan kontradiksi universal, misalnya menggambarkan perjuangan untuk mengatasi kemiskinan bukan karena kedermawanan, tetapi karena keuletan menghadapi pihak-pihak yang memiskinkan. Artinya, juga harus dikatakan bahwa tidak ada sinetron yang mengisahkan perjuangan universal, perjuangan seorang anak atau remaja yang mencari sumber politis dari kemiskinan yang menimpanya. Sumber-sumber objektif dari kondisi kemiskinan tentu saja diperoleh dari kemampuan berpikir dan menganalisa. Berpikir membuat anak-anak kita cerdas dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh keadaan.
Anak-anak yang anti-ilmiah
Lebih ekstrim lagi, solusi yang ditawarkan adalah solusi metafisik atau mistik. Kisah anak banyak didominasi oleh cerita hantu, setan, jin, tuyul, atau kisah di mana tokoh anak memiliki kekuatan mistik dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut saya, tayangan seperti inilah yang sangat memundurkan cara berpikir generasi kita.
Kita dapat membandingkan dengan kisah-kisah anak dalan sinetron atau film di Barat yang mengisahkan perjalanan anak dalam memahami sebuah persoalan, petualangan, dan juga anak-anak yang berperan sebagai detektif atau membantu upaya menangkap kejahatan. Cara menangani masalahnya dengan akal, taktik, dan kemajuan teknologi dibarengi dengan analisa kritis. Tetapi anak dalam sinetron Indonesia biasanya menangkap pencuri dengan bantuan jin, kekuatan ga'ib atau mistik.
Kisah mistik ini adalah racun dalam peradaban kita yang telah memasuki era modern. Bukan hanya sinetron anak, hampir semua kisah sinema baik elektronik maupun layar lebarpun juga mengeksploitasi horor dan ketakutan karena hantu ini. Nampaknya memang tak pernah dipikirkan bahwa kisah ini hanya akan menyebarkan ideologi dan perasaan fatalisme di kalangan generasi.
Anak-anak Indonesia yang menonton tayangan mistik tentunya akan mempercayai bawa dunia dikendalikan oleh logika mistik. Logika kritis dan pencarian kebenaran objektif dan dialektis tidak akan dimiliki lagi. Dan seakan-akan, tujuan pendidikan untuk menciptakan generasi berpikir modern juga bertabrakan dengan kepentingan para pembuat sinetron hantu yang tidak memikirkan upaya pencerahan di masyarakat. Atau jangan-jangan, ada kepntingan besar yang sengaja dilakukan untuk membawa masyarakat kita kembali ke jaman kegelapan.
Jaman kegelapan dicirikan dengan adanya upaya mengembalikan segala persoalan kpada mistik atau suatu di luar logika material-dialektis. Karena orang semata-mata memahami bahwa apa yang menimpa dirinya disebabkan dan diakhiri (dipecahkan dengan) logika mistik, moral tradisional, dan reliji. Orang menderita dianggap karena takdir dan solusi dari persoalan masyarakat haruslah berserah diri semata.
Bahkan kejahatan dianggap bukab sebagai produk masyarakat yang mayoritas rakyatnya ditindas. Ketika kebijakan negara yang memundurkan kesejahteraan rakyat pada titik paling terendahnya terus terjadi (pencabutan subsidi, penjualan aset-aset bangsa, perampasan kekayaan alam, kenaikan biaya-biaya khidupan, dll), nampaknya rakyat harus menganggapnya sebagai cobaan Tuhan, dan bukannya karena hubungan ekonomi-politik yang eksploitatif. Ideologi fatalisme inilah, sesungguhnya, yang menyebabkan Indonesia semakin mundur.
Anak-anak di sekolah selalu belajar tentang gejala lam, logika alam, dan penyelidikan terhadap alam dan hubungan sosial. Setelah kembali ke kehidupan seharihari, ketika mereka melihat gejala bahwa ada orang gila meninggal dunia pada saat tidur di bawah pohon besar di desanya, misalnya, seharusnya kita melihat anak-anak yang bertanya dan menyelidiki kematian itu. Banyak kemungkinan dari penyebabnya, bisa karena keracunan gas karbon gara-gara proses sirkulasi udara di pohon yang besar atau karena kena penyakit jantung (“angin duduk”), atau alasan ilmiah lainnya. Tetapi kalau kita mendengar dari anak-anak kita bahwa orang gila itu mati karena dimakan hantu, dan hanya itu yang secara spontan (tanpa dipikirkan) menjadi jawabannya, maka berakhirlah peradaban ilmiah dan modern yang seharusnya mencirikan peradaban maju.
Keterbelakangan generasi kita dalam berpikir itulah yang menyebabkan kita terbelakang, tidak produktif dan kreatif dalam pengetahuan dan teknologi, yang membuat kita menempati mata rantai paling lemah dalam hubungan penindasan kaptalisme global. Generasi yang dalam pikirannya sejak anak-anak hanya ada hantu dan kekuatan mistik, yang selalu kalap atau lemah dalam merespon realitas material yang terus berubah.
Lihatlah betapa dalam sinetron kita kekuatan anak-anak dan remaja, kalau tidak berdo'a dan ketabahan yang moralis-relijius, tentunya ditemani oleh “Om Jin” yang siap membantunya dalam mengatasi persoalan sehari-hari. Lalu bayangkan jika anak-anak Indonesia punya pikiran bahwa mereka dapat menghadapi keadaan hidup ini dengan bantuan ketabahan, kepasrahan, dan juga khayalan tentang jin itu! Apakah yang nanti akan terjadi, sepuluh atau dua puluh tahun ke depan? Wallahu'alam!
*)Penulis buku Pendidikan Berperspektif Globalisasi (Aruzzmedia, Yogyakarta 2008) & Juara I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional Menpora 2007. KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008
Thanks for reading TV Dan Fatalisme Anak-anak Kita

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar