Home » » Memaknai Hakikat Jihad

Memaknai Hakikat Jihad

Judul : Ustadz, Saya Sudah di Surga
Editor : Mohamad Guntur Romli
Penerbit : KataKita, Depok
Cetakan : I, Agustus 2007
Tebal : 296 halaman

“Untuk istri dan keluargaku, ketika kalian menyaksikan video ini, saya sudah berada di dalam surga!” Demikian tutur Salik Firdaus, seorang pelaku bom bunuh diri, Bom Bali II. Salik juga tak lupa berpesan, “jika saya punya hutang, mohon dilunasi!”
Benarkah saat ini Salik Firdaus sudah berada di surga? Tak seorang pun yang tahu apakah angan-angannya tercapai. Tentu saja kita tidak dapat mengonfirmasi Salik, baik lewat surat, telepon maupun SMS. Terkait hutang, tidakkah Salik alpa? Hutang uang memang bisa dilunasi, tapi bagaimana dengan “hutang” yang justru lebih besar: hutang malu bagi keluarganya, hutang penderitaan kepada para korban, bahkan hutang dosa terhadap agamanya.
Para alim-ulama yang menonton film bersama di kediaman Wapres Jusuf Kalla, malam 16 November 2005 lalu, terkaget-kaget mendengar alasan “tentara-tentara Tuhan” dalam sebuah tayangan video yang menurut seorang kolumnis Mesir Fahmi Huwaydi, sebagai jundullah fi ma’rakatil ghalath, tentara Allah yang salah medan perang itu.
Melalui rekaman testimoni empat pelaku Bom Bali II tersebut, tokoh-tokoh agama yang hadir umumnya merasa heran akibat ulah nekat anak-anak muda itu atau mungkin karena Islam yang selama ini diyakini sebagai agama damai telah dibajak dari fungsi asalnya oleh kawanan teroris menjadi amunisi pembunuhan.
Memang, alasan terorisme beragam, mulai dari politik, ekonomi, sosial-budaya, atau hanya sebab frustasi. Namun, Mohamad Guntur Romli menegaskan, doktrin agama yang sudah dimanipulasi adalah pemicu paling kuat. Dalam testimoninya, keempat anak muda dalam film itu masing-masing mengumbar kata-kata jihad, keinginan menggempur orang kafir, merindukan mati syahid dan hendak menjemput surga. Di sini sesungguhnya ada ancaman “bom” lain yang justru lebih berbahaya ketimbang bom teror itu sendiri. “Bom” itu bernama agama yang dapat saja meledak di mana-mana (h.21).
Bagaimana agama bisa menjelma sebuah bom? Tulis Guntur, jika agama dirakit dengan kepicikan, kebencian, dan kekerasan, maka agama akan menjadi bom dengan daya ledak yang sangat dahsyat. Dalam konsep jihad, misalnya, mereka cuma menidentikkannya dengan makna peperangan.
Padahal arti jihad adalah perjuangan secara umum, bukan hanya peperangan, dan ia bisa mengalami evolusi sesuai dengan konteksnya. Adapun perang merupakan salah satu dari ragam bentuk jihad. Penguncian makna jihad hanya pada makna peperangan merupakan modus penggerusan terhadap keragaman model jihad yang mesti dilawan.
Sementara ayat-ayat perang dalam Alquran, mengutip Gamal Al-Banna dalam bukunya Al-Jihad adalah ayat-ayat kondisional. Maksudnya, penafsiran terhadap ayat-ayat semacam itu tidak bisa dipisahkan dari sebab-musabab dan tujuan diturunkannya ayat-ayat tersebut.
Masih menurut Gamal Al-Banna, perang boleh dilakukan karena keterpaksaan mempertahankan diri, bukan keberingasan melakukan penyerangan. Jihad dalam bentuk perang yang dilegalkan di era Rasulullah Saw demi mempertahankan prinsip kebebasan beragama yang dirongrong oleh kekuatan bersenjata, bukan seperti kawanan teroris saat ini yang berperang untuk menebar teror dan menanamkan bibit-bibit kebencian.
Toh demikian, dalam kasus Imam Samudra, salah satu pelaku terorisme di Indonesia, alih-alih menyesali perbuatannya, dia malah mengajak umat Islam mengikuti jejaknya. Pengakuan itu tertuang dalam bukunya, Aku Melawan Teroris!. Kemudian muncul buku lain berjudul Sebuah Tinjauan Syariat: Mereka adalah Teroris! yang merupakan bantahan atas ideologi Imam Samudra tersebut.. Menurut buku yang ditulis Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh ini, bahwa Imam Samudra dengan berbagai macam kedustaan berusaha membalik opini: dari tuduhan teroris atas dirinya menjadi pejuang di jalan kebenaran, dari pembunuh keji tak berperasaan menjadi sosok heroik dalam rangka membela umat Islam. Padahal sesungguhnya, dia telah mengunci pengertian jihad dalam makna peperangan secara sewenang-wenang atas nama agama.
Penafsiran agama yang serampangan itulah yang membuat penulis buku ini gelisah, cemas, sekaligus gemas mencermati perilaku teroris-teroris lokal yang sebetulnya adalah korban dari jaringan terorisme global. Diakui Guntur dalam kata pembukaan, sebelum menyelesaikan setiap tulisan dalam buku ini ada perasaan tegang, pikiran menerawang, dan tidak tenang. Dengan kata lain, setiap tulisan yang dipersiapkan sejak lima tahun ini melewati kecamuk batiniah penulisnya.
Alhasil, kumpulan tulisan Guntur ini mengandung gelora kuat untuk menyodok kesadaran kita kaum muslim bahwa Islam adalah agama pembawa damai yang bisa hidup fungsional di zaman modern yang plural, toleran, dan demokratis. Dan tak terelakkan, tulisan-tulisan dalam risalah ringkas ini umumnya polemis dan tajam. Penulis sengaja tidak menyediakan konsensus, tetapi seakan ingin menantang lawan debatnya dengan membuktikan argumen yang selama ini tak didengar, data yang tak terlihat, dan fakta yang tak terungkap.
(Peresensi: Ahmad Fatoni, Penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008
Thanks for reading Memaknai Hakikat Jihad

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar