Home » » Menyelami Celah Kehidupan

Menyelami Celah Kehidupan

Judul : The Great Spirit (wisdom, inspiration, and reflection)
Penulis : Prie GS
Penerbit : Republika and BRC
Cetakan : Terbit 2008
Tebal : 170
Kehidupan, sebagaimana yang dialami tiap orang, mempunyai makna tersendiri yang tak sama satu dengan yang lain. Cara pandang yang berbeda menjadikan pemaknaan masing-masing person merengkuh penafsiran yang berlainan pula.
Meski dalam lingkup masalah yang sama, kadang orang memiliki metode peneropongan yang mengejutkan. Mempunyai jalan keluar berbeda. Lain dari cara pandang yang biasa-baiasa saja. Menembus batas teropong orang awam. Menelisik hal terkecil yang kadang sering terabaikan. Dan inilah kelebihan yang patut ‘dijual’ dan seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebagai bahan kajian yang enteng tapi bergelimang makna.
Buku berjudul The Great Spirit karya Prie GS yang disaripatikan dari acara radio Smart FM mencoba mencari celah kehidupan terkecil kita. Menguak rahasia yang kadang tereliminasi dari kacamata orang biasa. Didalamnya memuat ulasan tentang keculasan, tipu muslihat, dan aneka kebejatan hidup manusia. Tak ketinggalan, dengan gayanya yang khas, Mas Prie memunculkan sikap tulus, jujur, dan apa adanya, yang sekiranya patut dijadikan teladan buat bercermin.
Misalkan saja, ketika sang pengarang Mas Prie mendiskripsikan masalah nasib ramaja pada hari kiamat nanti yang dikemas dalam tulisan yang berjudul Suatu Hari di Padang Mahsyar Nanti terlihat kepiawaiannya mengemas kata, mengolah makna. Remaja digambarkan sebagai sekelompok manusia yang paling ngenes menghadapinya. Lha, gimana. Namanya remaja, sukanya masih yang enak-enak.
Bila dihubungkan dengan masalah beribadah bukan main malasnya. Disamping mempunyai bejibun aktifitas yang melupakan. Pun, sifat naluriah remaja yang suka bermalas-malas. Tak salah jika menjadi remaja merupakan tingkatan terberat yang harus dilalui manusia. Kalau memang begitu adanya bukankah semuanya, termasuk kita, pernah dan tengah mengalami masa remaja tersebut. Semoga saja kita tergolong rajul yang benar dalam bertindak. Tak seenaknya mendiri melegitimasi apa yang dikehendaki. Oh, semoga.
Kejelian ‘membaca’ Prie GS juga terdeskripsikan sendiri dalam tulisan yang berjudul Diri Sendiri. Banyak orang salah paham terhadap dirinya sendiri sehingga menganggap diri sendiri paling penting, paling banyak diurus, harus paling selamat, paling kaya, paling berkuasa. (hal 49)
Kecongkakan yang sering ditonjolkan itu kadang menggelapkan hati nurani. Bagi siapa saja yang menghalangi jalan yang ditempuh harus ditumbangkan terlebih dahulu. Sifat yang satu ini, kalau sudah mendarah daging, bisa besar masalah yang ditimbulkan. Apa saja disingkirkan. Tak peduli tetangga sendiri yang menjadi penghalang. Bahkan, kadang, handai taulan atau kedua orangtua menjadi pertaruhan. Sungguh mengenaskan.
Dalam refleksi selanjutnya kita akan dicengangkan dengan tulisan singkat tentang suatu hal yang biasa kita saksikan. Namun, tak jarang ditinggalkan untuk diteliti. Dengan judul Yang Naik Hanya untuk Terjatuh kita dipaksa untuk tidak melepaskan buku ini dari genggaman kita. Seolah kita dipaksa untuk terus melanjutkan sampai pada kata terakhir. Pada salah satu paragrafnya berbunyi “Kita sering banyak salah duga bahwa orang yang tengah naik kelas, selalu berarti naik derajat. Inilah kenapa banyak orang yang syukuran jika naik jabatan, naiuk status dan naik golongan. Kenaikan itu, misalnya, tak pernak dipahami sebagai penderitaan baru, ketertakanan baru dan cobaan baru.
Logika kenaikan kelas selalu dipandang sebagai kebaikan segala-galanya. Padahal orang tak pernah menduga, ketika seseorang tengah ge-er dinaikkan itulah sesengguhnya ia tengah dijatuhkan. Maka kita bisa melihat tentang manusia yang kemalangannya bertepatan dengan kenaikannya.” (hal 82). Saat itulah kita harus memegang banyak tuntutan. Dan jika tuntutan tersebut tak memuaskan banyak pihak yang tentunya memiliki standart penilaian yang berbeda maka yang dibuat pusing adalah kita sendiri. Lalu, senangkah anda jika
Ketika menggambarkan perihal kebangsaan Prie GS pun kian mnyadarkan kita bahwa tolak ukur sukses tidaknya bangsa bukan berdasarkan seberapa lebar negara itu terhampar, seberapa banyak pulaunya bertebaran. Dengan begitu, jangan lantas secara kuantitas masyarakat menang kita melupakan hal yag paling urgen dalam struktur ke-masyarakatan. Yakni, kualitas. Yang tak lain lain adalah berapa jauh tingkat kemakmuran, kenyamanan rakyat yang menghuninya.
Dalam Kebesaran Suatu Bangsa Jakarta digambarkan sebagai kota yang ngenes. Seharusnya, karena selalu diurus terus menerus, memiliki daya tarik melebihi kota-kota yang lain. Namun, dikalahkan oleh ‘anaknya’ sendiri. Bali, dengan sejuta pesonanya, mampu menyaigi kemasyhuran ibkota tersebut pada tataran internasional. Coba saja tanya pada turis lebih kenal mana Jakarta dibandingkan dengan Bali?
Dengan buku ini Prie GS tengah menunjukkan eksistensinya sebagai orang yang bukan biasa-biasa saja. Tulisan refleksi sebanyak 54 ini mengajak serta menyentak kesadaran orang ‘awam’. Yang biasanya mau dan hanya mampu ‘membaca’ permasalahan pada tataran permukaannya saja. Lebih dari itu, Prie GS telah malampaui cara baca ‘membaca kehidupan’ dengan pendekatan yang jarang diketemukan.
Inilah mengapa Mohamad Sobary ‘berani’ berkomentar dalam testimoninya “...dan karena itu kita masih terlongo-longo mengenyam isi pesannya. Kita bahkan sering memikirkannya kembali dari titik awal, dengan segenap kenikmatan, sampai di titik akhir lagi, seperti saat kita komat-kamit tiap sehabis makan tongseng...”.
Membeberkan kemahiran penulis dalam tulisan singkat ini adalah sebuah kemustahilan. Karena anda akan menemukannya saat anda menelaah sendiri satu persatu refleksi-refleksinya. Selamat membaca dan ketagihan pula.
(Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka, mahasiswa IAIN Walisongo, pustakawan Pesanggerahan Kalamende Semarang) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008

Thanks for reading Menyelami Celah Kehidupan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar