Home » » Memangkas Anarkisme Meretas Pluralisme

Memangkas Anarkisme Meretas Pluralisme

Judul Buku : Sepotong Kebenaran Milik Alifa
Penulis : Ahmad Shidqi
Penerbit : Impulse-Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 96 halaman
Islam dikenal sebagai agama yang rahmatan lil-‘alamin (rahmat bagi sekalian alam). Agama ini datang ke dunia memiliki visi-misi untuk menyebarkan kedamaian, kelembutan serta keadilan, agar di dunia ini tercipta kesejahteraan dan rasa persaudaraan di antara sesama makhluk Tuhan di bumi ini. Atas visi-misi perdamaian dan keadilan inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran Islam dapat diterima semua bangsa di dunia ini, tanpa ada perbedaan-perbedaan.
Di tengah-tengah kemelut bangsa yang sedang dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks ini, pertikaian-pertikaian promordial sangat mungkin muncul dalam suatu masyarakat multi budaya. Fenomena akhir-akhir ini yang mengalami gejala sosial dengan budaya anarkisme, sederetan aksi premanisme, teror yang dilakukan oleh oknum tertentu semakin menghilangkan identitas ke-Islam-an Indonesia yang selama ini dikenal dengan Islam yang mencintai perdamaian dan kebersamaan. Lemahnya penegakan hukum, seakan-akan memberikan jalan lebar bagi gerakan fundamentalisme. Tak pelak aksi-aksi mereka selalu meresahkan masyarakat dan mengancam stabilitas umat beragama, dan bahkan dapat mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antar agama misalnya, tampaknya sudah mengalami perluasan dimensi yang tidak hanya berkisar pada masalah perdebatan, lebih dari itu sudah mengarah pada tindakan dalam bentuk kekerasan. Telah banyak kita jumpai konflik tersebut di beberapa daerah di negara ini. Bukan saja antar-agama, tetapi juga antar aliran-aliran dalam sebuah agama.
Dengan gaya reportasenya yang enak dan lugas, Ahmad Shidqi, melalui buku berjudul Sepotong Kebenaran Milik Alifa, mengajak pembaca untuk memahami dan melihat lebih dekat salah satu sisi kehidupan kelompok keagamaan (Islam) yang dikenalkan lewat sosok Alifa. Menariknya, objek reportase tema di atas dikemas oleh penulis dengan setting Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai wilayah yang senantiasa setia menjaga kultur dan tradisi budaya. Kota yang meletakkan multikulturalisme sebagai trand image sosial budayanya.
Buku ini adalah narasi tentang sosok muslimah bernama Alifa yang menjelaskan keberagamaannya dengan cara yang diyakini oleh kelompok-kelompok ini sebagai keberislaman yang kaffah (Islam yang sempurna). Potret seorang perempuan biasa yang berasal dari desa dan merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi sebagaimana sekian banyak mahasiswa yang memiliki tujuan serupa. Dalam perjalannya, Alifa mengalami sebuah proses panjang dan tahap spiritual yang melelahkan. Alifa akhirnya memantapkan diri untuk masuk dalam kelompok salafisme (sebuah kelompok keagamaan yang berusaha menjalani hidup sesuai pengalaman Rasulullah). Sejak saat itu, Alifa pun memakai cadar sebagai bentuk komitmennya (hlm. 17-23). Secara sosio-teologis, sikap seperti Alifa selalu dikaitkan dengan kebangkitan sikap fanatisme agama. Menurut Prof. Abdulazis Sachedina, Guru Besar Studi Agama di Universitas Virginia Amerika Serikat, ada sekat yang jelas antara “kebenaran agama” (al-haqỉqah al-dỉniyah) dengan “fanatisme agama” (al-ta’ashub al-dỉnỉ). Abdulaazis berpendapat, seseorang sah-sah saja meyakini kebenaran agamanya. Namun, ketika keyakinan itu bergumpal dengan kebencian dan permusuhan terhadap agama lain, itulah fanatisme agama.
Dalam batas tertentu, keyakinan dan sikap fanatis ini memang tidak perlu dirisaukan. Negara dengan segala sistem tatanan masyarakatnya tentu harus bersikap adil dalam memandang semua kelompok yang hidup di dalamnya, termasuk kelompok Alifa. Yang menjadi persoalan adalah bila kelompok seperti Alifa ini mengarah pada upaya monokulturalisme terhadap semua bentuk-bentuk kebudayaan dalam masyarakat. Shidqi dalam buku ini, meyakini bahwa pandangan-pandangan fanatis semacam inilah yang justru menjadi benih-benih radikalisme agama yang dalam batasan tertentu mendorong munculnya terorisme (hlm. 80-82). Terorisme sebagai sebuah gerakan atau organisasi mungkin bisa ditangkap atau dihancurkan oleh aparat Densus ‘88, tetapi terorisme sebagai sebuah ideologi tidak bisa dilawan dengan senjata sekaliber bom nuklir sekalipun kerena permasalahan terorisme adalah persoalan ideologi yang justru menyerang kaum muda. Kelompok-kelompok fundamentalisme Islam ini sudah begitu kentalnya memengaruhi sebagian masyarakat Indonesia, terutama umat Islam perkotaan. Mereka lahir dengan berbagai rupa dan bentuk warnanya. Gerakan-gerakan mereka lebih mencerminkan sikap keras dan tanpa akomodatif serta tidak mengenal jalan damai. Tidak jarang, semangat gerakan mereka oleh sebagian orang dianggap lebih banyak yang membahayakan dan mengancam kemanusiaan.
Di sinilah umat beragama harus secara tegas menyatakan diri akan melawan segala bentuk tirani yang mengangkangi segala bentuk humanisme agama. Jika hendak melakukan tindakan yang membebaskan sesama umat manusia, tidak lagi perlu ada pertanyaan tentang asal usul agama atau suku. Jika pemahaman agama beranjak dari teosentrisme egois menjadi antroposentrisme, tegaknya HAM, keadilan, kesetaraan dan emansipasi di tengah masyarakat barangkali bisa diwujudkan. Ini semua akan terbukti apabila umat beragama tak terpasung dalam kerangkeng kesalehan simbolis semata, yang terbungkus teologi teosentris. Di situlah rumusan agama dalam formula humanis akan menemukan bentuknya, sehingga turut berperan dalam meretas konflik sosial yang mungkin dipicu oleh agama. Islam telah cukup lama “dibajak” oleh sejumlah kelompok untuk menuai target-target politik kekuasaan. Islam sudah sering dijadikan sebagai pembenar bagi tindakan penghancuran komunitas lain di luarnya.
Untuk menghindari konflik-konflik yang ada, diperlukan strategi yang membantu masyarakat Indonesia kepada kehidupan bersama yang saling menghargai, rukun, dan menghormati perbedaan. Salah satu stategi jitu itu adalah dengan jalan mendialogkan kembali pluralisme. Terlepas dari perdebatan tentang wacana pluralisme sebagai perbincangan yang sensitif karena menyangkut perkara teologis. Karena memang, tidak semua agama sepakat tentang adanya kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran agama kitab suci masing-masing agama selalu mengarahkan pemeluknya untuk meyakini bahwa hanya agamanya saja yang paling benar. Namun, dalam beberapa hal, ada “jalan lain” yang universal di luar agamanya yang bisa dijadikan sebagai jalan yang absah untuk dilalui dalam proses menuju Tuhan.
Dialog kontruktif untuk menghindari salah paham umat seagama ataupun antar-agama merupakan tuntutan yang tidak bisa ditunda. Karena itu, kita harus menghargai agama dan kepercayaan lain tanpa harus dihantui anggapan “menyamakan semua agama”. Hal ini diperlukan, karena dialog yang produktif tidak akan terwujud manakala masing-masing agama bersikap apatis dan tidak bersedia membuka diri. Meminjam ungkapan KH. Agil Siradj pada bagian pengantar buku ini, bahwa sikap menutup diri dari dialog itu bukanlah merupakan suatu sikap kekokohan iman sejati, akan tetapi justru merupakan kegoyahan. Karena “kekokohan” yang sejati tentu tidak memerlukan benteng ketertutupan.
Setiap agama tentu punya ciri, tetapi tidak harus kemudian mengekslusifkan diri. Masing-masing agama punya paham dan konsepsi mengenai “Yang Maha” disembah. Tetapi dalam hal etika dan moral, bukankah titik persamaan akan sering tampak dalam semua agama. Dalam ranah inilah barangkali, sisi universalitas nilai-nilai semua agama bisa ditumbuhkembangkan dan dikedepankan oleh semua golongan umat.
Sejarah dunia mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Menyadari bahwa perdamaian dunia serta kesejahteraan merupakan dambaan umat manusia, maka hal-hal yang menimbulkan penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan serta yang dapat menurunkan harkat dan martabat manusia harus ditanggulangi oleh setiap elemen bangsa negeri ini.
(Peresensi: Humaidiy AS, aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Masyarakat (LeKaS) Yogyakarta). KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008
Thanks for reading Memangkas Anarkisme Meretas Pluralisme

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar