Home » » Ketika Perawat Indonesia Bidik Pasar Jepang

Ketika Perawat Indonesia Bidik Pasar Jepang

Oleh: Benny S Butarbutar
Kualitas perawat Indonesia kini menjadi pembicaraan hangat di Jepang menyusul rencana kedatangan para perawat Indonesia di Negeri Matahari Terbit awal Agustus 2008. Ihwal rencana kedatangan perawat itu disampaikan Atase Perdagangan KBRI Tokyo Tulus Budhianto kepada Antara di Tokyo. Selain tenaga perawat juga caregivers, --perawat untuk orang lanjut usia.
Gelombang pertama perawat dan caregivers berjumlah 205 orang sudah tiba Jepang, pekan pertama Agustus. Mereka disambut sejumlah pejabat KBRI Tokyo dan diliput media massa Negeri Sakura itu. Mereka terbang dari Indonesia menggunakan Japan Airlines (JAL) dan Garuda Indonesia. Begitu mereka hendak memasuki ruang pemeriksaan Imigrasi Bandara Narita, pejabat KBRI Tokyo, Amir Radjab Harahap dan Sigit Wicaksono, GM Garuda Indonesia Jepang, Faik Fahmi menyambut para tenaga profesional yang datang dari berbagai daerah di Indonesia itu.
Ariani Setyaningsih, salah seorang perawat yang ditemui Antara mengaku senang mendapat kesempatan untuk bekerja di Jepang dan dirinya berharap bisa memperoleh pengalaman internasional. Soal bahasa, sebut Ariani, dirinya sudah mendapat pembekalan di Jakarta. "Ini memang tantangan serius bagi perawat Indonesia. Namun saya dan perawat lainnya sebelum datang ke sini juga sudah bertekad untuk bisa menguasai dengan cepat bahasa Jepang," kata Ariani yang sudah 10 tahun bekerja sebagai perawat itu.
Ariani menolak bila gaji sebagai daya tarik utama perawat tetapi lebih kepada keinginan untuk memperoleh keahlian di negara maju. Hal senada diungkap Asril, perawat asal Lampung, yang mengetahui bahwa persoalan bahasa merupakan hal pertama yang harus bisa dikuasai.
Dalam perjanjian EPA, Indonesia dan Jepang, jelas Tulus Budhianto yang juga Koordinator EPA Indonesia di Tokyo, Indonesia siap mendatangkan 1000 perawat ke negeri Sakura itu. Perjanjian EPA (Economic Partnership Agreement) berlaku efektif 1 Juli 2008, setahun setelah ditandatangani kedua kepala negara di Jakarta pada Agutus 2007. Pengiriman tenaga perawat ke luar negeri, bukan pertama kali dilakukan. Sejak 1980-an pemerintah sudah "mengekspor" ribuan perawat ke Kuwait, Uni Emirat Arab dan Taiwan.
Sejalan dengan perkembangan global, Indonesia mulai rambah Jepang. Saat ini perjanjian kerja sama juga terus diupayakan dengan Amerika Serikat (AS) maupun Eropa. Mengirim perawat tentu berbeda dengan mengirim tenaga kerja informal seperti pembantu rumah tangga, ataupun "komoditas" lain. Tenaga perawat dan caregivers merupakan pekerja terdidik, yang di Jepang harus memiliki standar kemampuan profesi tinggi. Pasar kerja Jepang amat menuntut ketelitian dan hasil akhir sempurna. Berbagai pihak menyebut, perawat Indonesia banyak disukai dan diminati rumah sakit-rumah sakit di luar negeri karena rela mengerjakan tugas-tugas yang semestinya jadi porsi dokter. Sekjen Depnakertrans Besar Setyoko dalam perbincangan dengan Antara di Tokyo, beberapa waktu lalu mengemukakan, AS dan Eropa berminat untuk merekrut perawat Indonesia.
Khawatir
Kendati begitu, sejumlah kekhawatiran masih membayangi pengiriman tenaga perawat Indonesia ke negeri Sakura terutama dalam masalah bahasa dan kultur sosial masyarakat. Masalah sosial yang terpeka adalah soal kesan orang asing yang tidak begitu bagus di mata sebagian warga Jepang. Pekerja asing dianggap mengambil lahan pekerjaan warga Jepang. Soal bahasa tampak lebih krusial seperti yang terungkap dalam dialog rutin yang digelar Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Osaka bersama warga Indonesia di Jepang. Diskusi juga melibatkan kalangan akademisi Jepang guna memperoleh perspektif yang lebih luas dalam mengkaji suatu fenomena persoalan tentang hubungan Indonesia-Jepang.
Menurut Elsi Dwi Hapsari, mahasiswa program doktor bidang keperawatan di Universitas Kobe, sekedar berbahasa Jepang bisa saja dicapai dalam waktu singkat, namun untuk membahas suatu penyakit yang sarat dengan istilah teknis memerlukan waktu minimal dua tahun. Pandangan Elsi diakui sensei (dosen)-nya, Profesor Dr Hiroya Matsuo. Keduanya memandang perlu dilakukan pemantauan serius terhadap program perawat Indonesia di Jepang agar bisa berjalan lancar, meski diakui sebagian rumah sakit Jepang mengakui kompetensi perawat Indonesia.
Saran melakukan tindakan monitoring nampaknya jadi penting mengingat hasil sebuah survai yang digelar tim riset dari Asia Center Universitas Kyushu, Fukuoka, Maret lalu seperti dilansir harian Asahi Shimbun. Riset yang dipimpin Profesor Yoshichika Kawaguchi menyebut, belum seluruh rumah sakit di Jepang berkenan menerima perawat asing. Dari 1.600 rumah sakit yang disurvai (522 di antaranya memberikan respon), dan hanya 46% yang bersedia menerima. Artinya sebagian masih meragukan keahlian perawat asing.
Selain itu, rumah sakit Jepang tampaknya "kecapaian" bila diberikan tugas tambahan memberi pelatihan sesuai standar Jepang kepada para perawat asing. Sekitar 38%, justru semangat untuk menyediakan fasilitas pelatihan. Menurut Profesor Kawaguchi, masih enggannya sebagian rumah sakit di Jepang karena kurang lengkap informasi tentang sistem penerimaan. Pelatihan itu penting agar masyarakat Jepang juga mengetahui bahwa tenaga terampil itu sudah berlinsensi Jepang, sesuai standar keahlian Jepang.
Sebelum menjalankan pekerjaan, perawat Indonesia harus belajar bahasa Jepang selama enam bulan. Setelah itu wajib mengikuti ujian nasional untuk mendapat lisensi keperawatan. Jika lulus, baru diperkenankan tinggal dan bekerja di Jepang. Perawat Indonesia yang bekerja di Jepang mendapat gaji minimal 200.000 yen ( Rp 17,9 juta) per bulan dan dikontrak selama tiga tahun. Sementara gaji pengasuh minimal 175.000 yen (Rp 15,6 juta) per bulan dan dikontrak empat tahun.
Fenomena masuknya perawat Indonesia ke Jepang, menurut Dubes RI untuk Jepang Jusuf Anwar merupakan momentum tepat. Apalagi dalam kondisi Jepang yang sedang mengalami persoalan aging society, --bertambahnya kelompok masyarakat lanjut usia. "Jepang membutuhkan tenaga kerja asing untuk tetap bisa menjaga agar mesin-mesin industri ekonomi tetap berproduksi," kata Anwar.
Bertambahnya usia harapan hidup di Jepang (rata-rata 82 tahun, tertinggi di dunia) ternyata tidak dibarengi bertambahnya angkatan produktif. Jumlah angka kelahiran di Jepang justru menurun. Saat ini populasi Jepang 127 juta orang, lebih dari 15% kelompok lanjut usia.
Jepang memang coba mengatasi dengan menggenjot produksi robot humanoid (yang berfungsi seperti manusia), namun tetap tidak bisa mengatasi ketergantungan pada tenaga manusia, khususnya bidang pelayanan kesehatan. Kekurangan tenaga kesehatan bisa membuat sistem pelayanan kesehatan Jepang lumpuh. "Ekonomi yang mandeg, produktifitas yang turun serta besarnya biaya layanan kesehatan bagi lansia yang harus dikeluarkan pemerintah, membuat Jepang mau tidak mau harus mengubah kebijakan imigrasi dan ketenagakerjaaan," kata tegas Anwar.
Bagi Indonesia, banyak hal yang bisa diperoleh dari pengiriman perawat dan caregivers ke Jepang. Minimal, kualitas keperawatan Indonesia semakin diakui secara internasional. Pengaruh lainnya, pembenahan masalah kepastian hukum, perlindungan tenaga kerja di luar negeri dan standar upah. (Antara/Pumpunan) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008
Thanks for reading Ketika Perawat Indonesia Bidik Pasar Jepang

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar