Home » » Pasar Tradisional Pusat Ekonomi Berbasis Aset Wisata

Pasar Tradisional Pusat Ekonomi Berbasis Aset Wisata

Harus diamini bahwa berbagai berbagai kebutuhan hidup dan kehidupan seluruh umat manusia, sangat ditentukan oleh kehadran sebuah pasar. Entah itu pasar tradisional, inpres maupun modern dalam aneka balutan identitas. Antara lain square, mall, hipper market, super market trade centre, atrium, plaza, galleria, centro, selain ada matahari, ramayana, alfa, giant, carrefour dan robinson serta mini market yang kian menjamur di jalur-jalur strategis sebuah ruang perkotaan.
Di balik geliat dan pesatnya pusat-pusat industri pasar yang lebih dimodali dana-dana dan bahkan pemilik asing tersebut, pemerintah tampaknya mulai membangun dan membangkitkan kesadaran untuk memberdayakan pasar tradisonal dengan mengarahkan pada pengembangan pasar sebagai pusat ekonomi yang berbasis aset wisata. "Kondisi ini seiring dengan terjadinya pergeseran paradigma perekonomian saat ini," kata Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Subagyo, saat diskusi dalam Munas Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, di Solo belum lama ini.

Peran pasar tradisional tidak hanya sebatas pada pengembangan ekonomi masyarakat, tetapi pertumbuhan ekonomi berbasis wisata. Salah satu pasar tradisional yang sudah mulai diarahkan pada tujuan wisata adalah Pasar Sukowati di Gianyar, Bali. Pasar ini terletak sekitar 25 km arah timur kota Denpasar atau bisa ditempuh dalam 30-45 menit dari Denpasar.
Sekitar 770 pedagang seni saban hari melayani para wisatawan dalam dan luar negeri dengan menjajal aneka cinderamata seni, --patung kayu, lukisan, kaos, celana pendek, tas dan sandal yang berbasis promosi Bali sebagai The Island Of Paradise. Agar bisa mencapai harga yang lebih miring, khusus di pasar yang identik dengan surga belanja murah tersebut, pengunjung harus pandai menawar.
Selain Sukawati di Bali, juga ada Malioboro di Jogjakarta. Saban hari, kawasan tersebut dijejali para pedagang cinderamata khas Kota Gudeg tersebut. Harganya juga cukup murah. Banyak juga wisatawan asing yang hilir mudik di areal kawasan ini, minimal naik dokar.
Sementara itu, di Surabaya, pasar tradisional yang berbasis wisata justru lebih bersanding dengan bangunan-bangunan kuno seperti pasar tradisional Pasar Turi, Pasar Atom, Pasar Wonokromo dan kawasan Jembatan Merah, yang lebih identik dengan kawasan perjuangan. Di sini, pada masa penjajahan sebelum kemerdekaan, terjadi banjir darah di kalangan para pejuang bangsa. Pasar Atom, Turi dan Wonokromo, dahulu dikenal sebagai pusat perekonomian.
Seiring dengan penataan kota yang lebih bermotif penataan uang itu, kawasan Jembatan Merah sudah berdiri sebuah pusat pembelanjaan grosir secara modern. Yang masih dipertahankan adalah Pasar Turi dan Pasar Atom, Sedangkan Pasar Wonokromo sudah disulap sebagai pusat belanja modern pasca direnovasi.
Pasar Senen
Di Jakarta, masyarakat seakan sudah terbiasa menamakan pasar dengan nama hari. Jangan heran bila ada Pasar minggu, Pasar Senen, Pasar Rabu, Pasar Kemis dan Pasar Jumat. Semua pasar ini dirintis sejak era kolonial Belanda. Pasar Senen didirikan tahun 1730 ketika Justinus Cornellis Vincke yang membuka pasar di sekitar Istana Weltevreden (kini RS AD) samping Pasar Tanah Abang. Saat itu, pasar yang dekat istana ini hanya dibuka pada hari Senin. Karena ramai, masyarakat menyebut Pasar Senen. Pada tahun 1735, Vincke membangun sebuah jalan yang menghubungkan kedua pasar (Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang) untuk melancarkan aktivitas perekonomian.
Namun pada tahun 1900-an, di sekeliling Pasar Senen sudah menggantikan kota sebagai pusat militer dan pemerintahan. Bahkan setelah Indonesia merdeka, kawasan Senen tampak kian padat karena arus migrasi besar-besaran, dan sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, Pemerintah Jakarta Raya mendirikan gedung Pasar Senen, Pasar Inpres dan Terminal Bus.
Tahun 1987-1992, dibangun Supeblock modern, Atrium Senen yang menyediakan fasilitas perkantoran, hotel, rumah toko dan shopping center, dan sejak terjadi krisis moneter, Pasar Senen seakan kehilangan magnet.
Selain aspek ekonomis, upaya pemerintah untuk menyulap pasar tradisional juga penting dibidik dari aspek historis dan sosial terutama pasar yang menempati bangunan atau tanah lapang yang mengandung nilai sejarah, yang di dalam rahim historia itu juga tersemai magnet untuk menarik wisatawan. Pada simpul ini, gebrakan pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional sembari melirik sebagai aset wisata, jelas ditunggu para pedagang. Dengan begitu, akan terbuka kesempatan kerja baru dalam ragam sektor. Hanya saja, perlu dijaga citra pasar tradisional agar tidak selalu identik dengan lokasi semrawut, kumuh, kotor, bau busuk dan biang kemacetan. (Albert Kin Ose M) KPO/EDISI 158/AGUSTUS 2008
Thanks for reading Pasar Tradisional Pusat Ekonomi Berbasis Aset Wisata

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar