Home » » Mengembalikan Kemerdekaan Suara Tuhan

Mengembalikan Kemerdekaan Suara Tuhan

Judul : Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan
Penulis : Dr. Moeslim Abdurrahman
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : 2009
Tebal : 296 halaman
Peresensi : Imam Musthafa*
Demokrasi telah bergulir, rakyat menyambut dengan penuh semangat. Optimisme masyarakat penuh dengan harapan ideal. Segala permasalahan yang menumpuk secara cepat dan total akan terselasaikan. Seperti, krisis ekonomi dan sosial secara berkepanjangan mengantarkan Indonesia pada jurang kemiskinan dan pengangguran. Malalui lahirnya sistem negara demokrasi secara mendadak mengawali babak baru bagi Indonesia untuk lebih adil dan sejahtera.
Memasuki pemilu 1999, ingar bingar masyarakat menyambut pemilihan umum penuh apresiasi. Mereka terjun berpolitik secara langsung menentukan pilihan calon pemimpin yang sesuai dengan hati sanubarinya. Rentetan pasangan calon dijadikan penilaian objektif tanpa menerima suapan dari pasangan. Karena Kesadaran masyarakat mulai tumbuh, bahwa kemajuan negara tertera pada pemimpin yang bersih.
Pemilu 1999 yang dimenangkan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) melalui pemilihan parlemen (legalitas) menbawa harapan dan optimisme yang cukup besar akan terciptanya perubahan yang lebih baik dan maju. Harapan itu mulai meredup setelah sampai setahun akibat kegagalannya mengantarkan Indonesia yang lebih baik dan maju. Ini juga berlangsung pada pemerintahan Megawati hingga SBY yang belum menjawab aspirasi rakyat.
Dari sini menjadi pelajaran berharga bagi rakyat Indonesia bahwa berbagai bentuk sistem pemerintahan tidak dapat dijadikan legitimasi pembenaran menbawa Indonesia bebas dari jeratan hutang. Hambatan dan kegagalan Gusdur dan presiden lainnya dalam menbangun negara, alasannya nyaris serupa, kekacauan stabilitas politik dan sosial. Imbas utama, neraca perekonomian negara kian menpuruk dan berlanjut, tanda-tanda keberhasilan sebagai pemerintah hanya sebatas wacana. Potret dilapangan menunjukkan angka kemiskinan dan penganguran melonjak drastis. Seolah-olah hanya rayuan elit politik untuk menbahagiakan rakyat yang selama ini, janjinya tidak terpenuhi.
Memasuki pemilu 2009, rasa pesimisme akan menbayangi pemilih terhadap kapasitas dan kapabilitas elit politik. Apalagi reaksi dan strategis Partai Politik (Parpol) memberikan tontonan tidak menarik akibat tidak memiliki landasan ideologi. Parpol yang mendapatkan suara minim pada pemilihan legislatif mengekor pada parpol besar, Partai Demokrat dengan suara di atas 20 persen. Sementara kedudukan Parpol Islam dalam pemilu kali ini, hanya sebatas bayang-bayang akibat meraih suara sedikit seperti PKS, PAN, PKB, dan PPP. Kekalahan yang diterima tidak dijadikan pelajaran untuk semakin menperkuat dirinya, tanpa berpecah belah.
Realitas yang terjadi, parpol Islam memberikan kebebasan terhadap generasinya mengikuti jejak partai lain. Tidak semuanya lurus mengikuti ketua fraksinya. Semestinya, parpol Islam mengubah formasinya menjadi partai oposisi dalam rangka melindungi rakyat apabila terdapat kebijakan yang tidak memihak terhadap rakyat.
Melihat realitas politik yang tidak mendewasakan dan bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial, Dr.Moeslim Abdurrahman melalui bukunya “Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan” memberikan jawaban untuk meluruskan perjalanan demokrasi Indonesia yang jauh dari objeknya. Demokrasi negara kita hanya sebatas prosedur, belum sampai pada subtansinya.
Sistem demokrasi akan tercapai dan sesuai dengan cita-citanya. Yaitu dari rakyat, oleh, dan untuk rakyat manakala keadaan sosial telah tentram dan aman. Segala macam bentuk pertikaian di belahan bumi nusantara telah dikendalikan. Artinya, masyarakat dituntut menerima perbedaan. Identitasnya harus dijinakkan supaya keangkuhan entitas dapat menemukan titik temu.
Untuk menemukan titik temu dan kebersamaan, tidak sepenuhnya diserahkan ke kelompok itu sendiri. Meskipun tingkat kesadaran dari kelompok telah tumbuh. Lebih baiknya, mendapatkan dukungan parpol dalam rangka menjembatani hubungan keduanya, sehingga perjalanan kebijakan pemerintah lebih terarah dan obyektif.
Moeslim Abdurrahman mengatakan, demokrasi Indonesia tidak bisa berjalan sendiri, tanpa intervensi agama. Karena masyarakat Indonesia sebagian besar pemeluk agama. Kekacauan yang semarak di berbagai wilayah perlu ditinjau dari sudut agama yang mengajari terhadap pemeluknya dalam berpolitik. Persoalannya eksistensi semua agama memiliki misi suci dengan menjunjung tinggi nilai perdamaian.
Dr. Moeslim Abdurrahman pada khususnya lebih menitik beratkan pada nilai agama Islam sebagai agama terbesar di bumi nusantara ini. Sehingga dalam buku ini, Abdurrahman ingin menberikan penegasan kembali terhadap agama Islam, bahwa Islam sebagai ideologi perubahan yang menggugah kesadaran emansipasi, terutama yang bersifat struktural. Bukan sekedar mengutamakan dakwah yang terlalu menonjolkan kesalehan ritual.
Islam sebagai agama profetik harus secepatnya bergerak, tidak menyerah pada struktur hegemonik yang menghasilkan lebarnya ketimpangan sosial. Moeslim Abdurrahman menganjurkan Islam menjadi teks sosial yang menjadi agen perubahan, supaya memunculkan sebuah kekuatan moral-kolektif, sehingga Islam senantiasa memberikan dorongan meyakinkan terhadap penganutnya. Selebihnya terhadap negara yang berasas demokrasi, bahwa Islam merupakan agama perdamaian dan mengerikan rakhmat terhadap antar golongan.
Untuk menciptakan perdamaian, suara Tuhan (wahyu) harus diteriakkan oleh mereka yang menderita supaya memiliki kesadaran kolektif. Yang lebih utama adalah ulama-ulama biasa yang memiliki kedekatan sosial terhadap masyarakat bawah. Misalnya, dalam majlis taklim yang egaliter dan dialogis.
Parpol Islam menempati peran urgen dalam membantu para ulama dan lembaga keagamaan yang meneriakkan suara Tuhan. Tapi, peran parpol lebih mengarah ke wilayah politis. Bagaimana menciptakan pendidikan politik? Yang mana, Islam telah mengajari terhadap umatnya untuk mematuhi dan bertanggungjawab terhadap negaranya. Kesadaran itulah yang harus dibongkar supaya cita-cita demokrasi tercapai. Sehingga suara Tuhan yang nyaris sirna di tengah realitas ruang dan waktu kembali bersuara sesuai dengan literaturnya.
Buku ini menberikan kritikan terhadap lembaga sosial dan politik yang senantiasa menyuarakan ketimpangan sosial yang kunjung belum berhasil. Penjelasannya sangat sistematis dan jelas unsur-unsur yang paling berpengaruh dalam pertikaian dan ketidakstabilan politik dan sosial sejak orde baru, hingga tidak ada pemimpin yang mampu memulihkannya.
*)Pustakawan Rumah Baca Kutub Yogyakarta.
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Mengembalikan Kemerdekaan Suara Tuhan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar