Home » » Mendemokratiskan Perkawinan Melalui RUU

Mendemokratiskan Perkawinan Melalui RUU

Oleh: Nurani Soyomukti*
Saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama tentang Perkawinan yang melarang nikah siri, poligami, kawin kontrak, dan pernikahan anak-anak usia dini berusaha digulirkan pemerintah melalui Kementerian Agama. Tentu hal ini berangkat dari berbagai macam kejadian di mana hubungan pernikahan yang menyimpang semakin semarak terjadi. Nikah siri akhir-akhir ini menghiasi media dengan banyak selebritis yang melakukannya. Belum lagi kasus kawin kontrak yang marak dipraktekkan di kawasan wisata Puncak Bogor yang pernah dibongkar aparat keamanan.
Sedangkan kasus menikahi anak usia dini juga terjadi. Lutfiana Ulfa (gadis berumur 12) tahun dinikahi oleh Syekh Puji di Semarang. Kasus ini sangat kontroversial dan membuat banyak pihak yang kawatir bahwa pernikahan anak usia dini akan menjadi kebiasaan yang merugikan hak anak-anak sebagai pihak yang seharusnya mendapatkan pendidikan dan kesempatan menjalani kehidupan tanpa tergantung pada seorang laki-laki yang hanya memandangnya sebagai pelayan seksual atau pekerja domestik.
Singkatnya, berbagai kasus penyimpangan hubungan kembali marak terjadi akhir-akhir ini. Isu penyimpangan hubungan mulai mencuat di permukaan setelah berbagai model hubungan seperti kawin siri, kawin kontrak, hingga menikahi perempuan di bawah umur diblow-up oleh berbagai media. Tampaknya banyak pihak yang merasa gerah dengan berbagai macam hubungan yang dianggap merugikan kaum perempuan dan anak-anak ini.
Berbagai kalangan banyak yang meresahkan tentang berbagai fenomena penyimpangan itu. Mereka yang menganggap poligami, pernikahan di bawah umur, nikah siri, dan kawin kontrak sebagai model hubungan yang tidak demokratis dan merugikan perempuan dan anak terus memperjuangkan agar produk budaya yang menyimpang itu dilarang. Isu-isu penolakan terhadap poligami, misalnya, selalu muncul dan bahkan dapat dikatakan sebagai isu yang paling tua dalam gerakan perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia. Isu anti-poligami telah muncul jauh hari sebelum Indonesia merdeka.
Di negeri ini, penolakan secara keras terhadap bentuk pernikahan yang merugikan perempuan seperti poligami sebenarnya selalu disuarakan secara keras oleh aktivis perempuan jauh sebelum Indonesia merdeka. Masalah poligami bahkan mencuat dalam Kongres Pemuda I pada tahun 1926. Kongres Pemuda I tanggal 30 April-2 Mei 1926 juga ada kaitannya dengan dengan Kongres Perempuan I tanggal 22-25 Desember 1928. Ceramah Bahder Djohan berjudul “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia” mempertegas peranan gerakan perempuan dalam membangun persatuan nasional. Bahkan Bahder Djohan juga menghubungkan landasan kebangunan nasional dengan dihapuskannya lembaga poligami. Bahder Djohan meyakini, pembangunan ikatan sosial yang kuat membutuhkan pengakuan yang penuh atas persamaan derajat perempuan dan laki-laki di dalam keluarga. Konsekuensinya adalah menolak kelembagaan yang merintangi, menghambat, dan menghalanginya. Lembaga ini adalah permaduan atau kawin banyak (poligami). Bahder Djohan juga menolak asumsi poligami akan menghapuskan pelacuran karena akar persoalan masalah itu bersangkut paut dengan perbaikan syarat-syarat hidup. Pengaruh Kongres Perempuan tahun 1928 itu begitu terasa. Terbukti kemudian muncul organisasi-organisasi perempuan yang radikal, terutama yang menyangkut isu menentang poligini (perceraian sepihak oleh laki-laki), poligami, perkawinan anak perempuan.
Affirmative Action
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah suatu hal yang asing. Bahkan ketika undang-undang anti-KDRT sudah disahkan, tampaknya kasus-kasus yang ada juga masih banyak terjadi. Jika belakangan isu pernikahan usia dini, nikah siri, poligami, dan kawin kontrak merebak lagi, tentu hal itu bukan tanpa sebab. Bentuk-bentuk pernikahan itu pada kenyataannya menunjukkan adanya hubungan yang tak demokratis, menumpulkan produktifitas perempuan, dan menciptakan ketergantungan.
Berdasarkan survei, berbagai bentuk pernikahan itu banyak merugikan perempuan dan anak-anak. Tak heran jika pada akhirnya banyak yang memandang bahwa dibutuhkan adanya tindakan penegasan (affirmative action) yang berasal dari tekanan para aktivis feminis dan pejuang demokrasi, yang kemudian pada awal Maret 2009 memunculkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menegaskan bahwa para pelaku pernikahan tidak demokratis itu dikenalan pasal.
Departemen Agama (Depag) sudah menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami, dan kawin kontrak kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam RUU Peradilan Agama tentang Perkawinan dijelaskan bahwa jika melakukan nikah siri akan terancam hukuman kurungan maksimal 6 bulan dan denda maksimal Rp 6 juta. Isi RUU tersebut juga akan memperketat tentang nikah siri, kawin kontrak dan poligami.
Hal ini diberlakukan dengan alasan nikah siri, poligami, dan kawin kontrak, merugikan banyak pihak, khususnya perempuan, atas pernikahan ini. Saat ini RUU Peradilan Agama tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak, akan segera dibawa ke DPR untuk dibahas secara seksama.
Ormas Islam yang besar seperti Muhammadiyah bahkan mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami, dan kawin kontrak. Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, "Adanya produk hukum yang mengatur ajaran agama dalam tataran hukum seperti perkawinan memang baik, tidak ada salahnya”. Meskipun beliau juga mengingatkan bahwa perlunya kehati-hatian untuk melahirkan produk hukum tersebut (RUU Peradilan Agama) agar tidak memasuki wilayah yang bertentangan dengan prinsip agama. Menurut Din, yang perlu diatur dimensi sosialnya saja, jangan sampai memasuki wilayah ajaran agama. Menurut Din, nikah siri dalam ajaran agama tidak ada yang salah. Oleh karena itu, jika dianggap ada pelanggaran hukum negara, maka hal tersebut bertentangan dengan hukum agama.
Departemen Agama sudah menyerahkan RUU Peradilan Agama tentang Perkawinan kepada Presiden. Dalam RUU Peradilan Agama tersebut terdapat sanksi berupa ancaman pidana untuk nikah siri, poligami, dan kawin kontrak. Ada kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal 5 juta. Alasannya adalah bahwa nikah siri, poligami dan kawin kontrak dipidanakan karena banyak pihak yang dirugikan atas pernikahan tersebut terutama perempuan. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak.
Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. Perkara perkawinan kontrak, dengan alasan apa pun juga tidak dibenarkan. Rencananya RUU Peradilan Agama tersebut akan segera dibawa ke DPR, karena sudah dibahas sejak setahun sebelumnya.
*)Pemerhati masalah perempuan dan anak; direktur ”Sekolah Litera”, tinggal di Trenggalek, Jawa Timur.
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Mendemokratiskan Perkawinan Melalui RUU

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar