Home » , » Mafia Rambah Dunia Kesehatan

Mafia Rambah Dunia Kesehatan

Jaringan kejahatan atau mafia telah merambah dunia kesehatan, sehingga orientasi pelayanan kesehatan yakni spiritual dan kemanusiaan dikesampingkan menjadi materialisme. ’’Saat ini manusia hanya menjadi objek eksploitasi semata dari para kapitalisasi pelayanan kesehatan,’’ kata dosen bidang etika dan hukum kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Achmad Yani, Alexandra Indriyanti Dewi di Yogyakarta, Sabtu (13/6).
Menurut Indriyanti, pada bedah buku Mafia Kesehatan, kapitalisasi pelayanan kesehatan tampak dari monopoli sekelompok orang sehingga tidak semua orang bisa dan boleh menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Akibatnya, penumpukan modal hanya ada di dalam tangan segelintir orang, dan tidak dibagikan kembali secara adil kepada semua orang. Padahal, kesehatan merupakan hajat hidup orang banyak.
Biasanya, lanjut Indriyanti, para mafia membentuk jaringan luas dan kuat yang dikomandoi beberapa kelompok orang hanya untuk mengambil keuntungan maksimal. Mafia tersebut bekerja menghalalkan segala cara termasuk merugikan orang lain. Dalam pelayanan kesehatan, mafia dibagi menjadi lima bagian, yakni don atau god father, underboss (direksi rumah sakit), consigliere (instansi terkait rumah sakit), capo (eksekutif rumah sakit) dan soldato (dokter, perawat dan pengacara).
Don atau god father adalah bos yang memerintahkan dan mengkoordinasikan setiap pekerjaan, biasanya mendapatkan keuntungan yang paling besar dalam bisnis. "Dalam pelayanan kesehatan don atau god father adalah pemilik pabrik farmasi atau obat, pemegang saham rumah sakit dan pemegang paten atau hak kekayaan intelektual (HAKI) teknologi kedokteran,’’ tegas Indriyati.
Permainan kapitalisasi yang dilakukan pabrik farmasi, biasanya menjual obat tidak sesuai harga pasar. Biasanya diperjualbelikan dokter yang masuk dalam perkumpulan. Lebih parah lagi, ada hukum di dalam jaringan kejahatan itu yang wajib dilakukan para pemain mafia kesehatan yakni omerta (sumpah tutup mulut), komunio (hilangkan) dan adanya jabatan rahasia, kata penulis buku Mafia Kesehatan.
Kasus yang sering terjadi di Indonesia, seperti yang dilansir Antara merupakan omerta. Kasus obat palsu dan kesalahan operasi (mala praktik) hingga menyebabkan pasien meninggal merupakan salah satu contoh omerta. ’’Dokter biasanya tidak ingin bertanggung jawab mengenai kasus tersebut. Mereka beralasan berpegang pada undang-undang kedokteran yang tidak bisa dipublikasikan pada masyarakat,’’ katanya.
Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Yogyakarta, Adam Suryadi mengatakan, menjadi seorang dokter harus lulus uji kompetensi. Pada kasus yang ada di dalam buku mafia kesehatan, mungkin dokter tidak lulus ujian kompetensi dan lisensi. Aturan saat ini, ketika dokter sudah disumpah harus mengumpulkan 250 standar kelayakan profesi (SKP). Pengumpulan SKP berasal biasanya dengan mengikuti seminar, menulis jurnal dan penelitian terbaru. Itu syarat wajib jadi dokter yang andal saat ini.
Peran Negara
Sementara kasus Prita Mulyasari (32) dan berbagai kasus terkait pelayanan mutu kesehatan di Indonesia menjadi indikasi kuat untuk mendongkrak peran negara di bidang kesehatan agar tidak terjebak dalam pola liberalisasi kesehatan. ’’Tidak ada pilihan lain untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat selain menghentikan praktik liberalisasi sektor kesehatan dan menarik lebih besar peran negara di bidang kesehatan,’’ kata Ketua Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Marlo Sitompul di Jakarta, Senin (8/6).
Menurut Marlo, bila tidak diberlakukan maka 10 tahun mendatang tingkat kualitas kesehatan dan kualitas hidup bangsa Indonesia terus merosot. Dalam laporan tahunan UNDP per tahun 2008, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 negara. Bila sistem kesehatan sudah dikomersialisasi atau diliberalisasikan, maka pelayanan kesehatan bersifat individual dan bukan lagi gerakan menyehatkan bangsa. Padahal, bukankah pengembangan sistem kesehatan berfungsi untuk menguatkan sumber daya manusia?.
Selain itu, bila tujuan pelayanan adalah mencari laba keuntungan, faktor kemanusiaan menjadi terpinggirkan dalam memberikan pelayanan. Terkait kasus Prita, Marlo menilai, kasus tersebut bukan sebatas persoalan status si kaya dan si miskin tetapi persoalan kesehatan pada umumnya. ’’Kami tidak mau kejadian seperti kasus Prita terjadi lagi bagi masyarakat miskin,’’ katanya. Untuk itu, SRMI menyatakan agar jaminan hak bagi seluruh lapisan rakyat untuk memperoleh kesehatan termasuk mendapat pelayanan kesehatan yang lebih baik dan humanis.
KORAN PAK OLES/EDISI 177/15-30 JUNI 2009
Thanks for reading Mafia Rambah Dunia Kesehatan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar