Home » » Posyandu Terpinggirkan, Gizi Buruk Mewabah

Posyandu Terpinggirkan, Gizi Buruk Mewabah

Oleh: Martinah*
Pada peringatan Hari Gizi Nasional (25 Januari 2008), kita sedang diliputi suasana keprihatinan yang cukup mendalam. Betapa tidak, dalam sepekan terakhir, kenaikan harga sembilan bahan pokok (sembako) di berbagai daerah tak terkendali. Sementara tingkat kemiskinan di negeri ini masih tinggi. Bahkan harga tahu dan tempe yang selama ini dikenal sebagai makanan bergizi tinggi tetapi murah, kini harganya meroket akibat harga kedelai impor naik dua kali lipat. Padahal, hasil riset menunjukkan bahwa kadar protein dalam kedelai sangat tinggi, yakni 35 – 40%. Berarti kadar proteinnya 2 kali lipat dibanding dalam daging (18%) pada berat yang sama. Selain itu, kedelai mengandung zat-zat gizi lainnya yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan tubuh kita. Yakni lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, pro-vitamin A, vitamin C dan B kompleks tinggi. Sejak lama para ilmuwan gizi juga menginformasikan, zat lesitin di dalam kedelailah yang kadarnya paling tinggi dibanding di dalam semua bahan pangan lainnya dan berperan besar untuk pencegahan penyakit jantung dan kanker.
Sebelum harga kedelai meroket, kita masih sulit mengatasi kasus gizi buruk di tanah air. Seperti di DKI Jakarta, Bogor, NTB, NTT, Gorontalo, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sejumlah provinsi lainnya. Padahal harga tahu-tempe waktu itu boleh dibilang masih murah. Jadi, kalau pemerintah sampai gagal dalam mengembalikan harga kedelai ke posisi semula, kasus gizi buruk dikhawatirkan akan semakin parah. Lebih-lebih Indonesia masih menghadapi tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.
Tantangan
Koordinator Revitalisasi Posyandu di Cilincing, Kelurahan Kali Baru, Jakarta Utara, Sondang Siregar mengatakan bahwa 40% dari 900 balita yang ditangani Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) di kelurahan tersebut mengalami kekurangan gizi. Bahkan sangat rentan terhadap gizi buruk. Jika tidak segera diatasi, maka akan menambah jumlah balita yang terkena gizi buruk. Jumlah ini hanya berasal dari satu kelurahan. Dengan demikian, jumlah penderita gizi buruk otomatis menjadi lebih banyak setelah kasus tersebut digabungkan dengan yang terjadi di kelurahan-kelurahan lainnya.
Faktor kemiskinan sering menimbulkan kasus gizi buruk, sebab tekanan ekonomi membuat kuantitas dan kualitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi rendah. Selain masalah keluarga miskin (gakin), juga karena kurangnya pemahaman tentang masalah gizi, buruknya pelayanan kesehatan, dan kondisi lingkungan.
Data dari Depkes menunjukkan, Indonesia sebenarnya pernah berhasil menekan angka kasus gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita. Yakni menjadi 37,5% (1989), 35,5% (1992), 31,6 % (1995), 29,5% (1998), 26,4% (1999), dan 24,6% (2000). Namun angka-angka tersebut kembali meningkat. Yakni menjadi 26,1% (2001), 27,3% (2002), 27,5% (2003), dan 29% (2005).
Antara 1989 - 2000, intervensi gizi dari pemerintah memang lebih cepat dilakukan saat petugas menemukan kasus gizi kurang atau gizi buruk pada anak balita. Hal itu, menurut hasil penelitian, karena masih berfungsinya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan tenaga-tenaga medis wajib praktik yang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok daerah. Namun saat ini, dari 250.000-an posyandu di Indonesia, tinggal 40% yang masih aktif. Jadi praktis tinggal sekitar 43% anak balita yang terpantau. Tantangan penanggulangan masalah gizi bahkan terasa lebih besar sejak era otonomi daerah. Walaupun kini pemerintah daerah (pemda) sebenarnya berperan lebih besar untuk mengatasi tantangan tersebut, namun realitasnya tidak selalu demikian.
Bila kita mengacu garis kemiskinan US$ 2 per hari, maka kini lebih dari 110 juta jiwa Indonesia (53% dari total penduduk) masih di bawah garis kemiskinan. Sebab itu, mustahil kita bisa mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat tanpa adanya upaya perbaikan ekonomi di dalam rumah tangga. Ini merupakan tantangan bagi pemerintah agar tidak semata-mata mengejar atau terbuai pertumbuhan ekonomi, sebab harus segera mengendalikan harga sembako sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat kecil.Galakkan posyandu
Komitmen pemda terhadap pembangunan di bidang kesehatan masih minim. Padahal, pada era otonomi daerah ini, perannya justru sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan yang lebih banyak menuntut perhatian sehubungan sewaktu-waktu bisa terjadi bencana banjir dan angka kemiskinan masih tinggi. Alokasi anggaran untuk kesehatan yang hanya 3% dari PDB menunjukkan lemahnya komitmen pemda untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di Malaysia, Thailand dan Filipina mengalokasikan 6 - 7 kali lipat anggaran lebih besar dibanding Indonesia untuk pendidikan dan kesehatan.
Menurut pemerintah, angka kemiskinan pada 2006 mengalami penurunan, dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Namun data dari Depkes, ternyata jumlah anak balita yang terkena gizi buruk melonjak dari 1,8 juta (2005) menjadi 2,3 juta anak (2006). Selain itu lebih dari 5 juta balita terkena gizi kurang. Lebih tragis lagi, dari seluruh korban gizi kurang dan gizi buruk tadi, sekitar 10% berakhir dengan kematian. Gizi buruk ternyata tidak hanya menimpa bayi/balita, bahkan hingga umur 19 tahun. Dari sekitar 4 juta ibu hamil, 50% terkena gizi buruk dan satu juta lainnya terkena krisis energi kronis Untuk anak usia sekolah, dari 31 juta anak, 11 juta anak di antaranya bertubuh pendek akibat gizi kurang dan 10 juta anak bergizi buruk. Untuk kelompok usia remaja, dari 10 juta remaja putri (15-19 tahun), sebanyak 3,5 juta anak bergizi buruk.
Sebenarnya akar masalah kasus gizi buruk adalah kemiskinan, rendahnya pendidikan ibu, dan minimnya layanan kesehatan. Kita harapkan pemerintah menggalakkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dengan dukungan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) yang mampu menghidupkan posyandu agar SKPG berfungsi lagi. Tugasnya memantau status gizi hingga ke pelosok desa terpencil. Jika ada warga kedapatan terkena gizi buruk, petugas puskesmas terdekat harus langsung menangani.
Posyandu harus diaktifkan kembali, sebab pencatatan di posyandu akan memberikan gambaran riil ihwal laporan perkembangan kasus gizi buruk hingga ke pelosok desa. Di posyandu, berat anak ditimbang dan dicatat. Kalau ada ibu tak membawa anak balitanya ke posyandu, petugas harus aktif mendatangi rumahnya. Namun seiring perkembangan politik nasional/lokal terkait otonomi daerah, banyak pejabat yang tidak sensitif terhadap meningkatnya jumlah penderita gizi buruk yang tengah melanda gakin. Akibatnya, para petugas di bawahnya tak bisa lagi melayani kesehatan masyarakat secara optimal.
*) Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat-UI, tinggal di Jakarta Selatan.
Thanks for reading Posyandu Terpinggirkan, Gizi Buruk Mewabah

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar