Home » » Saat Kebijakan Berbuntut Ketakutan

Saat Kebijakan Berbuntut Ketakutan

Meski tanaman jarak yang disebut-sebut sebagai pengganti bahan bakar alternatif sudah coba ditanam dan dikembangkan di berbagai daerah, namun hingga kini kebijakan pemerintah itu masih terbentur pada pelbagai masalah pelik. Antara lain belum ada varietas (klon) unggul, stok benih konon terbatas, teknik budidaya belum memadai, sistem pemasaran dan harga masih belum standar.
Kondisi ini memicu program biofuel berkembang sangat stagnan di balik kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). ”Kebijakan pemerintah mengembangkan energi alternatif sepertinya hanya setengah hati. Hal ini membuat para pelaku usaha berpikir dua kali. Ada rasa takut yang membayangi petani, investor dan pengusaha karena kebijakan pemerintah yang tidak tegas,” tandas Dosen Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof Dr Ir I Gusti Bagus Wijaya Kusuma, ST.
Secara geografis, sebut Prof Wijaya, Indonesia sebagai negara beriklim tropis sangat cocok mengembangkan tanaman yang mudah tumbuh itu untuk bisa disulap energi biofuel. Dampaknya sangat besar jika implementasi program dan kebijakan yang sudah dicanangkan pemerintah itu jelas dan tegas. “Sebenarnya, kondisi Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi, didukung oleh ketersediaan lahan yang luas dan kian berkembangnya teknologi, pemerintah sebenarnya tidak perlu takut untuk optimalisasi produksi guna mendukung kelayakan pengembangan biofue,” katanya.
Sebagai energi pengganti, juga ada bahan bakar fosil, namun potensinya diperkirakan sudah habis dalam 34 tahun ke depan atau hanya tersedia maksimal selama 10 tahun. Tanaman jarak, kemiri dan camplung, pinta Prof Wijaya, bisa menjadi solusi alternatif. Hingga kini luas lahan kritis di Indonesia masih lebih dari 20 juta ha, dan mayoritas berada di luar kawasan hutan, dan bahkan banyak yang diterlantarkan. Budidaya jenis tanaman jarak, rinci Prof Wijaya, selain menunjang usaha konservasi lahan dari yang kritis menjadi lahan produktif, juga memberikan kesempatan kerja yang berimplikasi langsung pada terjadinya peningkatan penghasilan petani. Selain itu secara bertahap dan kontinyu meningkatkan kualitas SDM, meretas kemiskinan, memperbaiki struktur air dan tanah. Untuk 27 hektar saja, sudah mampu memenuhi kebutuhan energi per kabupaten. Bila semua daerah sadar untuk menanam jarak sebagai sumber bahan bakar maka antrian dan rebutan BBM tidak akan terjadi.
Biogas
Di Denpasar, khususnya di Banjar Batur dan Banjar Sari di kawasan Ubung serta Rumah Pemotongan Hewan, sejak tahun 2002 sudah dikembangkan program biogas. Bahkan, seperti yang diungkap Made Yudi Arsana dari Yayasan Bali Yocus, sekarang Ubung sudah memiliki MCK tiga plus yaitu pelayanan toilet dengan air bersih, pemanfaatan biogas dan penciptaan lapangan kerja. Ubung dijadikan pilot project program biogas karena kawasan tersebut terkategori pemukiman padat penduduk.
Pengembangan biogas diawali dari pembuatan penampungan limbah (digester). Bahan organik dimasukkan lalu dibusukkan oleh bakteri anaerob. Di dalamnya terjadi pemisahan gas dengan lumpur. Komposisi gas berupa Methana(CH4), karbondioksida (CO2), hydrogen (H2) dan hidrogen sulfida (H2S) dialirkan melalui pipa ke tangki penyimpanan gas atau langsung ke lokasi penggunaan.
Gas yang keluar memiliki bau yang sama seperti gas lainnya. Bahkan setelah terbakar tidak memunculkan bau sama sekali. Bagian lumpur bisa dikeluarkan lewat saluran lain (diendapkan dalam beberapa kali proses). Lumpur yang dikeluarkan bisa berfungsi sebagai pupuk dan yang diendapkan harus dikuras dua tahun sekali. Biogas dapat dimanfaatkan layaknya LPG, baik untuk memasak, lampu dan pemakaian air panas di kamar mandi. Pemanfaatan biogas bagi kebutuhan rumah tangga dapat menghemat energi hingga 30%.
(Heni Kurniawati & Roro Sawita)
Thanks for reading Saat Kebijakan Berbuntut Ketakutan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar