Home » » Stop Komersialisasi Kesehatan

Stop Komersialisasi Kesehatan

Oleh: Slamet Riyanto*
Dampak neoliberalisme yang memiskinkan terlihat jelas dalam bentuk rentannya masyarakat terhadap penyakit. “Menderita sakit dan miskin” adalah kondisi yang beriringan. Bukan hanya anak-anak kurang makan dan kurang gizi, busung lapar, diare, demam berdarah, flu burung yang kita jumpai, tetapi juga ketidaksehatan fisik lainnya, hingga kesehatan mental dan kecacatan budaya.
Tekanan ekonomi akibat sulitnya memenuhi kebutuhan hidup pun juga menimbulkan ketidaksehatan mental yang parah. "Pasien gangguan jiwa naik 100% —pasca kenaikan harga BBM". Kepala SMF Poli Kesehatan Jiwa RS Sardjito Yogyakarta, Prof. Dr. Suwadi mengatakan dalam kurun waktu 3-6 bulan setelah dinaikkan BBM tahun 2005, terjadi ledakan pasien akibat gangguan psikologis atau kejiwaan. Saat itu jumlah pasien di Poli Kesehatan Jiwa RS Sardjito Yogyakarta mengalami peningkatan hingga 100 persen. Rata-rata setiap hari pasien yang datang ke poli mencapai 15-20 orang. Sedangkan sebelumnya, antara 5-10 pasien.
Neoliberalisme juga berusaha menjadikan sektor pelayanan publik menjadi suatu hal yang diserahkan ke pasar. Sehingga, kesehatan masyarakat, khususnya pelayanan medis, sudah begitu mendalam terintervensi oleh bisnis sehingga fungsi sosialnya jauh tertinggal. Bahkan, pusat kesehatan masyarakat, yang dipromosikan dan didanai oleh pemerintah sebagai pintu masuk bagi mereka yang berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sudah bergerak ke arah komersialisasi.
Desentralisasi kebijakan kesehatan juga tak mampu menjawab tuntutan masyarakat akan kesehatan. Dengan adanya otonomi daerah, justru ada kecenderungan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah, atau disebutkan dengan pelayanan kesehatan swadana, sehingga fungsi sosialnya terabaikan.
Demikian pula dengan rumah sakit milik pemerintah sudah bergerak ke arah swakelola dengan memasang tarif hampir menyerupai rumah sakit swasta lainnya. Pokok persoalan nilai-nilai sosial dari pelayanan kesehatan atau pelayanan medis telah tererosi. Muncullah pelayanan kesehatan yang bersifat komersial. Begitu jauhnya intervensi bisnis, sehingga mereka yang berpenghasilan rendah tidak dapat menjangkau baik biaya jasa pelayanan medis maupun harga obat. Di beberapa daerah, puskesmas dan rumah sakit justru menjadi penyumbang bagi pendapatan asli daerah (PAD). Pasien puskesmas dan rumah sakit dieksploitasi untuk kepentingan pemasukan ke kas daerah dan negara. Komersialisasi di bidang kesehatan menyusahkan rakyat. Komersialisasi itu mulai dari pendidikan dokter hingga rumah sakit yang membuat biaya kesehatan semakin mencekik rakyat. Padahal, Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan, bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan layanan kesehatan.
Karena itu, rakyat miskin tak jarang yang melarikan diri ke pengobatan tradisional yang kadang-kadang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan ilmu kedokteran. Melambung tingginya harga obat dan biaya pelayanan medis lainnya yang dikarenakan intervensi bisnis mengakibatkan banyak di antara mereka yang berpenghasilan rendah menderita penyakit. Hanya doa saja yang mengiringi mereka menuju ke alam baka.
Neoliberalisme juga merasuk-menyeruak dalam jiwa dan pikiran para pekerja kesehatan, dari yang seharusnya menjadi pelayan dan pengobat sakit menjadi “penjual”. Lihatlah cara berpikir (mindset) kalangan dokter di rumah sakit dan pemerintah daerah (rumah sakit daerah dan dinas kesehatan) bahwa layanan kesehatan adalah kegiatan komersial. Akibatnya, rumah sakit pemerintah daerah, seperti di DKI Jakarta ada yang berbadan hukum perseroan terbatas (PT). Konon, upaya menjadikan rumah sakit pemerintah menjadi PT justru muncul dari kalangan dokter. Hal itu dipicu oleh mahalnya biaya pendidikan dokter. Misalnya, seorang mahasiswa fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi swasta sebelum memulai kuliah harus membayar uang Rp 120 juta. Alhasil, begitu si mahasiswa menyelesaikan pendidikan, orientasinya adalah mengembalikan biaya pendidikan yang dikeluarkan selama menjalani perkuliahan. Kondisi ini menimbulkan komersialisasi, bukan profesionalisme.
Komersialisasi di bidang kesehatan terjadi karena lemahnya posisi masyarakat. Pasalnya, masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup tentang layanan kesehatan, seperti obat dan tindakan medis. Akibatnya, masyarakat (pasien) menyerahkan keputusan di bidang kesehatan kepada dokter.
Sebenarnya pihak Kementerian Kesehatan RI sudah berupaya membuat kebijakan kesehatan untuk mengatasi masalah tersebut. Di antaranya adalah program Askeskin (Asuransi Kesehatan Rakyat Miskin), Apotik Rakyat, dan obat murah. Semoga berbagai program kerakyatan tersebut menjadi langkah pertama menuju kesuksesan. Jalan ke depan masih panjang.
*) Pendiri Kelompok Diskusi LILIN (Lingkaran Liberasi Indonesia) Balaksumur dan kini bergiat di Jaringan Kaum Muda untuk Kemandirian Nasional (JAMAN) DI Yogyakarta.



Thanks for reading Stop Komersialisasi Kesehatan

0 komentar:

Posting Komentar