Lukman Wibowo*
Beberapa waktu terakhir ini, banyak kalangan, termasuk kelompok agamawan, yang mulai menaruh simpatik pada perkembangan kapitalisme. Kapitalisme dipercaya kian lama kian mengalami “perubahan” ke arah yang positif. Alasan fenomenologis yang mereka saksikan bahwa negara-negara Barat (sebagai lokomotif paham-kapitalis) justru telah berpraktik lebih manusiawi ketimbang perilaku negara-negara ”anti-Barat” itu sendiri.
Kampanye mulia?
Saat ini misalnya, di negara-negara maju, hubungan antara pengusaha dan pekerja sudah berjalan (terkesan) harmonis, serta ”suka sama suka”. Selain itu, Amerika Serikat dan sekutunya telah menunjukkan diri di garda terdepan dalam kampanye anti-napza, dan program manusia sehat. Hal ini amat paradoks, di mana justru terdapat berpuluh juta orang yang terlibat narkoba dalam sebuah negara yang mengaku berideologi agamawi.
Upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan disiplin kerja telah menempatkan negara Barat sebagai teladan sistem politik (Laporan Transparency International, 2007). Ini begitu bertolak belakang dengan apa yang terjadi di beberapa negara Timur —dan juga negara komunis-sosialis— yang malah angka praktik korupsinya membludak, dan rakyatnya hidup indisipliner.
Isu pendidikan pun tak luput dari kampanye negara maju. Yakni pendidikan dengan biaya terjangkau, sistem otonomi, sampai dengan peningkatan skill maupun profesionalitas kerja. Fakta tersebut sepertinya sulit diterima! Kita percaya teori-teori kapitalisme adalah sesat, namun pada implementasinya mereka bisa lebih ”mulia”. Sementara, agamaisme, yang kita yakini punya teori yang ideal, tapi banyak pengikutnya yang justru berpraktik “menyimpang” atau jauh dari teori ajarannya. Mengapa ini terjadi?
Jika demikian adanya, maka sedikitnya kita punya dua persoalan besar. Pertama, bagaimana seharusnya kita memahami logika kapitalisme secara utuh agar kita tak tertipu seperti tipuan Dajjal “api terlihat air, air kelihatan api”. Kedua, bagaimana dalam beragama, antara teori dan penerapannya, bisa berjalan seimbang sesuai idealitas. Inilah sesungguhnya tugas pembuktian yang terberat ada di tangan kita.
Bukan ”Produk Sejarah”
Sebagai ide, kapitalisme tidaklah tepat disebut “produk sejarah”, ia lebih pas disebut sebagai “takdir”. Artinya, jika kita melihat kapitalisme sebagai produk sejarah, ada kemungkinan ia bisa berubah. Namun bila kita asumsikan sebagai “kodrat”, sampai kiamatpun, kapitalisme akan tetap sebagai ide tentang keserakahan. Aleksander Kojeve pernah mengutakan tentang hubungan filsafat yang rumit antara idea dan materi-nya Hegel. Kojeve meletakkan idea (ide) sebagai “sebab” dan materi (dunia nyata, realitas) sebagai “akibat”. Mengikuti logika Kojeve, jika kapitalisme adalah sebab, maka realitas dunia kapitalis adalah akibat. Faktanya, antara idea dan realitas itu dihubungkan oleh seperangkat alat yang bernama “sistem”. Artinya sistem merupakan alat bagi idea, agar idea bisa manifes menjadi realitas dunia nyata.
Kapitalisme sebagai ide, tak lain adalah “hawa nafsu yang sesat”, demikian kata Fritjof Capra (1991:51). Maka sampai kapanpun kapitalisme adalah ide yang tak mungkin berubah menjadi baik (positif). Inilah yang dimaksud kapitalisme sebagai takdir yang tetap (kodrat), bukan sebagai produk sejarah.
Bila kita menyaksikan kapitalisme seakan telah berubah, itu bukanlah perubahan ide, melainkan perubahan sistemnya semata. Sistem adalah seperangkat paham, strategi, dan lembaga yang turun mewakili kemauan ide (Plato, Republik). Contohnya, di zaman Mesir kuno, kapitalisme memiliki sistem yang disebut orang: fir’aunisme. Sistem fir’aunisme inilah yang lalu melahirkan realitas perbudakan (masyarakat budak). Atau sekitar empat abad yang silam, kapitalisme bersembunyi di balik kolonialis-imperialisme yang memunculkan realitas penjajahan. Nekolim yang pernah disinyalir Mao dan Sukarno sebagai “hantu yang bergentayangan” pun telah berakhir paska Perang Dingin usai. Intinya, akan selalu ada perubahan (pergantian strategi dan pelembagaan) pada sistem yang lahir dari idea “ide dasar” kapitalisme.
Time is Money
Bilamana di era ini negara-negara maju, begitu “ramah” kepada kaum buruh, itu cuma strategi baru, agar laju suatu produksi menjadi lebih besar. Bukankah jika terjadi pemogokan massal, itu akan memakan biaya sosial yang tidak murah, dan kemudian hasil produksi bisa menurun?
Sosialisasi kesehatan dan peningkatan taraf pendidikan masyarakat merupakan program utama negara-negara kapitalis. Sebab, jika manusia sebagai “sekrup-sekrup” dari mesin raksasa yang bernama Pasar Bebas (Free Trade), ini bertubuh sehat dan terampil, maka jalannya mesin akan lebih lancar dan produktif.
Bagi kelompok kapitalis, etos kerja amatlah vital. Hargailah waktu dan jangan bermalas-malasan, time is money, Di negara maju, praktik korupsi adalah sesuatu yang menjijikkan, sementara mengeruk untung (kapital) sebesar-besarnya merupakan hal yang diyakini “halal”.
Kapitalisasi Agama
Dalam epistem kapitalispun, simbolisasi agama (baca: Islami) tetap memperoleh ruang yang “spesial” dalam kuasa pasar. Ayat-ayat suci dibisniskan dalam kuis telepon seluler, ceramah agama dijadikan “arena tepuk tangan” dalam acara Pildacil dan Dai Favorit. Ibadah haji menjadi hadiah “togel” di meja Bank Syariah.
Busana muslim menjadi tren di masa kini. Mencuatnya fashion, food, sampai dengan lagu nasyid, merupakan panorama yang mengejutkan di tengah masyarakat yang dianggap modern. Di sini kita akan menemui banyak orang yang kelihatannya syar’i, namun justru berpola hidup konsumtif.
Tangis serta ratapan menyesali, terus dipacu dalam kegiatan muhasabah bersama setiap saat. Dan doktrin “sabar” merupakan mantra mujarab yang mesti dihafal masyarakat, demi langgengnya kekuasaan sebuah rezim eksploitatif. Agama kembali dihadirkan sebagai “candu” bagi masyarakat.
Sekarang, kita hidup di dunia yang melulu abstrak. Sukar untuk membedakan mana yang patut dan durjana, mana yang berbudi dan nirmoral, serta mana yang bertuhan dan ateis. Dunia yang didominasi oleh ke(tak)jujuran kapitalisme.
*)Dosen Akademi Widya Buana Semarang.
Beberapa waktu terakhir ini, banyak kalangan, termasuk kelompok agamawan, yang mulai menaruh simpatik pada perkembangan kapitalisme. Kapitalisme dipercaya kian lama kian mengalami “perubahan” ke arah yang positif. Alasan fenomenologis yang mereka saksikan bahwa negara-negara Barat (sebagai lokomotif paham-kapitalis) justru telah berpraktik lebih manusiawi ketimbang perilaku negara-negara ”anti-Barat” itu sendiri.
Kampanye mulia?
Saat ini misalnya, di negara-negara maju, hubungan antara pengusaha dan pekerja sudah berjalan (terkesan) harmonis, serta ”suka sama suka”. Selain itu, Amerika Serikat dan sekutunya telah menunjukkan diri di garda terdepan dalam kampanye anti-napza, dan program manusia sehat. Hal ini amat paradoks, di mana justru terdapat berpuluh juta orang yang terlibat narkoba dalam sebuah negara yang mengaku berideologi agamawi.
Upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan disiplin kerja telah menempatkan negara Barat sebagai teladan sistem politik (Laporan Transparency International, 2007). Ini begitu bertolak belakang dengan apa yang terjadi di beberapa negara Timur —dan juga negara komunis-sosialis— yang malah angka praktik korupsinya membludak, dan rakyatnya hidup indisipliner.
Isu pendidikan pun tak luput dari kampanye negara maju. Yakni pendidikan dengan biaya terjangkau, sistem otonomi, sampai dengan peningkatan skill maupun profesionalitas kerja. Fakta tersebut sepertinya sulit diterima! Kita percaya teori-teori kapitalisme adalah sesat, namun pada implementasinya mereka bisa lebih ”mulia”. Sementara, agamaisme, yang kita yakini punya teori yang ideal, tapi banyak pengikutnya yang justru berpraktik “menyimpang” atau jauh dari teori ajarannya. Mengapa ini terjadi?
Jika demikian adanya, maka sedikitnya kita punya dua persoalan besar. Pertama, bagaimana seharusnya kita memahami logika kapitalisme secara utuh agar kita tak tertipu seperti tipuan Dajjal “api terlihat air, air kelihatan api”. Kedua, bagaimana dalam beragama, antara teori dan penerapannya, bisa berjalan seimbang sesuai idealitas. Inilah sesungguhnya tugas pembuktian yang terberat ada di tangan kita.
Bukan ”Produk Sejarah”
Sebagai ide, kapitalisme tidaklah tepat disebut “produk sejarah”, ia lebih pas disebut sebagai “takdir”. Artinya, jika kita melihat kapitalisme sebagai produk sejarah, ada kemungkinan ia bisa berubah. Namun bila kita asumsikan sebagai “kodrat”, sampai kiamatpun, kapitalisme akan tetap sebagai ide tentang keserakahan. Aleksander Kojeve pernah mengutakan tentang hubungan filsafat yang rumit antara idea dan materi-nya Hegel. Kojeve meletakkan idea (ide) sebagai “sebab” dan materi (dunia nyata, realitas) sebagai “akibat”. Mengikuti logika Kojeve, jika kapitalisme adalah sebab, maka realitas dunia kapitalis adalah akibat. Faktanya, antara idea dan realitas itu dihubungkan oleh seperangkat alat yang bernama “sistem”. Artinya sistem merupakan alat bagi idea, agar idea bisa manifes menjadi realitas dunia nyata.
Kapitalisme sebagai ide, tak lain adalah “hawa nafsu yang sesat”, demikian kata Fritjof Capra (1991:51). Maka sampai kapanpun kapitalisme adalah ide yang tak mungkin berubah menjadi baik (positif). Inilah yang dimaksud kapitalisme sebagai takdir yang tetap (kodrat), bukan sebagai produk sejarah.
Bila kita menyaksikan kapitalisme seakan telah berubah, itu bukanlah perubahan ide, melainkan perubahan sistemnya semata. Sistem adalah seperangkat paham, strategi, dan lembaga yang turun mewakili kemauan ide (Plato, Republik). Contohnya, di zaman Mesir kuno, kapitalisme memiliki sistem yang disebut orang: fir’aunisme. Sistem fir’aunisme inilah yang lalu melahirkan realitas perbudakan (masyarakat budak). Atau sekitar empat abad yang silam, kapitalisme bersembunyi di balik kolonialis-imperialisme yang memunculkan realitas penjajahan. Nekolim yang pernah disinyalir Mao dan Sukarno sebagai “hantu yang bergentayangan” pun telah berakhir paska Perang Dingin usai. Intinya, akan selalu ada perubahan (pergantian strategi dan pelembagaan) pada sistem yang lahir dari idea “ide dasar” kapitalisme.
Time is Money
Bilamana di era ini negara-negara maju, begitu “ramah” kepada kaum buruh, itu cuma strategi baru, agar laju suatu produksi menjadi lebih besar. Bukankah jika terjadi pemogokan massal, itu akan memakan biaya sosial yang tidak murah, dan kemudian hasil produksi bisa menurun?
Sosialisasi kesehatan dan peningkatan taraf pendidikan masyarakat merupakan program utama negara-negara kapitalis. Sebab, jika manusia sebagai “sekrup-sekrup” dari mesin raksasa yang bernama Pasar Bebas (Free Trade), ini bertubuh sehat dan terampil, maka jalannya mesin akan lebih lancar dan produktif.
Bagi kelompok kapitalis, etos kerja amatlah vital. Hargailah waktu dan jangan bermalas-malasan, time is money, Di negara maju, praktik korupsi adalah sesuatu yang menjijikkan, sementara mengeruk untung (kapital) sebesar-besarnya merupakan hal yang diyakini “halal”.
Kapitalisasi Agama
Dalam epistem kapitalispun, simbolisasi agama (baca: Islami) tetap memperoleh ruang yang “spesial” dalam kuasa pasar. Ayat-ayat suci dibisniskan dalam kuis telepon seluler, ceramah agama dijadikan “arena tepuk tangan” dalam acara Pildacil dan Dai Favorit. Ibadah haji menjadi hadiah “togel” di meja Bank Syariah.
Busana muslim menjadi tren di masa kini. Mencuatnya fashion, food, sampai dengan lagu nasyid, merupakan panorama yang mengejutkan di tengah masyarakat yang dianggap modern. Di sini kita akan menemui banyak orang yang kelihatannya syar’i, namun justru berpola hidup konsumtif.
Tangis serta ratapan menyesali, terus dipacu dalam kegiatan muhasabah bersama setiap saat. Dan doktrin “sabar” merupakan mantra mujarab yang mesti dihafal masyarakat, demi langgengnya kekuasaan sebuah rezim eksploitatif. Agama kembali dihadirkan sebagai “candu” bagi masyarakat.
Sekarang, kita hidup di dunia yang melulu abstrak. Sukar untuk membedakan mana yang patut dan durjana, mana yang berbudi dan nirmoral, serta mana yang bertuhan dan ateis. Dunia yang didominasi oleh ke(tak)jujuran kapitalisme.
*)Dosen Akademi Widya Buana Semarang.
0 komentar:
Posting Komentar