Home » » Dakwah Yang Kehilangan Konteks

Dakwah Yang Kehilangan Konteks

Oleh: A. Zaenurrofik*
Ramadhan semakin semarak dengan berbagai program dan kegiatan. Kegiatan tadarus, pengajian selepas tarawih, dan pembagian ta’jil, menjadi penyemarak bulan Ramadhan. Tak ketinggalan pula, media elektronik turut menyemarakkan bulan ini dengan beragam program yang bernafaskan dan berunsurkan Ramadhan. Hampir semua televisi dan radio mengagendakan program dakwah yang disuguhkan dengan kemasan yang menarik pemirsa. Antara media yang satu dengan yang lain berlomba-lomba seolah-olah bersaing untuk menampilkan sosok da’i yang mampu menghipnotis massa dengan dakwahnya tersebut.
Namun muatan materi dakwah antara da’i senantiasa berisikan seruan-seruan normatif yang tekstual. Jarang, seorang da’i menyerukan bagaimana dengan ayat-ayat tekstual tersebut ditautkan dengan konteks sosial ekonomi. Nampaknya hal tersebut bukan merupakan ladang garapan mereka. Mereka tidak mempunyai cukup nyali untuk melakukan koreksi sosial dengan analisa teks. Tema-tema sosial senantiasa dihindari. Barangkali juga tema-tema kontekstual seperti ini tidak laku jual di pasar media, atau mungkin juga terlalu riskan untuk profesi mereka. Barangkali juga mereka beranggapan bahwa kewajiban syi’ar telah berakhir setelah disampaikan nasihat-nasihat dan ajakan-ajakan normatif, setelah menyerukan sabar, ikhlas menerima cobaan, menerangkan tatacara berwudhu dan thaharah.

Ajaran agama Islam bukanlah melulu menerangkan hubungan dengan Tuhan, melainkan juga memberikan porsi yang besar terhadap mu’amalah (hubungan dengan manusia dalam rangka mengabdi kepada Tuhan). Ibadah yang pertama bersifat ritual, sedangkan yang lainnya berdimensi sosial. Untuk urusan ritual seperti shalat, puasa, zakat, dzikir, do’a, menutup rapat adanya kreasi dan inovasi, kecuali memang ada nash yang mengukuhkan hal tersebut. Yang berjenis mu’amalah, mengkreasi dan menciptakan kebaruan justru merupakan keharusan karena realitas terus memparbahaui dirinya sendiri, sehingga sikap kita juga akan berubah manakala menghadapi perubahan realitas tersebut.
Muatan isi dakwah para da’i di televisi atau media elektronik lainnya lebih mengeksplorasi ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah ritual. Tindakan tersebut tidaklah salah. Namun, juga tidak salah juga jika seandainya para da’i mengeksplorasi ayat-ayat mua’amalah. Terdapat kesepakatan tak tertulis yang menjadi konsensus di masyarakat bahwa urusan muamalah biarlah menjadi urusan politisi, negara, atau komponen masyarakat lain di luar eksponen para da’i. Terdapat pemisahan yang tegas antara tugas da’i dengan tugas eksponen non da’i. Masing-masing mempunyai wilayah yang berdaulat, sehingga pelanggaran batas-batas wilayah tersebut akan memantik reaksi dari pihak yang wilayahnya terlanggar.
Pemisahan tersebut membawa implikasi dakwah da’i kurang merespon isu-isu sosial. Mereka cenderung untuk menyokong tema-tema sosial yang tidak populis. Padahal para da’i adalah agen untuk membumikan nilai-nilai Islam. Baik nilai-nilai ibadah ritual ataupun nilai-nilai muamalah. Kecenderungan mengabaikan tema-tema muamalah merupakan sesuatu yang patut kita kritisi. Dikatakan oleh Imam Khomeini, proporsi antara ayat-ayat ibadah dengan ayat-ayat muamalah, lebih banyak dimensi ayat-ayat muamalahnya, di samping tentunya juga mempunyai dimensi ritual, mistikal, idelogikal, dan intelektual —yang menjadi penanda eksistensi bagi sebuah agama.
Islam hadir di tengah masyarakat dunia bukan untuk mengukuhkan status quo. Kehadiran Islam untuk membebaskan manusia dari berbagai kegelapan kepada cahaya. Penegasan ini bisa ditemukan di berbagai ayat-ayat Al-qur’an seperti pada surat al-Maidah ayat 15, al-Hadid ayat 9, ath-Thalaq ayat 10-11, al-Ahzab ayat 41-43, dan al-Baqoarah ayat 257. Kata “Zhulumat’merupakan bentuk jamak zhulm yang berarti kegelapan dan kezaliman. Kezaliman mewujud dalam bentuk ketidakmengertian syari’at, pelanggaran atas syaria’at, dan penindasan. Karenanya, hadirnya Islam untuk membebaskan manusia dari ketiga bentuk kezaliman tersebut.
Yang senantiasa luput dari materi dakwah da’i adalah segi yang berkait dengan pembebasan dari penindasan. Tema seperti ini seakan-akan tabu untuk didakwahkan. Padahal, Islam juga menandaskan bahwa kemunduran umat Islam juga disebabkan oleh timpangnya struktur sosial dan ekonomi. Penjelasan Al-qur’an mengenai kemiskinan dinyatakan dalam surat al-Fajr ayat 18-22 yang menjelaskan kemiskinan karena absennya usaha kolektif untuk membantu kelompok yang lemah, kerakusan atas kekayaan dan kecintaan berlebihan terhadap kekayaan. Sebagai jalan keluarnya, Islam menghendaki kekayaan tidak berputar pada kalangan orang kaya saja (surat al-Hasyr ayat 7).
Para da’i yang mengkhotbahkan agama tanpa disemangati dan dikorelasikan dengan tema-tema mu’ammalah, berarti mereka tidaklah menciptakan nilai baru. Nilai-nilai lama yang telah tertanam dalam masyarakat --yang menjadi sumber kemunduran umat tidak didekonstruksikan. Tema-tema lama tetap dieksplorasi dengan kemasan dan polesan yang baru. Esensinya tetap sama, namun berubah kemasannya saja. Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa manusia adalah pencipta kedua setelah Tuhan. Melalui limpahan kreativitas tak terbatasnya, Tuhan menganugerahkan kemampuan mencipta kepada manusia, sehingga nilai-nilai baru akan terus diproduksi oleh manusia sesuai dengan semangat jaman. Iqbal memberikan metafor manusia sebagai pedang, dan batu sebagai asahan. Ketika pedang ditajamkan oleh ketahanan batu, maka manusia juga harus melepaskan personalitasnya dalam menafsirkan dan merekonstruksi realitas, sehingga bisa memproduksi nilai-nilai baru tersebut. Nilai-nilai baru inilah yang menjadi materi atas gerak perubahan relitas sosial-ekonomi.
Sudah waktunya para da’i menyatukan syi’arnya dengan konteks jaman. Anggapan bahwa tugas da’i adalah hanya mendakwahkan ibadah ritual saja semestinya layak untuk ditinggalkan. Aculah misalnya pada haji Misbah, Soekarno, atau Muhammad Iqbal, yang senantiasa mengkorelasikan antara ayat-ayat tekstual dengan konteks jamannya, untuk menafsirkan dan merubah realitas sosial-ekonomi.
*)Peneliti Center for Social Science and Religion (CSSR), Surabaya.
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Thanks for reading Dakwah Yang Kehilangan Konteks

0 komentar:

Posting Komentar