Remaja Indonesia rawan terkena penyakit menular seksual (PMS). Selain faktor pergaulan bebas, juga dipicu minimnya pengetahuan remaja seputar kesehatan reproduksi.
Hasil survei Program Officer Kesehatan dan Perkembangan Remaja WHO Indonesia yang dipimpin Tini Setiawan menunjukkan 18,3 persen remaja siswa SMA di Bogor, Jawa Barat, rentan tertular penyakit kelamin.
Survei yang berisi jenis kegiatan yang dilakukan perilaku remaja saat berpacaran itu dilakukan terhadap siswa yang terdapat di 10 SMA di kota Bogor. Jenis kegiatan yang kerap dilakukan remaja saat pacaran adalah berbicara/chatting (95,1%), nonton bioskop (69,7%), sekadar berjalan-jalan (77,7%), dan berpegangan tangan (66,4%).
Di dalam survei tersebut juga terdapat sejumlah perilaku seksual yang dapat dikategorikan menyimpang yang ternyata dilakukan oleh sekitar 18,3% dari populasi remaja.
Padahal, sejumlah perilaku tersebut, antara lain melakukan hubungan seksual, bisa membuat sang remaja itu berisiko tinggi terhadap penyakit menular seksual seperti HIV.
Tini mengemukakan, usia remaja memang merupakan periode peralihan masa anak-dewasa sehingga meski keadaan fisik atau biologis mungkin telah dewasa, secara mental atau sosial masih belum cukup.
Hal ini juga berpengaruh terhadap ciri-ciri remaja yaitu cenderung ingin bebas, ingin mencoba sesuatu yang baru, lebih suka berkelompok, dan mudah terpengaruh.
Mengenai cara mengendalikan dorongan seksual, ujar Tini, antara lain adalah dengan membuat remaja mau taat beribadah, memahami tugas utamanya misalnya belajar, dan mengisi waktu sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.
Sementara Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Bali, dr Made Oka Negara, seperti dilansir Antara, melihat remaja Indonesia masih minim mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena untuk penyampaian informasi mengenai hal itu masih dianggap tabu.
"Selain itu belum ada kurikulum kesehatan reproduksi dan pelayanan yang ramah terhadap remaja. Kita juga belum memiliki undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja," kata Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Bali, dr Made Oka Negara yang dilansir Antara.
Ia mengatakan, pihak Depdiknas dalam kurikulum nasional 1994 telah menyetujui pendidikan kesehatan reproduksi remaja diberikan secara umum melalui mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, IPA serta agama. Tetapi secara khusus masih sedikit yakni sekitar dua jam dalam seminggu. "Kenyataan pendidikan kesehatan reproduksi remaja yang telah dituangkan dalam kurikulum nasional tersebut belum sepenuhnya dapat berjalan dalam proses belajar-mengajar," katanya.
Hal tersebut juga disebabkan karena ketidaksiapan tenaga pendidik, terbatasnya bahan pelajaran bagi guru, masih dianggap tabu dan banyaknya hambatan kultural. "Sehingga perlu sekali terobosan yang dilakukan baik lewat jalur kurikuler, ekstrakurikuler maupun kegiatan khusus kerjasama dengan lembaga lain," ucapnya.(Beny Uleander/Antara)
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Hasil survei Program Officer Kesehatan dan Perkembangan Remaja WHO Indonesia yang dipimpin Tini Setiawan menunjukkan 18,3 persen remaja siswa SMA di Bogor, Jawa Barat, rentan tertular penyakit kelamin.
Survei yang berisi jenis kegiatan yang dilakukan perilaku remaja saat berpacaran itu dilakukan terhadap siswa yang terdapat di 10 SMA di kota Bogor. Jenis kegiatan yang kerap dilakukan remaja saat pacaran adalah berbicara/chatting (95,1%), nonton bioskop (69,7%), sekadar berjalan-jalan (77,7%), dan berpegangan tangan (66,4%).
Di dalam survei tersebut juga terdapat sejumlah perilaku seksual yang dapat dikategorikan menyimpang yang ternyata dilakukan oleh sekitar 18,3% dari populasi remaja.
Padahal, sejumlah perilaku tersebut, antara lain melakukan hubungan seksual, bisa membuat sang remaja itu berisiko tinggi terhadap penyakit menular seksual seperti HIV.
Tini mengemukakan, usia remaja memang merupakan periode peralihan masa anak-dewasa sehingga meski keadaan fisik atau biologis mungkin telah dewasa, secara mental atau sosial masih belum cukup.
Hal ini juga berpengaruh terhadap ciri-ciri remaja yaitu cenderung ingin bebas, ingin mencoba sesuatu yang baru, lebih suka berkelompok, dan mudah terpengaruh.
Mengenai cara mengendalikan dorongan seksual, ujar Tini, antara lain adalah dengan membuat remaja mau taat beribadah, memahami tugas utamanya misalnya belajar, dan mengisi waktu sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing.
Sementara Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Bali, dr Made Oka Negara, seperti dilansir Antara, melihat remaja Indonesia masih minim mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena untuk penyampaian informasi mengenai hal itu masih dianggap tabu.
"Selain itu belum ada kurikulum kesehatan reproduksi dan pelayanan yang ramah terhadap remaja. Kita juga belum memiliki undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja," kata Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Bali, dr Made Oka Negara yang dilansir Antara.
Ia mengatakan, pihak Depdiknas dalam kurikulum nasional 1994 telah menyetujui pendidikan kesehatan reproduksi remaja diberikan secara umum melalui mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, IPA serta agama. Tetapi secara khusus masih sedikit yakni sekitar dua jam dalam seminggu. "Kenyataan pendidikan kesehatan reproduksi remaja yang telah dituangkan dalam kurikulum nasional tersebut belum sepenuhnya dapat berjalan dalam proses belajar-mengajar," katanya.
Hal tersebut juga disebabkan karena ketidaksiapan tenaga pendidik, terbatasnya bahan pelajaran bagi guru, masih dianggap tabu dan banyaknya hambatan kultural. "Sehingga perlu sekali terobosan yang dilakukan baik lewat jalur kurikuler, ekstrakurikuler maupun kegiatan khusus kerjasama dengan lembaga lain," ucapnya.(Beny Uleander/Antara)
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar