Saat masuk kuliah di IKIP Sanata Dharma Yogyakarta tahun 1985, kami mendapat nasehat dari dosen yang sangat dihormati mahasiswanya yaitu Bapak Drs. G. Moedjanto, M.A. Beliau menasehati para mahasiswanya agar kelak menjadi guru yang plus dengan berbagai ketrampilan yang dikuasainya untuk meningkatkan penghasilan. Ia juga menasihati kami agar tidak berorientasi mengejar status pegawai negeri. Sebab pada waktu itu gaji guru relatif masih sedikit.
Setiap hari kita sering mendengarkan berita di televisi atau membaca surat kabar tentang sertifikasi guru. Patut kita acungkan jempol kepada para guru yang telah berhasil meraih sertifikasi profesi guru. Mereka memang bekerja keras tanpa mengenal berbagai hambatan. Pengabdian yang tanpa mengenal lelah dan pengorbanan lahir maupun batin untuk memajukan generasi muda Indonesia agar masa depan negara ini menjadi lebih baik.
Sementara guru swasta yang tidak memperoleh sertifikasi profesi sampai pensiun lebih berupaya menjadi guru plus. Ada juga banyak guru yang mengalami berbagai kendala dalam meraih sertifikasi profesi guru. Bahkan banyak pula yang kemungkinan besar hingga pensiun tidak mungkin bisa meraih sertifikasi. Karena adanya kendala seperti ijasah, pengalaman kerja dan lainnya. Jika akan kuliah lagi meraih program S1 atau S2 mengalami kesulitan biaya. Sedangkan anak dan istri juga membutuhkan biaya untuk sekolah atau kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk menjadi guru plus tidaklah sulit, asal guru mau ulet dan pantang menyerah. Sebagai contoh menjadi guru sambil bekerja sebagai pedagang. Kegiatan tersebut dapat dilakukan setelah selesai mengajar atau di luar jam kerja. Sehingga tidak menganggu aktifitas dalam persiapan mengajar. Berdagang dapat menambah penghasilan bagi keluarganya.
Alternatif lain untuk meningkatkan sesejahteraan bagi guru plus yaitu rajin menulis di media massa. Dengan karya tulis tersebut, penulis (guru) akan mendapat honor. Guru plus juga dapat membuat berbagai alat peraga yang dapat mendatangkan uang.
Guru tidak usah patah semangat dalam bekerja mendidik generasi muda. Percayalah rejeki akan selalu ada, jika kita mengajar dengan sungguh-sungguh tanpa pantang menyerah.
(Komentar: Dra. Endang Sri Suryanti, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah, IKIP Sanata Dharma Yogyakarta).
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Setiap hari kita sering mendengarkan berita di televisi atau membaca surat kabar tentang sertifikasi guru. Patut kita acungkan jempol kepada para guru yang telah berhasil meraih sertifikasi profesi guru. Mereka memang bekerja keras tanpa mengenal berbagai hambatan. Pengabdian yang tanpa mengenal lelah dan pengorbanan lahir maupun batin untuk memajukan generasi muda Indonesia agar masa depan negara ini menjadi lebih baik.
Sementara guru swasta yang tidak memperoleh sertifikasi profesi sampai pensiun lebih berupaya menjadi guru plus. Ada juga banyak guru yang mengalami berbagai kendala dalam meraih sertifikasi profesi guru. Bahkan banyak pula yang kemungkinan besar hingga pensiun tidak mungkin bisa meraih sertifikasi. Karena adanya kendala seperti ijasah, pengalaman kerja dan lainnya. Jika akan kuliah lagi meraih program S1 atau S2 mengalami kesulitan biaya. Sedangkan anak dan istri juga membutuhkan biaya untuk sekolah atau kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk menjadi guru plus tidaklah sulit, asal guru mau ulet dan pantang menyerah. Sebagai contoh menjadi guru sambil bekerja sebagai pedagang. Kegiatan tersebut dapat dilakukan setelah selesai mengajar atau di luar jam kerja. Sehingga tidak menganggu aktifitas dalam persiapan mengajar. Berdagang dapat menambah penghasilan bagi keluarganya.
Alternatif lain untuk meningkatkan sesejahteraan bagi guru plus yaitu rajin menulis di media massa. Dengan karya tulis tersebut, penulis (guru) akan mendapat honor. Guru plus juga dapat membuat berbagai alat peraga yang dapat mendatangkan uang.
Guru tidak usah patah semangat dalam bekerja mendidik generasi muda. Percayalah rejeki akan selalu ada, jika kita mengajar dengan sungguh-sungguh tanpa pantang menyerah.
(Komentar: Dra. Endang Sri Suryanti, alumni Jurusan Pendidikan Sejarah, IKIP Sanata Dharma Yogyakarta).
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar