Era marketing baru di tengah proses digitalisasi bidang-bidang kehidupan, bangsa Indonesia belum tuntas merumuskan jati dirinya. Setidaknya, belum ada “gelombang industri” yang serius digarap dari hulu hingga hilir dalam bidang tertentu secara nasional dan massal.
Anak-anak muda India mulai merumuskan masa depan mereka ada di pengembangan perangkat digital komputerisasi. Remaja-remaja Cina sejak kecil digembleng menjadi profesional dengan menekuni bakat dan hobi mereka. Entah di bidang olahraga, pendidikan akademis maupun usaha tertentu. Terbukti, prestasi Cina menjulang di bidang olahraga, ekspansi bisnis maupun penelitian ilmiah. Pusaran peradaban dunia pun mulai bergeser dari Washington dan New York menuju Beijing dan Hongkong, termasuk Singapura!
Tetangga terdekat di kawasan Asia Tenggara, Vietnam gencar mengembangkan produk-produk pertanian unggulan. Ternyata, bidang-bidang industri lain bertumbuh cepat. Hal ini menjadi sebuah catatan kecil, bahwa keseriusan sebuah negara menggarap “potensi unggulan” akan berdampak pada pengembangan industri di bidang lain.
Bangsa Indonesia sebenarnya tidak gagap mendeklarasikan potensi unggulannya. Apalagi kalau bukang dunia pertanian. Lahan pertanian masih terhampar luas dari Sabang sampai Merauke. Lahan tidur pun masih banyak dibiarkan terlantar di berbagai daerah hingga pelosok desa. Suasana iklim pun merupakan karunia Allah yang patut kita syukuri. Di negeri ini tidak ada musim salju atau diterpa badai angin topan yang selalu ganas memporak-porandakan negeri Amerika Serikat.
Mengapa bangsa Indonesia tertatih-tatih menapak tangga kemandirian di bidang pangan? Ada apa dengan dunia pertanian di negeri ini? Nyatanya, pemerintah terus menggulirkan dana bantuan maupun program pengembangan sub-sub sektor pertanian.
Visi menata grand desain pembangunan dunia pertanian Indonesia seperti sebuah jalan sunyi nan lengang. Penyair Cina, Lu Hsun pernah berkata, harapan itu seperti jalan setapak yang sepi, Tapi, ketika ada orang yang mulai melintasi dan membabat belukarnya, mulailah yang lain mengikuti.
Sangat sederhana untuk kembali merumuskan jalan sunyi menuju kemandirian pangan. Pertama, program pengembangan potensi produk pertanian tidak boleh seragam. Tugas pemerintah adalah mendukung produk unggulan yang sudah dikembangkan masyarakat di sebuah daerah. Bentuk dukungan itu disertai dengan perbaikan etos kinerja birokrat yang bermental wirausaha. Pejabat birokrat harus diberi target hasil dalam periode tertentu. Jika gagal harus mundur menjadi PNS biasa.
Kedua, pemerintah fokus mengembangkan jaringan pasar dengan investor dalam dan luar negeri. Petani akan serius menanam produk tertentu jika mereka tahu ada yang membeli produk mereka.
Ketiga, komponen pertanian saatnya meninggalkan praktek pertanian berbasis kimiawi dan pestisida. Trend pertanian organik bukan sedekar kampanye ambisius, tapi telah terbukti bahwa manajemen pengolahan dan distribusi pupuk kimia bersubsidi selama ini “mempermainkan” nasib petani; penyebab utama lahan pertanian yang subur menjadi tandus; menciptakan ketergantungan dalam setiap periode tanam; dan merusakkan ekosistem lingkungan termasuk unsur hara dalam tanah.
Jati diri potensi negeri ini ada di medan agraris. Jika dunia pertanian menjadi fokus utama pembangunan di negeri ini, tak lama lagi Indonesia akan menjadi lumbung produk pangan dan nabati dunia. Generasi muda pun kembali tertarik terjun ke industri pertanian terpadu. Sayang, para elite politik yang menjadi pejabat maupun wakil rakyat memandang potensi pertanian secara “Jakartasentris”. Padahal pasar horizontal secara global mendorong pemerintah dan komponen masyarakat menemukan identitas produk yang khas, lalu digarap menjadi produk berkualitas lewat inovasi dan kreativitas di tengah pasar kompetisi.
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Anak-anak muda India mulai merumuskan masa depan mereka ada di pengembangan perangkat digital komputerisasi. Remaja-remaja Cina sejak kecil digembleng menjadi profesional dengan menekuni bakat dan hobi mereka. Entah di bidang olahraga, pendidikan akademis maupun usaha tertentu. Terbukti, prestasi Cina menjulang di bidang olahraga, ekspansi bisnis maupun penelitian ilmiah. Pusaran peradaban dunia pun mulai bergeser dari Washington dan New York menuju Beijing dan Hongkong, termasuk Singapura!
Tetangga terdekat di kawasan Asia Tenggara, Vietnam gencar mengembangkan produk-produk pertanian unggulan. Ternyata, bidang-bidang industri lain bertumbuh cepat. Hal ini menjadi sebuah catatan kecil, bahwa keseriusan sebuah negara menggarap “potensi unggulan” akan berdampak pada pengembangan industri di bidang lain.
Bangsa Indonesia sebenarnya tidak gagap mendeklarasikan potensi unggulannya. Apalagi kalau bukang dunia pertanian. Lahan pertanian masih terhampar luas dari Sabang sampai Merauke. Lahan tidur pun masih banyak dibiarkan terlantar di berbagai daerah hingga pelosok desa. Suasana iklim pun merupakan karunia Allah yang patut kita syukuri. Di negeri ini tidak ada musim salju atau diterpa badai angin topan yang selalu ganas memporak-porandakan negeri Amerika Serikat.
Mengapa bangsa Indonesia tertatih-tatih menapak tangga kemandirian di bidang pangan? Ada apa dengan dunia pertanian di negeri ini? Nyatanya, pemerintah terus menggulirkan dana bantuan maupun program pengembangan sub-sub sektor pertanian.
Visi menata grand desain pembangunan dunia pertanian Indonesia seperti sebuah jalan sunyi nan lengang. Penyair Cina, Lu Hsun pernah berkata, harapan itu seperti jalan setapak yang sepi, Tapi, ketika ada orang yang mulai melintasi dan membabat belukarnya, mulailah yang lain mengikuti.
Sangat sederhana untuk kembali merumuskan jalan sunyi menuju kemandirian pangan. Pertama, program pengembangan potensi produk pertanian tidak boleh seragam. Tugas pemerintah adalah mendukung produk unggulan yang sudah dikembangkan masyarakat di sebuah daerah. Bentuk dukungan itu disertai dengan perbaikan etos kinerja birokrat yang bermental wirausaha. Pejabat birokrat harus diberi target hasil dalam periode tertentu. Jika gagal harus mundur menjadi PNS biasa.
Kedua, pemerintah fokus mengembangkan jaringan pasar dengan investor dalam dan luar negeri. Petani akan serius menanam produk tertentu jika mereka tahu ada yang membeli produk mereka.
Ketiga, komponen pertanian saatnya meninggalkan praktek pertanian berbasis kimiawi dan pestisida. Trend pertanian organik bukan sedekar kampanye ambisius, tapi telah terbukti bahwa manajemen pengolahan dan distribusi pupuk kimia bersubsidi selama ini “mempermainkan” nasib petani; penyebab utama lahan pertanian yang subur menjadi tandus; menciptakan ketergantungan dalam setiap periode tanam; dan merusakkan ekosistem lingkungan termasuk unsur hara dalam tanah.
Jati diri potensi negeri ini ada di medan agraris. Jika dunia pertanian menjadi fokus utama pembangunan di negeri ini, tak lama lagi Indonesia akan menjadi lumbung produk pangan dan nabati dunia. Generasi muda pun kembali tertarik terjun ke industri pertanian terpadu. Sayang, para elite politik yang menjadi pejabat maupun wakil rakyat memandang potensi pertanian secara “Jakartasentris”. Padahal pasar horizontal secara global mendorong pemerintah dan komponen masyarakat menemukan identitas produk yang khas, lalu digarap menjadi produk berkualitas lewat inovasi dan kreativitas di tengah pasar kompetisi.
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar