Oleh: Yanuar Arifin*
Data Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) menyebutkan bahwa warga miskin Indonesia pada tahun 2008 bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92%). Data tersebut tentunya sangatlah memprihatinkan bagi kita. Pasalnya bangsa Indonesia kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya hidup dalam lembah kemiskinan.
Bulan Ramadhan kiranya layak untuk kita tafsirkan sebagai momentum koreksi dan perbaikan diri personal sekaligus komunal. Sejatinya ibadah puasa mengandung banyak pesan bagi manusia. Pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Secara syar’i, ritual puasa adalah menahan diri dari kebutuhan jasmani semisal makan, minum dan seks sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun alangkah naifnya, bila dari ibadah mulia ini yang kita dapatkan hanyalah rasa lapar. Dalam hal ini perlu banyak interpretasi baru sehingga banyak hal positif yang bakal kita peroleh nantinya.
Di bulan suci Ramadhan, jasmani kita dilatih untuk bisa melawan keinginan nafsu hewani pada diri kita. Al-Ghozali mengkiaskan hal ini dengan perumpamaan yang cukup rasional. Seumpama seekor hewan tunggangan yang liar, maka perlu baginya untuk dikurangi jatah makan dan minumnya agar keliarannya bisa teratasi. Keliaran tersebut juga berlaku pada nafsu manusia. Agar nafsu diri manusia tidak bertambah liar, maka Tuhan memberi solusi berupa puasa. Dengan demikian, pesan ketuhanan dari ibadah puasa adalah tirakat manusia untuk meniru sifat Tuhannya yang tidak makan dan minum. Selain itu, manusia juga diajari sikap disiplin, jujur dan bertanggung jawab atas dirinya. Lebih dari itu, terdapat pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan oleh ritus ibadah ini (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an).
Seseorang yang berpuasa secara tidak langsung telah diajarkan agar bisa bersikap empati sekaligus peduli terhadap orang lain. Inilah relevansi yang seharusnya menjadi spirit utama dilaksanakannya ibadah puasa. Sebagai misal, dengan menjalankan ibadah puasa, kita, para pejabat atau para wakil rakyat diharapkan lebih peka atas problem rakyat kecil. Salah satu wujud kepedulian itu adalah dengan menyantuni mereka. Namun ironisnya, hingga kini masih banyak dari kita yang terjebak pada makna puasa sebagai ritus kesalehan individu. Akibatnya, kita merasa tak lagi punya tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib orang lain dan akhirnya kita sibuk mengurusi isi perut sendiri.
Tanggung Jawab Sosial
Selama ini kita tidak dapat mengelak bila pesan kemanusiaan dari ritus ibadah puasa belum sepenuhnya kita transformasikan dalam kehidupan keseharian. Wujud tanggung jawab sosial seakan menjadi perkara yang teramat sulit untuk dilakukan. Kitapun tenggelam dengan ritus ibadah yang sifatnya ritualistik semata. Menjalankan puasa hanya sekadar menahan rasa haus dan lapar serta menunggu kapan datangnya waktu berbuka. Bila makna puasa dipahami dengan baik, puasa pada hakikinya akan menjadi ritus kesalehan sosial bagi pelakunya.
Sebenarnya ritus kesalehan sosial ini adalah sisi lain dari ritus kesalehan individu. Seperti halnya dua sisi mata uang logam yang sama. Seseorang yang sebelumnya belajar bertanggung jawab atas diri individu, maka ia juga harus memiliki tanggung jawab sosial yang baik. Berpuasa yang implementasinya adalah “kelaparan”, menurut Moeslim Abdurrahman adalah ungkapan sosial yang paling tragis dari harkat dan harga diri kemanusiaan. Ini berarti bahwa manusia yang pernah merasakan lapar maka akan secara mudah tergugah rasa kemanusiaannya. Dengan berpuasa kita akan bisa berempati pada orang lain, terlebih terhadap mereka yang saban waktu, saban hari, minggu bahkan saban tahun sering merasakan kelaparan.
Pada saat berpuasa kita selalu ditekankan agar meningkatkan amal ibadah kita, semisal memperbanyak bersodaqoh, berinfak atau menyantuni anak yatim piatu. Semua itu kita lakukan agar ibadah puasa menjadi ritual ataupun pengalaman yang paling berkesan sekaligus bermakna bagi diri kita. Kita pun mengetahui bahwa di bulan Ramadhan ini seluruh umat Islam juga diperintahkan mengeluarkan zakat. Perintah tersebut tentunya juga mengandung pesan yang sama dengan ibadah puasa, baik yang sifatnya ritual maupun yang sosial. Dengan menjalankan perintah tersebut, manusia diharapkan terlahir sebagai pribadi yang unggul sekaligus mobilisator/pemakarsa sosial yang hebat.
Akhirnya, kehadiran bulan Ramadhan harus kita jadikan sebagai momentum perbaikan dengan wujud mengeluarkan rakyat kecil dari beban kemiskinannya. Hal ini hanya bisa kita wujudkan bila seluruh elemen kebangsaan, dari pemerintah hingga masyarakat berkenan bahu membahu menahan diri dari keinginan pribadinya yang acapkali merugikan kepentingan bersama. Marhaban Ya Ramadhan.
*) Pemerhati Budaya, Sosial Politik dan Keagamaan pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Data Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) menyebutkan bahwa warga miskin Indonesia pada tahun 2008 bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92%). Data tersebut tentunya sangatlah memprihatinkan bagi kita. Pasalnya bangsa Indonesia kaya sumber daya alam, tetapi rakyatnya hidup dalam lembah kemiskinan.
Bulan Ramadhan kiranya layak untuk kita tafsirkan sebagai momentum koreksi dan perbaikan diri personal sekaligus komunal. Sejatinya ibadah puasa mengandung banyak pesan bagi manusia. Pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Secara syar’i, ritual puasa adalah menahan diri dari kebutuhan jasmani semisal makan, minum dan seks sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun alangkah naifnya, bila dari ibadah mulia ini yang kita dapatkan hanyalah rasa lapar. Dalam hal ini perlu banyak interpretasi baru sehingga banyak hal positif yang bakal kita peroleh nantinya.
Di bulan suci Ramadhan, jasmani kita dilatih untuk bisa melawan keinginan nafsu hewani pada diri kita. Al-Ghozali mengkiaskan hal ini dengan perumpamaan yang cukup rasional. Seumpama seekor hewan tunggangan yang liar, maka perlu baginya untuk dikurangi jatah makan dan minumnya agar keliarannya bisa teratasi. Keliaran tersebut juga berlaku pada nafsu manusia. Agar nafsu diri manusia tidak bertambah liar, maka Tuhan memberi solusi berupa puasa. Dengan demikian, pesan ketuhanan dari ibadah puasa adalah tirakat manusia untuk meniru sifat Tuhannya yang tidak makan dan minum. Selain itu, manusia juga diajari sikap disiplin, jujur dan bertanggung jawab atas dirinya. Lebih dari itu, terdapat pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan oleh ritus ibadah ini (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an).
Seseorang yang berpuasa secara tidak langsung telah diajarkan agar bisa bersikap empati sekaligus peduli terhadap orang lain. Inilah relevansi yang seharusnya menjadi spirit utama dilaksanakannya ibadah puasa. Sebagai misal, dengan menjalankan ibadah puasa, kita, para pejabat atau para wakil rakyat diharapkan lebih peka atas problem rakyat kecil. Salah satu wujud kepedulian itu adalah dengan menyantuni mereka. Namun ironisnya, hingga kini masih banyak dari kita yang terjebak pada makna puasa sebagai ritus kesalehan individu. Akibatnya, kita merasa tak lagi punya tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib orang lain dan akhirnya kita sibuk mengurusi isi perut sendiri.
Tanggung Jawab Sosial
Selama ini kita tidak dapat mengelak bila pesan kemanusiaan dari ritus ibadah puasa belum sepenuhnya kita transformasikan dalam kehidupan keseharian. Wujud tanggung jawab sosial seakan menjadi perkara yang teramat sulit untuk dilakukan. Kitapun tenggelam dengan ritus ibadah yang sifatnya ritualistik semata. Menjalankan puasa hanya sekadar menahan rasa haus dan lapar serta menunggu kapan datangnya waktu berbuka. Bila makna puasa dipahami dengan baik, puasa pada hakikinya akan menjadi ritus kesalehan sosial bagi pelakunya.
Sebenarnya ritus kesalehan sosial ini adalah sisi lain dari ritus kesalehan individu. Seperti halnya dua sisi mata uang logam yang sama. Seseorang yang sebelumnya belajar bertanggung jawab atas diri individu, maka ia juga harus memiliki tanggung jawab sosial yang baik. Berpuasa yang implementasinya adalah “kelaparan”, menurut Moeslim Abdurrahman adalah ungkapan sosial yang paling tragis dari harkat dan harga diri kemanusiaan. Ini berarti bahwa manusia yang pernah merasakan lapar maka akan secara mudah tergugah rasa kemanusiaannya. Dengan berpuasa kita akan bisa berempati pada orang lain, terlebih terhadap mereka yang saban waktu, saban hari, minggu bahkan saban tahun sering merasakan kelaparan.
Pada saat berpuasa kita selalu ditekankan agar meningkatkan amal ibadah kita, semisal memperbanyak bersodaqoh, berinfak atau menyantuni anak yatim piatu. Semua itu kita lakukan agar ibadah puasa menjadi ritual ataupun pengalaman yang paling berkesan sekaligus bermakna bagi diri kita. Kita pun mengetahui bahwa di bulan Ramadhan ini seluruh umat Islam juga diperintahkan mengeluarkan zakat. Perintah tersebut tentunya juga mengandung pesan yang sama dengan ibadah puasa, baik yang sifatnya ritual maupun yang sosial. Dengan menjalankan perintah tersebut, manusia diharapkan terlahir sebagai pribadi yang unggul sekaligus mobilisator/pemakarsa sosial yang hebat.
Akhirnya, kehadiran bulan Ramadhan harus kita jadikan sebagai momentum perbaikan dengan wujud mengeluarkan rakyat kecil dari beban kemiskinannya. Hal ini hanya bisa kita wujudkan bila seluruh elemen kebangsaan, dari pemerintah hingga masyarakat berkenan bahu membahu menahan diri dari keinginan pribadinya yang acapkali merugikan kepentingan bersama. Marhaban Ya Ramadhan.
*) Pemerhati Budaya, Sosial Politik dan Keagamaan pada Hasyim Asy’ari Institute Yogyakarta.
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar