Oleh: Pak Oles
Untung adalah nilai positif dari selisih pendapatan dikurangi pengeluaran. Setiap usaha bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi tidak semua usaha bisa mendapatkannya. Diperlukan usaha yang keras, keahlian dan pengalaman untuk bisa meraih keuntungan. Jika tidak, maka bukan untung yang didapatkan, tetapi buntung, alias rugi sampai habis modal.
Keuntungan ada dua macam, yaitu keuntungan material dan spiritual. Keuntungan material bisa dilihat barangnya dan dihitung rupiahnya. Keuntungan spiritual tidak bisa dilihat barang dan duitnya, tapi dapat dirasakan berupa kenyamanan, kenikmatan dan kepuasan batin. Keuntungan material dan spiritual ibarat dua sisi mata uang yang harus diambil keduanya. Kadang-kadang kita berusaha hanya mengutamakan keuntungan material dengan mengesampingkan keuntungan spiritual. Hasilnya tentu bisa ditebak, yaitu berupa kesepian, ketidakpuasan, hilangnya harga diri dan perasaan tidak berguna. Contohnya: bagaimana perasaan kita jika kita mendapatkan untung dari usaha dengan mengorbankan nyawa orang lain, menyebabkan orang lain sakit atau mengalami kecelakaan; bagaimana perasaan kita jika kita mendapatkan untung besar, tetapi nama baik kita tercemar. Dalam hal ini kita merasakan bahwa ada nilai keuntungan spiritual yang hilang, yaitu merasa bersalah dan berdosa karena menghilangkan nyawa orang lain, serta merasa dikucilkan karena nama kita berbau busuk. Yang paling utama dalam mendapatkan keuntungan adalah bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan material dan spiritual. Untuk mendapatkan keduanya, maka dahulukan keuntungan spiritual, selanjutnya keuntungan material mengikutinya.
Dalam dunia usaha, bangsa kita termasuk bangsa yang tidak dipercaya oleh bangsanya sendiri dan juga oleh bangsa lain. Kenapa demikian? Mungkin salah satu jawabannya yang tepat, adalah karena terlalu banyak penipu bergentayangan dan terlalu banyak korban penipuan bergelimpangan, yang mengakibatkan keraguan dan sikap ekstra hati-hati untuk menangkal penipuan harus dilakukan. Barangsiapa yang lengah, maka siap-siap saja kena kemplang. Artinya, kalau keraguan dan ketidakpercayaan selalu mewarnai transaksi bisnis, maka pastilah bisnisnya kandas di tengah jalan, karena si penipu lari, dan yang ditipu bangkrut. Tentu saja biaya keraguan dan ketidakpercayaan jika dihitung secara materi menjadi sangat tinggi, karena bisa menimbulkan biaya siluman yang muncul tiba-tiba jika ada masalah, atau bisa juga menjadi usaha yang gagal total, jika masalahnya sangat besar dan tidak dapat ditanggulangi.
Contohnya: suatu kawasan perluasan kota sudah ditetapkan dalam bentuk perencanaan tata kota. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh calo tanah, investor atau pejabat yang ingin bermain, yaitu mengapling tanah terlebih dahulu dengan harga murah, kemudian menjualnya dengan harga tinggi. Semakin lama proyek tersebut terlaksana, maka harga tanah akan semakin naik, karena sudah terjadi transaksi tanah yang sama berkali-kali. Dari segi etika bisnis, jelas bisnis tersebut sudah tidak ada etikanya, karena ingin mendapatkan keuntungan dari informasi yang kacau. Bagaimana kalau proyek perluasan kota itu batal karena harga tanah yang tidak terjangkau? Tentu saja pembeli tanah yang terakhir akan rugi berat. Jika proyek perluasan kota itu dilaksanakan, tentu biayanya menjadi sangat besar yang menjadi beban masyarakat. Dalam kasus yang ekstrim, ada bupati atau gubernur yang bermain sendiri menjadi calo tanah dan sangat terpaksa berurusan dengan jaksa dan pengadilan karena kasusnya sudah tidak bisa ditutupi lagi.
Pernahkah anda mendengar berita tentang pabrik obat yang menjual obat palsu; obat dalam kemasan hanya mengandung tepung; pabrik jamu untuk stamina yang di dalam kemasannya mengandung obat kuat yang pada akhirnya bisa merusak ginjal orang; tahu dan bakso yang diawetkan dengan formalin; orang mengoplos BBM dengan cairan tertentu agar terlihat seperti solar dan bensin asli; orang menjual gas di dalam tabung yang dikentutkan terlebih dahulu; truk pasir yang “berak” di jalan; truk BBM yang “kencing” di jalan; daging limbah hotel yang sudah busuk dan diolah dengan formalin dan bumbu menjadi empal dan dendeng kemudian dijual. Kalau anda rajin nonton TV, berita seperti itu sudah menjadi menu mingguan. Inti beritanya adalah penipuan di dalam bisnis dan usaha. Masalahnya adalah si penipu tidak pernah bertobat merugikan orang lain; melalui berita, si penipu menularkan ilmunya kepada orang lain untuk bisa diterapkan secara bebas; polisi dan pemerintah selalu kalah gesit menghadang langkah penipu, karena korban selalu lebih dulu muncul daripada tindakan pencegahan; masyarakat yang ditipu selalu kecolongan sakit gigi sambil berkata “bangsat dan sialan lu!;” hukuman kepada si penipu juga tidak terlalu berat, sehingga si penipu ketagihan mengulanginya.
Saya mencoba merenung untuk mencari jawaban dari masalah tipu-menipu di dalam bisnis, yang mungkin sudah menjadi semacam peringatan merek dagang bagi pengusaha bangsa lain jika berbisnis di negara kita: “hati-hati bisnis di Indonesia, banyak penipunya!” Kenapa kita menjadi masyarakat yang susah dipercayai oleh orang lain , dan juga susah mempercayai orang lain? Jawabannya adalah karena kita kurang bertakwa. Takwa artinya mengagungkan Tuhan dan menjauhi larangannya. Takwa artinya memiliki iman yang benar, merealisasikan iman di hati dengan perkataan dan perbuatan, menjauhkan diri dari kekufuran dan perbuatan hina. Salah satu sifat orang yang bertakwa adalah memiliki kejujuran (shidiq). Kalau jujur saja tidak bisa, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa diri kita bertakwa, karena salah satu syarat bertakwa sudah tidak terpenuhi.
Mungkin takwa yang kita lakukan baru kulitnya saja. Baru mencoba jujur kepada Tuhan. Karena kita tahu Tuhan maha pemaaf dan pengasih. Sehingga walaupun kita tidak jujur kepadaNya, maka pastilah dimaafkan. Kita banyak lupa tentang pentingnya jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Kita juga sering lupa bahwa praktek nyata kejujuran kepada diri sendiri dan orang lain merupakan bukti yang kita tunjukkan untuk jujur kepada Tuhan.
Dalam bisnis diperlukan kreativitas. Kreativitas itu penting untuk menghasilkan produk baru dan peluang baru untuk kehidupan baru. Menipu bukanlah bentuk kreatif. Menipu tidak menghidupkan usaha, tetapi mematikannya. Termasuk mematikan dirinya sendiri dan mematikan orang lain. Orang tidak jujur pasti masuk kubur. Bukan sebaliknya!
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Untung adalah nilai positif dari selisih pendapatan dikurangi pengeluaran. Setiap usaha bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Tetapi tidak semua usaha bisa mendapatkannya. Diperlukan usaha yang keras, keahlian dan pengalaman untuk bisa meraih keuntungan. Jika tidak, maka bukan untung yang didapatkan, tetapi buntung, alias rugi sampai habis modal.
Keuntungan ada dua macam, yaitu keuntungan material dan spiritual. Keuntungan material bisa dilihat barangnya dan dihitung rupiahnya. Keuntungan spiritual tidak bisa dilihat barang dan duitnya, tapi dapat dirasakan berupa kenyamanan, kenikmatan dan kepuasan batin. Keuntungan material dan spiritual ibarat dua sisi mata uang yang harus diambil keduanya. Kadang-kadang kita berusaha hanya mengutamakan keuntungan material dengan mengesampingkan keuntungan spiritual. Hasilnya tentu bisa ditebak, yaitu berupa kesepian, ketidakpuasan, hilangnya harga diri dan perasaan tidak berguna. Contohnya: bagaimana perasaan kita jika kita mendapatkan untung dari usaha dengan mengorbankan nyawa orang lain, menyebabkan orang lain sakit atau mengalami kecelakaan; bagaimana perasaan kita jika kita mendapatkan untung besar, tetapi nama baik kita tercemar. Dalam hal ini kita merasakan bahwa ada nilai keuntungan spiritual yang hilang, yaitu merasa bersalah dan berdosa karena menghilangkan nyawa orang lain, serta merasa dikucilkan karena nama kita berbau busuk. Yang paling utama dalam mendapatkan keuntungan adalah bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan material dan spiritual. Untuk mendapatkan keduanya, maka dahulukan keuntungan spiritual, selanjutnya keuntungan material mengikutinya.
Dalam dunia usaha, bangsa kita termasuk bangsa yang tidak dipercaya oleh bangsanya sendiri dan juga oleh bangsa lain. Kenapa demikian? Mungkin salah satu jawabannya yang tepat, adalah karena terlalu banyak penipu bergentayangan dan terlalu banyak korban penipuan bergelimpangan, yang mengakibatkan keraguan dan sikap ekstra hati-hati untuk menangkal penipuan harus dilakukan. Barangsiapa yang lengah, maka siap-siap saja kena kemplang. Artinya, kalau keraguan dan ketidakpercayaan selalu mewarnai transaksi bisnis, maka pastilah bisnisnya kandas di tengah jalan, karena si penipu lari, dan yang ditipu bangkrut. Tentu saja biaya keraguan dan ketidakpercayaan jika dihitung secara materi menjadi sangat tinggi, karena bisa menimbulkan biaya siluman yang muncul tiba-tiba jika ada masalah, atau bisa juga menjadi usaha yang gagal total, jika masalahnya sangat besar dan tidak dapat ditanggulangi.
Contohnya: suatu kawasan perluasan kota sudah ditetapkan dalam bentuk perencanaan tata kota. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh calo tanah, investor atau pejabat yang ingin bermain, yaitu mengapling tanah terlebih dahulu dengan harga murah, kemudian menjualnya dengan harga tinggi. Semakin lama proyek tersebut terlaksana, maka harga tanah akan semakin naik, karena sudah terjadi transaksi tanah yang sama berkali-kali. Dari segi etika bisnis, jelas bisnis tersebut sudah tidak ada etikanya, karena ingin mendapatkan keuntungan dari informasi yang kacau. Bagaimana kalau proyek perluasan kota itu batal karena harga tanah yang tidak terjangkau? Tentu saja pembeli tanah yang terakhir akan rugi berat. Jika proyek perluasan kota itu dilaksanakan, tentu biayanya menjadi sangat besar yang menjadi beban masyarakat. Dalam kasus yang ekstrim, ada bupati atau gubernur yang bermain sendiri menjadi calo tanah dan sangat terpaksa berurusan dengan jaksa dan pengadilan karena kasusnya sudah tidak bisa ditutupi lagi.
Pernahkah anda mendengar berita tentang pabrik obat yang menjual obat palsu; obat dalam kemasan hanya mengandung tepung; pabrik jamu untuk stamina yang di dalam kemasannya mengandung obat kuat yang pada akhirnya bisa merusak ginjal orang; tahu dan bakso yang diawetkan dengan formalin; orang mengoplos BBM dengan cairan tertentu agar terlihat seperti solar dan bensin asli; orang menjual gas di dalam tabung yang dikentutkan terlebih dahulu; truk pasir yang “berak” di jalan; truk BBM yang “kencing” di jalan; daging limbah hotel yang sudah busuk dan diolah dengan formalin dan bumbu menjadi empal dan dendeng kemudian dijual. Kalau anda rajin nonton TV, berita seperti itu sudah menjadi menu mingguan. Inti beritanya adalah penipuan di dalam bisnis dan usaha. Masalahnya adalah si penipu tidak pernah bertobat merugikan orang lain; melalui berita, si penipu menularkan ilmunya kepada orang lain untuk bisa diterapkan secara bebas; polisi dan pemerintah selalu kalah gesit menghadang langkah penipu, karena korban selalu lebih dulu muncul daripada tindakan pencegahan; masyarakat yang ditipu selalu kecolongan sakit gigi sambil berkata “bangsat dan sialan lu!;” hukuman kepada si penipu juga tidak terlalu berat, sehingga si penipu ketagihan mengulanginya.
Saya mencoba merenung untuk mencari jawaban dari masalah tipu-menipu di dalam bisnis, yang mungkin sudah menjadi semacam peringatan merek dagang bagi pengusaha bangsa lain jika berbisnis di negara kita: “hati-hati bisnis di Indonesia, banyak penipunya!” Kenapa kita menjadi masyarakat yang susah dipercayai oleh orang lain , dan juga susah mempercayai orang lain? Jawabannya adalah karena kita kurang bertakwa. Takwa artinya mengagungkan Tuhan dan menjauhi larangannya. Takwa artinya memiliki iman yang benar, merealisasikan iman di hati dengan perkataan dan perbuatan, menjauhkan diri dari kekufuran dan perbuatan hina. Salah satu sifat orang yang bertakwa adalah memiliki kejujuran (shidiq). Kalau jujur saja tidak bisa, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa diri kita bertakwa, karena salah satu syarat bertakwa sudah tidak terpenuhi.
Mungkin takwa yang kita lakukan baru kulitnya saja. Baru mencoba jujur kepada Tuhan. Karena kita tahu Tuhan maha pemaaf dan pengasih. Sehingga walaupun kita tidak jujur kepadaNya, maka pastilah dimaafkan. Kita banyak lupa tentang pentingnya jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Kita juga sering lupa bahwa praktek nyata kejujuran kepada diri sendiri dan orang lain merupakan bukti yang kita tunjukkan untuk jujur kepada Tuhan.
Dalam bisnis diperlukan kreativitas. Kreativitas itu penting untuk menghasilkan produk baru dan peluang baru untuk kehidupan baru. Menipu bukanlah bentuk kreatif. Menipu tidak menghidupkan usaha, tetapi mematikannya. Termasuk mematikan dirinya sendiri dan mematikan orang lain. Orang tidak jujur pasti masuk kubur. Bukan sebaliknya!
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar