Oleh: Edy Supriatna Sjafei
Pimpinan Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Tengah (Jateng), H Ahmad Syukri Zarkasih mengingatkan kepada seluruh umat Islam agar menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sungguh-sungguh, penuh ketakwaan karena ibadah ini memiliki mukzizat kebaikan. "Jangan ragu. Percayalah karena Allah akan memberikan kelebihan bagi umat Muslim yang menjalankan puasa. Laksanakan ibadah lainnya seperti sedekah, membayar fitrah dan melaksanakan salat subuh berjamaah serta tidak meninggalkan tarawih," kata Zarkasih melalui telepon kepada Antara.
Ulama dari Sumatra Barat (Sumbar), Buya Masoed Abidin menyatakan, puasa mengandung hikmah sebagai sarana membangun sifat takwa, karena paling tepat menahan syahwat, pandangan, meredam amarah dan menghapus dendam. Puasa menurut Abidin, bermakna imsak, --menahan diri untuk tidak makan, tidak minum dan tidak bersenggama suami isteri pada siang hari. Semua itu dilakukan umat Islam, hanya mengharap ridha Allah SWT. Ibnu Umar yang meriwayatkan sabda Rasullulah SAW menyebut, Islam dibangun di atas syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa Ramadan dan berhaji.
Puasa sebagai ibadah paling dibenci setan, dan yang enggan berpuasa tentu sahabat setan karena puasa adalah bentuk ketaatan pada Allah SWT. Makna besar puasa selain melatih solidaritas dan peduli pada orang miskin, juga menyatukan ibadah umat Islam di seluruh dunia, dengan serentak berpuasa. "Ibadah ini juga menyehatkan tubuh karena menghilangkan senyawa-senyawa negatif dalam tubuh yang berpuasa, serta menguatkan jiwa dan fisik, apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak riya," kata Abidin.
Dalam berbagai literatur Islam, peribadatan selalu ditinjau dari segi bahasa (etimologi) dan syari (terminologi). Dalam bahasa Arab, shaum (puasa) berasal dari kata sooma-yasuumu-sauman. Secara etimologi artinya menahan diri dan mencegah dari sesuatu. Jika dikatakan puasa dari bicara, artinya menahan diri untuk tidak berbicara. Seperti firman Allah dalam surat Maryam ayat 26, "Sesungguhnya aku bernadzar kepada Allah untuk berpuasa (menahan diri), maka aku tidak akan berbicara kepada manusia". Di sini, puasa berarti menahan diri dari semua jenis makanan ataupun minuman serta hawa nafsu di waktu siang, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan niat ibadah kepada Allah semata.
Sebagian ahli fiqh (fuqaha) mendefinisikan, puasa adalah menahan diri dari dua syahwat (nafsu), yaitu syahwat perut & syahwat kemaluan, dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga (perut) dari semua jenis makanan & minuman serta obat-obatan, baik yang bermanfaat ataupun yang berbahaya, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya. Ramadan berasal dari kata ramadha - yarmidhu (yarmudhu) yang berarti sangat panas sekali.
Imam Bakhawi dalam kitabnya menyebut, "Adapun yang shahih, sesungguhnya ramadan itu nama bulan, diambil dari kata "ar-ramdha" yang artinya batu yang panas membara karena sinar matahari, dan mereka (kaum muslimin) pada waktu itu berpuasa dalam keadaan musim panas terik. Dan biasanya orang-orang Arab jika ingin memberi nama bulan selalu sesuai dengan keadaannya pada waktu itu. Dinamakan ramadan karena bisa membakar dan menghapuskan dosa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau masyarakat menghormati kemuliaan Ramadan dengan bersama-sama membangun kondisi yang kondusif bagi umat Islam untuk dapat menunaikan ibadah secara tenang dan khusyuk serta menjadikan bulan suci ini sebagai bulan pengendalian diri. Sekretaris Umum MUI Pusat Drs HM Ichwan Sam, didampingi Ketua Komisi Infokom MUI Said Budairy, dalam menyongsong bulan Ramadhan 1429 Hijriyah, di Jakarta, Jumat (29/8) menyebut, "Kembangkan sikap toleransi dalam menjalankan agama, tidak terjebak pada pertentangan dan perselisihan".
MUI juga meminta pemerintah untuk menutup dan membatasi semua tempat hiburan, menertibkan rumah makan, penayangan acara televisi yang menampilkan pornografi dan pornoaksi, misteri, ramalan-ramalan, kekerasan dan lawakan konyol, berpakaian yang tidak sesuai dengan akhlakul karimah. Kepada para elit politik MUI mengimbau agar menjadikan Ramadan sebagai bulan muhasabah bagi kehendak yang hanif untuk kemaslahatan bangsa dan demi terhindar dari musibah bahaya politik.
Para politis juga harus mengedepankan kepentingan bangsa dan negara serta bersama-sama menjaga kemuliaan Ramadan dengan menghindari kegiatan kampanye yang diwarnai sikap, penampilan, ucapan dan perbuatan yang tidak terpuji. Kepada organisasi dan lembaga pendidikan untuk mengisi Ramadan dengan lebih memberi makna pada pengayaan nilai dan khazanah Ramadan dengan program keumatan untuk keluarga, remaja dan anak-anak seperti tadarus Al Quran, pesantren kilat dan kursus keagamaan. (Anspek)
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
Pimpinan Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Tengah (Jateng), H Ahmad Syukri Zarkasih mengingatkan kepada seluruh umat Islam agar menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sungguh-sungguh, penuh ketakwaan karena ibadah ini memiliki mukzizat kebaikan. "Jangan ragu. Percayalah karena Allah akan memberikan kelebihan bagi umat Muslim yang menjalankan puasa. Laksanakan ibadah lainnya seperti sedekah, membayar fitrah dan melaksanakan salat subuh berjamaah serta tidak meninggalkan tarawih," kata Zarkasih melalui telepon kepada Antara.
Ulama dari Sumatra Barat (Sumbar), Buya Masoed Abidin menyatakan, puasa mengandung hikmah sebagai sarana membangun sifat takwa, karena paling tepat menahan syahwat, pandangan, meredam amarah dan menghapus dendam. Puasa menurut Abidin, bermakna imsak, --menahan diri untuk tidak makan, tidak minum dan tidak bersenggama suami isteri pada siang hari. Semua itu dilakukan umat Islam, hanya mengharap ridha Allah SWT. Ibnu Umar yang meriwayatkan sabda Rasullulah SAW menyebut, Islam dibangun di atas syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, puasa Ramadan dan berhaji.
Puasa sebagai ibadah paling dibenci setan, dan yang enggan berpuasa tentu sahabat setan karena puasa adalah bentuk ketaatan pada Allah SWT. Makna besar puasa selain melatih solidaritas dan peduli pada orang miskin, juga menyatukan ibadah umat Islam di seluruh dunia, dengan serentak berpuasa. "Ibadah ini juga menyehatkan tubuh karena menghilangkan senyawa-senyawa negatif dalam tubuh yang berpuasa, serta menguatkan jiwa dan fisik, apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak riya," kata Abidin.
Dalam berbagai literatur Islam, peribadatan selalu ditinjau dari segi bahasa (etimologi) dan syari (terminologi). Dalam bahasa Arab, shaum (puasa) berasal dari kata sooma-yasuumu-sauman. Secara etimologi artinya menahan diri dan mencegah dari sesuatu. Jika dikatakan puasa dari bicara, artinya menahan diri untuk tidak berbicara. Seperti firman Allah dalam surat Maryam ayat 26, "Sesungguhnya aku bernadzar kepada Allah untuk berpuasa (menahan diri), maka aku tidak akan berbicara kepada manusia". Di sini, puasa berarti menahan diri dari semua jenis makanan ataupun minuman serta hawa nafsu di waktu siang, dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan niat ibadah kepada Allah semata.
Sebagian ahli fiqh (fuqaha) mendefinisikan, puasa adalah menahan diri dari dua syahwat (nafsu), yaitu syahwat perut & syahwat kemaluan, dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga (perut) dari semua jenis makanan & minuman serta obat-obatan, baik yang bermanfaat ataupun yang berbahaya, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya. Ramadan berasal dari kata ramadha - yarmidhu (yarmudhu) yang berarti sangat panas sekali.
Imam Bakhawi dalam kitabnya menyebut, "Adapun yang shahih, sesungguhnya ramadan itu nama bulan, diambil dari kata "ar-ramdha" yang artinya batu yang panas membara karena sinar matahari, dan mereka (kaum muslimin) pada waktu itu berpuasa dalam keadaan musim panas terik. Dan biasanya orang-orang Arab jika ingin memberi nama bulan selalu sesuai dengan keadaannya pada waktu itu. Dinamakan ramadan karena bisa membakar dan menghapuskan dosa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau masyarakat menghormati kemuliaan Ramadan dengan bersama-sama membangun kondisi yang kondusif bagi umat Islam untuk dapat menunaikan ibadah secara tenang dan khusyuk serta menjadikan bulan suci ini sebagai bulan pengendalian diri. Sekretaris Umum MUI Pusat Drs HM Ichwan Sam, didampingi Ketua Komisi Infokom MUI Said Budairy, dalam menyongsong bulan Ramadhan 1429 Hijriyah, di Jakarta, Jumat (29/8) menyebut, "Kembangkan sikap toleransi dalam menjalankan agama, tidak terjebak pada pertentangan dan perselisihan".
MUI juga meminta pemerintah untuk menutup dan membatasi semua tempat hiburan, menertibkan rumah makan, penayangan acara televisi yang menampilkan pornografi dan pornoaksi, misteri, ramalan-ramalan, kekerasan dan lawakan konyol, berpakaian yang tidak sesuai dengan akhlakul karimah. Kepada para elit politik MUI mengimbau agar menjadikan Ramadan sebagai bulan muhasabah bagi kehendak yang hanif untuk kemaslahatan bangsa dan demi terhindar dari musibah bahaya politik.
Para politis juga harus mengedepankan kepentingan bangsa dan negara serta bersama-sama menjaga kemuliaan Ramadan dengan menghindari kegiatan kampanye yang diwarnai sikap, penampilan, ucapan dan perbuatan yang tidak terpuji. Kepada organisasi dan lembaga pendidikan untuk mengisi Ramadan dengan lebih memberi makna pada pengayaan nilai dan khazanah Ramadan dengan program keumatan untuk keluarga, remaja dan anak-anak seperti tadarus Al Quran, pesantren kilat dan kursus keagamaan. (Anspek)
KPO/EDISI 160/16-30 SEPTEMBER 2008
0 komentar:
Posting Komentar