Home » » Bangkrut

Bangkrut

Oleh: Pak Oles
Kata bangkrut memang pemali diucapkan karena bisa-bisa jadi kenyataan. Tapi itulah potret sekarang, di awal dekade abad 21. Di berbagai belahan dunia, banyak perusahaan yang didera bangkrut. Di Amerika, sejak krisis keuangan September 2008, setiap bulan hampir 100.000 perusahaan menyatakan diri bangkrut. Perusahaan yang bangkrut bisa hidup lagi beberapa tahun setelah dibebaskan atau diringankan dari berbagai kewajiban. Atau dijual dan atau dinyatakan bangkrut total tidak bisa dihidupkan lagi.
Bangkrut itu ibarat mati. Ada mati suri yang kemungkinan bisa hidup lagi, ada mati beneran yang benar-benar mati. Perusahaan yang menyatakan diri bangkrut di Indonesia berarti mati beneran. Siapa yang menyangka akan terjadi banyak perusahaan bangkrut di Amerika? Mungkin sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Penampakan ibarat gunung es, --tampak kecil di bagian atas, tetapi sangat besar di bagian dasarnya. Atau mungkin seperti tsunami, yang muncul secara tiba-tiba. Tapi kita harus ingat, segala akibat pasti ada sebab. Mungkin saja akibatnya sangat nyata, tapi penyebabnya tidak kasat mata.
Perusahaan-perusahaan besar di Amerika yang menyatakan diri bangkrut cukup membuat kita tercekat. Dari mulut terkunci, hati kita bertanya “Bagaimana mungkin? Koq bisa begitu? Lho…?’’ Seperti mimpi. Memang demikian adanya. Itulah fakta-fakta.
Dalam kondisi keuangan yang kacau, apapun bisa terjadi. Kalau perusahaan besar saja bisa bangkrut, apalagi perusahaan kecil. Tapi jangan salah, dalam banyak kasus, perusahaan kecil lebih kuat bertahan daripada perusahaan besar karena perusahaan kecil mudah menyesuaikan diri dan hidupnya sudah terbiasa minim. Perusahaan besar sudah terbiasa hidup mewah dan mahal, lamban dan kurang peka perubahan.
Orang atau keluarga bisa juga bangkrut. Mungkin tidak tersiar media masa. Ciri-ciri orang yang bangkrut adalah hutangnya jauh lebih banyak dari aset. Dia hidup dari hutang, bukan dari produktivitas. Pertanyaannya, kenapa berhutang besar dan kenapa tidak produktif? Jawabannya, karena pola hidup dan gaya hidup. Pola hidup adalah kebiasaan hidup untuk berhutang. Gaya hidup adalah penampilan, pencitraan dan tingkah laku untuk kehidupan sehari-hari. Pola hidup berhutang dan dengan berhutang untuk memenuhi gaya hidup mewah menyebabkan kebangkrutan.
Masyarakat Amerika telah menjadi contoh nyata kebangkrutan di abad 21 ini. Masyarakat dibiasakan menghutang dan menghutang untuk meningkatkan pasar. Justru orang atau perusahaan akan dipercaya bank jika memiliki hutang banyak. Mereka yang tidak memiliki hutang berarti tidak konsumtif. Karena tidak konsumtif, dianggap tidak produktif. Memang hutang itu ada baiknya untuk mempercepat pertumbuhan, tetapi jika terlalu banyak, apalagi melebihi asset, dengan kemampuan bayar yang rendah, hutang justru berbalik jadi bahaya. Dapat membangkrutkan.
Kenyataannya terbalik. Masyarakat harus produktif terlebih dahulu, baru bisa menggunakan hasil produksi untuk konsumsi. Masyarakat yang dipaksa hidup konsumtif, lama kelamaan ketagihan Dan sakit jiwa untuk terus konsumsi, --membeli produk-produk yang tidak dibutuhkan. Mereka konsumsi apa yang dilihat, membeli apa yang orang lain beli. Jadi semacam digerogoti virus kehilangan jati diri karena tidak benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya yang diinginkan. Lama-kelamaan uangnya habis dan minus terus, karena digunakan melebihi kemampuan.
Perusahaan-perusahaan juga bisa bangkrut karena pola hidup dan gaya hidup. Salah investasi, salah kalkulasi, menanggung risiko tinggi ibarat judi, adalah pola hidup. Hidup lebih besar pasak daripada tiang, hidup mewah, mental lemah dan kurang gigih adalah gaya hidup. Semua itu diperparah dengan penjualan produk yang turun, daya beli masyarakat yang lemah, keuntungan yang kian menipis dan kerugian. Dalam kurun waktu tertentu, secara perlahan namun pasti, jika tidak lekas dilakukan perubahan menejemen, perusahaan pasti bangkrut.
Negara juga demikian. Negara yang rajin ngutang, boros, korup dan pembangunan tidak tepat sasaran akan terlilit hutang. Kondisi itu akan mengakibatkan masyarakatnya menjadi sakit, tergantung pada pemerintah, tidak mandiri, lemah dan tidak produktif. Sifat konsumtif adalah kebiasaan. Sifat konsumtif yang muncul karena produktivitas tinggi akan menunjang pasar. Akan tetapi, jika sifat konsumtif muncul tanpa ditopang produktivitas masyarakat akan menimbulkan korupsi dan masalah sosial. Ngutang adalah masalah kebiasaan. Hutang yang dipinjam Negara hendaknya digunakan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat, bukan meningkatkan konsumsi masyarakat. Kalau itu tidak bisa dilakukan, jangan salahkan peribahasa ‘’Guru kencing berdiri, anak kencing berlari. Negara terbiasa ngutang untuk hidup, warga negaranya terbiasa ngutang untuk gaya hidup. Akhirnya, perlahan namun pasti, negara dan warganya terkubur hutang hidup-hidup.
Kalau ingin tidur lelap perkecil hutang atau jangan ngutang. Kalau ingin bahagia, hiduplah sederhana. Individu, kelompok, organisasi atau Negara pengutang hidupnya perlahan-lahan menuju kebangkrutan. Hutang itu bisa baik dan bisa juga jahat, tergantung cara menggunakannya. Hutang bisa digunakan untuk membesarkan individu, keluarga, usaha, organisasi atau Negara, atau bisa juga mengerdilkan dan sekaligus mematikan. Hati-hati, hutang itu bisa berbahaya…!
Koran Pak Oles/Edisi 165/16-31 Desember 2008
Thanks for reading Bangkrut

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

1 komentar:

  1. nice post...
    ayo belajar menjadi generasi yang maju, bukan menjadi generasi bangkrut!

    BalasHapus