Home » » Benang Kusut Masalah Pupuk

Benang Kusut Masalah Pupuk

Oleh: Rz Subagiyo
Musim Tanam 2008/2009 atau periode Oktober-Maret sudah berjalan dua bulan. Namun tidak terlihat petani melakukan penanaman padi di sawah-sawah mereka. Sebaliknya di berbagai wilayah sentra produksi padi, justru para petani tengah menjerit akibat pupuk bersubsidi yang sangat dibutuhkan ketika memasuki musim tanam menghilang. Biasnya, tidak sebatas merugikan petani karena kegiatan menanam menjadi mundur namun secara nasional berdampak pada pencapaian produksi pangan khususnya beras.
Di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (2/12) sekitar 100 petani menghadang sebuah truk bermuatan pupuk urea bersubsidi 7,5 ton di dekat kantor Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari. Spontanitas aksi para petani terpaksa mereka lakukan karena sudah tidak punya cara lain untuk mendapat pupuk urea berubsidi. Meski demikian, petani tetap membeli pupuk sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 60 ribu per sak (50 kg).
Begitu juga di Cirebon, Jawa Barat. Para petani di sejumlah kecamatan yang memiliki saluran irigasi teknis lebih baik, mulai kesulitan mendapat urea dan Za padahal mereka sudah mulai memerlukan pupuk. ‘’Sudah seminggu terakhir sulit mencari urea dan ZA di kios resmi. Kami terpaksa beli di toko lain di Pasar Losari,’’ kata Nurkamad, petani Desa Pabedilan, Cirebon. Saat itu, padi milik Nurkamad sudah ditanam tiga minggu.
Di Pekalongan, Jawa Tengah, kelangkaan pupuk yang sudah terjadi dalam beberapa hari terakhir mengakibatkan harga pupuk bersubsidi melambung hingga dua kali lipat dari HET. Harga pupuk bersubsidi di Kecamatan Lebakbarang dan Petungkriono, Pekalongan mencapai Rp 2.400 per kg (dua kali lipat dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan pemerintah Rp 1.200 kg.
Persoalan kelangkaan pupuk bersubsidi sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia, karena hampir setiap memasuki musim tanam fenomena itu pasti terjadi. Yang patut digugah adalah, apa akar permasalahan utama persoalan pupuk ini sehingga terus terjadi setiap tiba musim tanam. Apakah soal produksi, distribusi, harga atau soal transportasi? Karena masih agak suram diurai, sehingga kelangkaan pupuk yang terjadi di sejumlah besar wilayah Indonesia ini sulit untuk dicarikan solusi-solusi bijak dan serius. Ataukah ada oknum tertentu yang sengaja menciptakan kondisi ini karena hingga kini pun tampaknya belum ada solusi yang pas dari instansi berwenang untuk mencarikan solusi jitu mengatasi permasalahan ini.
Departemen Pertanian yang bertanggung jawab terhadap pengalokasian pupuk ke petani, Departemen Perdagangan yang berwenang mengatur distribusi pupuk dan Kementrian BUMN yang membawahi produsen pupuk sepertinya berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi dalam menyelesaikan persoalan ini. Pada sisi lain, muncul saling menyalahkan sehingga persoalan kelangkaan pupuk semakin carut-marut bagai benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya untuk diurai.
Salah satu faktor yang dianggap sebagai penyebab kelangkaan pupuk, kebiasaan petani yang selalu over menggunakan penyubur tanaman ini. Hal itu mengakibatkan kebutuhan pupuk petani sering membengkak karena pupuk yang diperlukan tidak disesuaikan dengan luas lahan. Hasil penelitian Departemen Pertanian menyebut, kebutuhan pupuk urea bersubsidi untuk 1 hektar lahan mencapai 250 kg-300 kg tetapi petani cenderung berlebihan memakai pupuk dua kali lipat dari jumlah itu.
Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimoeso mengungkapkan, saat ini para petani cenderung memupuk tanaman padi sampai 400-500 kgr sehingga kebutuhan pupuk melonjak. ‘’Padahal pemakaian pupuk secara berlebihan juga bisa menimbulkan tanah tidak subur,’’ katanya.
Pernyataan Sutarto dibenarkan Ketua Kelompok Tani Andalan (KTNA) Kecamatan Jekulo, Kudus, Sumani. Disebutkan, pemupukan untuk luas lahan 1 kotak seharusnya cukup 40 kg pupuk, tetapi petani sering memakai 70 kg. Salah seorang petani setempat beralasan mereka melakukan hal itu karena tanaman yang dipupuk sesuai aturan produksinya kurang bagus, bahkan tanaman masih terlihat merah dan tidak bisa berwarna hijau. ‘’Karena itu terpaksa saya melakukan pemupukan melebihi takaran yang dianjurkan,’’ kata Sukiran.
Berdasarkan Permentan nomor 56 tahun 2008, alokasi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian per 2008, untuk urea (4,5 juta ton), SP-36/Superphos (800 ribu ton), ZA (700 ribu ton), NPK (900 ribu ton) dan Organik (345 ribu ton). Sasarannya, untuk tanaman pangan, hortikulutura, perkebunan, peternakan dan perikanan budidaya khusus untuk urea masing-masing 3,03 juta ton, 387.109 ton, 926.681 ton, 12.403 ton dan 143.807 ton. Khusus November dan Desember 2008, menurut Sutarto, pemerintah memberikan alokasi tambahan pupuk bersubsidi 200 ribu ton.
Meski mengakui adanya petani yang menggunakan pupuk berlebihan namun demikian Ketua KTNA Winarno Tohir membantah jika hal itu dinilai merupakan penyebab kelangkaan pupuk. Dia mengungkapkan selama ini penyaluran pupuk subsidi dari distributor sampai ke petani hanya 40% dari alokasi yang ditetapkan. Sedangkan 60% justru tidak dinikmati petani yang berhak karena terjadi rembesan. Ada yang dijual ke sektor lain non subsidi atau dijual ke luar daerah oleh para distributor. ‘’Jadi tidak benar kalau kelangkaan pupuk akibat pemakaian petani yang berlebihan. Sebenarnya penyelewengan yang tinggi ada di tingkat distribusi. Dari laporan yang ada menunjukkan seperti itu," katanya ketika dihubungi via telepon.
Salah satu penyelewengan pupuk subsidi adalah tingginya permintaan pupuk untuk perkebunan sementara harga untuk sektor tersebut juga tinggi karena tidak disubsidi yakni Rp 6.000/kg. Berdasarkan SK Menteri Pertanian nomor 29/Permentan/OT.140/2008 tentang HET, harga pupuk bersubsidi urea (Rp 12.000 per kg), ZA ( Rp 1.050 kg), superphos (Rp 1.650 per kg), NPK phonska (Rp 1.750 kg), NPK pelangi (Rp 1.830 kg), NPK kujang (Rp 1.586 kg) dan organik (Rp 1.000 kg). ‘’Jika pupuk subsidi yang harganya Rp 1.200 per kg dijual Rp 2.000 sampai Rp 3.000, mereka masih mau menerima dan mendapatkan untung,’’ kata Winarno.
Empat Tepat
Winarno menuding, salah satu penyebab munculnya kekisruhan distribusi pupuk bersubsidi yakni Keputusan Menteri Perdagangan nomor 21/2008 yang menyebut, ‘’Penjualan pupuk bersubsidi’’ padahal menurut Peraturan Presiden menetapkan pupuk subsidi tidak untuk dijual. Begitu juga dalam Permentan sudah diatur bahwa pupuk subsidi bukan barang dagangan sehingga distributor penyalur pupuk bersubsidi sudah diberi untung atau fee namun mereka ingkar janji dengan menjual pupuk. ‘’Perlu ada revisi Keputusan Menteri Perdagangan nomor 21/2008 seharusnya bukan penjualan pupuk bersubsidi tapi pendistribusian. Selama Kemendag tidak direvisi akan repot,’’ katanya.
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab pada industri dan distribusi pupuk hendaknya memperhatikan empat tepat dalam distribusi pupuk, yakni tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu dan tepat guna. Untuk menangani distribusi pupuk sesuai empat tepat, menurut Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Imam Churmein tidak sulit, karena pemerintah mempunyai gas alam sebagai bahan industri pupuk dan bahkan bisa mengimpor bila kebutuhan dalam negeri tercukupi. ‘’Masalahnya, lagi-lagi pelaksanaan sehingga pupuk harus sering langka, menghilang atau melonjak harganya. Padahal pupuk menjadi sarana penting bagi tekad pemerintah melaksanakan revitalisasi pertanian,’’ ujarnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan telah meminta seluruh aparat daerah mengawasi peredaran pupuk bersubsidi. Di hadapan sekitar 4500 penyuluh pertanian se-Indonesia pada jambore dan festival karya penyuluhan pertanian II di Cibodas, Jawa Barat beberapa waktu lalu, Presiden SBY meminta gubernur, walikota/bupati sampai kepala desa untuk memastikan pupuk bersubsidi tepat sasaran. ‘’Pupuk bersubsidi harus tepat pada sasarannya. Tidak boleh penerima pupuk subsidi itu adalah perusahaan dan lain sebagainya,’’ tegas Presiden SBY.
Bagi Winarno, seharusnya distribusi dari lini I hingga lini IV dilakukan oleh pabrik atau produsen. Namun yang terjadi justru oleh distributor swasta yang lebih mencari untung besar sehingga mereka melakukan jual beli pupuk subsidi. Dengan begitu, petani atau koperasi membeli di lini IV, tanpa lewat distributor swasta. Kalaupun ada, mereka harus sejajar dengan koperasi.
Dalam Rapat Khusus mengenai kelangkaan pupuk di Istana Wapres beberapa waktu lalu, sudah ada kesepakatan untuk menanggulangi kekurangan pupuk bersubsidi itu. Pemerintah akhirnya memutuskan penambahan 300 ribu ton. Rencananya tambahan sebanyak itu dibagi dua; 200 ribu ton ke setiap kabupaten, dan 100 ribu ton untuk operasi pasar.
Sebelumnya pupuk bersubsidi yang disediakan pemerintah sebanyak 4,3 juta ton, ditambah 200 ribu ton (4,5 juta ton). Dengan tambahan 300 ribu ton, berarti ada 4,8 juta ton pupuk bersubsidi yang disiapkan. Tambahan itu disanggupi PT Pupuk Kaltim (80 ribu ton), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) sebanyak 40 ribu ton dan PT Petrokimia Gresik (5000 ton).
Khusus tahun 2009, semua pabrik pupuk dipacu produksi hingga mencapai 7 juta ton, dengan rincian, urea bersubsidi (5,5 juta ton) dan NPK dari 1,3 juta ton menjadi 1,5 juta ton. Selain itu, pemerintah tetap melakukan operasi pasar (OP)pupuk untuk mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi di tingkat petani saat musim tanaman.
Kebijakan OP dilakukan sebagai upaya memotong jalur distribusi pupuk bersubsidi dari produsen ke petani yang selama ini ruwet. Sejak 27 November 2008, OP pupuk bersubsidi mulai digelar produsen pupuk di sejumlah daerah pasca sehari DPR memanggil lima menteri dan Polri untuk membahas kelangkaan pupuk yang terjadi saat musim tanam 2008/2009. Dengan sejumlah kebijakan tersebut kini tinggal menunggu apakah petani akan benar-benar menerima pupuk sesuai empat tepat dalam distribusi pupuk yakni tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu dan tepat guna? (Anspek)
Koran Pak Oles/Edisi 165/Desember 2008

Thanks for reading Benang Kusut Masalah Pupuk

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar