Home » » Mencegah Kekerasan Dalam Pacaran

Mencegah Kekerasan Dalam Pacaran

Oleh: Nurani Soyomukti*
Bukan rahasia lagi kalau pacaran menjadi ajang bagi hubungan dominasi. Dominasi bukan keintiman, tetapi penyimpangan relasi atau lebih tepatnya penindasan. Dan, dominasi adalah awal bagi terjadinya kekerasan dan penindasan. Pihak perempuanlah yang biasanya berada pada pihak yang tertindas. Mereka jadi korban kekerasan, mulai kekerasan emosional hingga kekerasan fisikal.
Kekerasan emosional, misalnya, pihak cowok seringkali memasung si cewek. Si cowok posesif dan cemburuan. Dan seringkali memaksakan keinginannya kepada si cewek, suka mengatur. Sebagaimana telah saya kisahkan dalam buku ‘Intimacy’ (2008), saya heran pada saat saya mendengar cerita dari seorang kawan perempuan. Dia punya teman, sebut saja namanya Bunga. Bunga punya seorang cowok yang sangat posesif. Bayangkan, si Bunga dilarang menyimpan no HP selain nomer si cowok, nomer orangtuanya, dan 3 orang temannya. Si Bunga tidak boleh keluar kecuali dengan si cowok dan kalau ada acara harus ijin atau memberi informasi pada si cowok.
Mendengar cerita ini saya hanya bisa menyeletuk: “Kok kayak Bapaknya saja pacarnya itu!”
Dan, menurut saya, Bunga bukan satu-satunya remaja yang jadi korban kekerasan (“fasisme” dan “kediktatoran”) dari hubungan eksklusif yang bernama pacaran. Tidak jarang juga terjadi pemerkosaan dalam pacaran. Si cewek diajak untuk melakukan kegiatan seksual, kadang dipaksa kalau tidak mau. Tidak jarang upaya untuk mendapatkan kepuasan seksual dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari “rayuan gombal”, penipuan, hingga pemaksaan atau tindakan licik seperti memasukkan obat perangsang dalam nimuman si cewek.
Model hubungan semacam itu pada akhirnya bahkan berakibat fatal karena efek kekerasan akan mengakibatkan dampak psikologis di kalangan remaja perempuan. Para remaja perempuan yang sudah tidak perawan dan kemudian dicampakkan oleh cowoknya pada akhirnya masuk pada lubang hitam kehidupan, di mana ia sudah menganggap dirinya tak berguna. Hal itu dapat mengakibatkan si cewek terjerumus pada prostitusi. Masalahnya seks adalah kegiatan yang menyebabkan adiksi (ketagihan). Bayangkan berhubungan badan bukan atas kerelaan, tetapi karena upah, apakah itu keintiman? Keintiman yang palsu dan tak mengakar pada eksistensi. Karena keintiman itu punya perasaan yang nyaman saat bersama dalam jangka yang panjang dan ingin dirasakan dalam jangka yang panjang yang membuat psikologis nyaman mskipun hubungan seks telah berakhir. Pelacuran adalah keintiman spontan dan dipaksakan.
Kalau orang sudah pernah --atau terbiasa-- menikmati seks, ia selalu ingin mengulanginya. Kalau si cewek sudah dicampakkan oleh cowoknya, maka ia akan kebingungan dan ia ingin mencari cowok lain. Apalagi, setelah ketahuan sudah tak perawan, biasanya cewek dipandang “rendah”. Cowok mendatangi “cewek” semacam itu pasti hanya untuk mudah mendapatkan seks.
Kejijikan si cewek pada tubuhnya sendiri (yang sudah tak virgin) dan kebencian pada laki-laki (akibat pengalaman cowoknya yang “kurang-ajar”) tak jarang membuat cewek tak percaya lagi pada cinta, kepercayaan, dan kebaikan. Tubuhnya sendiripun dianggap lagi tak berguna. Ia berusaha menjual tubuhnya untuk kesenangan dan diperjualkan --dari kondisi semacam ini salah satu sebab kenapa perempuan menjadi pelacur (prostituted).
Sebagai pelacur, iapun dianggap “sampah masyarakat”. Masa depannya tergantung pada berapa harga yang diberikan oleh laki-laki yang membelinya. Tak ada lagi cinta, yang ada hanyalah jual-beli tubuh. Tidak ada gunanya (mengembangkan) pikiran. Yang ada adalah harga fisik (seks). Pemahaman semacam ini juga memicu para anak-anak muda, terutama mahasiswa, untuk mengurusi tubuh agar tampil cantik dan seksi agar mereka “berharga mahal” dalam transaksi sosial dalam relasi antar-individu. Kondisi inilah yang menyebabkan langgengnya kapitalisme seksualitas era ini, yang ditandai dengan terjerumusnya para kaum muda dalam lubang seksualitas dan ketidakpercayaan pada cinta akibat gaya pacaran yang penuh dengan kepalsuan dan bahkan kekerasan.
Banyak orang yang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (domestic violence), namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan yang terjadi pada remaja, terutama kekerasan yang terjadi saat mereka sedang berpacaran (Kekerasan Dalam Pacaran/KDP atau dating violence). Rifka Annisa, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan jender menemukan bahwa sejak tahun 1994-2001, dari 1683 kasus kekerasan yang ditangani, 385 diantaranya adalah KDP (Komnas Perempuan, 2002).
PKBI Yogyakarta mendapatkan bahwa dari bulan Januari - Juni 2001 saja, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi. Data yang lebih baru menunjukkan bahwa selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26,60 persen di antaranya adalah KDP dan perkosaan. Meskipun frekuensinya cenderung menurun, tetapi setiap tahun kedua kasus tersebut masih tetap terjadi di DI Yogyakarta.
Selama periode 1994-September 2007, rekapitulasi jumlah kasus KDP dan perkosaan yang masuk Rifka Annisa mencapai 965 kasus. Kejadian KDP yang terungkap tiap tahun minimal 20 kasus, sedangkan perkosaan lima kasus.
KDP yang dimaksud meliputi segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan di luar hubungan pernikahan yang sah. Sementara itu, perkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/tidak disukai hingga pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu.
Berbagai macam efek buruk pacaran semacam itu tampaknya juga akan ikut mempengaruhi perkembangan psikologis kita. Kadang seseorang mengalami masa pacaran yang mengasyikkan dari segi keintiman sesaat yang memabukkan yang membuat mereka lupa diri. Mereka tak juga memikirkan untuk menikah karena situasi yang ada, hubungan intim seperti suami istri tanpa legalitas pernikahan, serta kesibukan yang lua biasa di luar itu, membuat mereka terlena.
Di jaman yang serba pragmatis dan diwarnai dengan kekerasan, manipulasi, serta hilangnya ketidakpercayaan, kita membutuhkan nilai-nilai yang harus dipegang dalam hubungan. Nilai-nilai dan tujuan berhubungan umumnya tak kita pahami, dan itulah yang menyebabkan kita gagal membangun hubungan, bahkan hubungan yang kita bangun seringkali retak di tengah jalan.
Hubungan yang dipaksakan atas dasar kekerasan di satu sisi, dan atas nama ketidakseriusan di sisi lainnya, merupakan relasi yang ternyata masih banyak terjadi di sekitar kita. Hilangnya independensi, ketidaktegasan dalam memilih karena hilangnya kemandirian dan ketidakberanian (takut) pada kebenaran merupakan relasi yang manipulatif.
Ketidakseriusan dalam hubungan di kalangan kaum muda ditunjukkan dengan membangun hubungan seperti ‘pacaran’ yang biasanya hanya dijalani karena ikut-ikutan, gengsi, atau merasa malu jika tidak punya pacar. Tujuan dan nilai-nilai yang seharusnya dipegang bagi sebuah hubungan yang ‘humanis’ dan ‘indah’—ternyata justru menghilang. Jadinya, hubungan yang kita jumpai dalam berbagai bentuknya dalam masyarakat kapitalis sekarang ini dalam banyak hal bersifat manipulatif, palsu, munafikn --serta menunjukkan ketidakberakaran manusia atas alam dan realitasnya. Keintiman (intimacy) telah hilang, toh kalau ada dipaksakan dan dipalsukan dalam hubungan yang artifisial yang bersembunyi dalam kedok yang bernama ‘pacaran’.
Dan pada tataran yang lebih luas, kita melihat hubungan sosial yang centang-perenang dan diwarnai kekerasan, kejahatan, sentimen kelompok yang sempit. Dan semua itu terus saja direproduksi oleh kekuasaan.
*)Pendidik dan pengelola Yayasan TABUR (Taman Belajar untuk Rakyat) Ds. Margomulyo, Watulimo, Trenggalek, Jatim.Koran Pak Oles/Edisi 165/16-31 Desember 2008
Thanks for reading Mencegah Kekerasan Dalam Pacaran

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar