Home » » Kualitas Pendidikan NTT, Ironi Yang Menyakitkan

Kualitas Pendidikan NTT, Ironi Yang Menyakitkan

50 Propinsi Sunda Kecil Berlalu
Oleh: Beny Uleander

Generasi tahun 80-an pasti bingung membaca judul, Provinsi Sunda Kecil. Apakah propinsi yang baru dimekarkan? Remaja muda saat ini lebih bingung lagi kalau dijelaskan bahwa kepulauan Sunda Kecil ialah gugusan pulau di sebelah timur Pulau Jawa, dari Pulau Bali di sebelah barat sehingga Pulau Timor di sebelah timur.
Provinsi Sunda Kecil bukanlah propinsi pemekaran di era Orde Reformasi. Provinsi Sunda Kecil atau Nusa Tenggara sudah berlalu 50 tahun silam sejak dimekarkan menjadi tiga provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 20Desember 1958. Ibukotanya provinsi terletak di Singaraja, Bali utara.
Pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba serta Timor dan kepulauannya telah merupakan "daerah" (menurut pengertian dalam UUDS 1950), yaitu Daerah Bali, Daerah Lombok, Daerah Sumbawa, Daerah Flores, Daerah Sumba dan Daerah Timor dan kepulauannya. Kemudian dibentuk Propinsi Administratip Sunda Kecil yang meliputi Daerah-Daerah tersebut (PP 21/1950). Propinsi Sunda Kecil terdiri dari Sunda Kecil Barat (meliputi ex keresidenan Bali dan Lombok) dan Sunda Kecil Timur (meliputi wilayah ex Keresidenan Timor dan pulau-pulau sekitarnya).
Topik jejak sejarah dan potensi ekonomi Provinsi Sunda Kecil kembali hadir dalam publikasi media setelah Harian Kompas bekerjasama dengan Harian Pos Kupang menggelar seminar "50 Tahun Sunda Kecil Berlalu" dengan menampilkan 14 pembicara dari Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Hotel Bali Dynasty Resort Kuta, Rabu (10/12).
Para pembicara di antaranya Gubernur NTB dan Gubernur NTT, Dr Fred Benu, Dr
I Nyoman Wijaya, Prof Dr Nyoman Erawan, Dr Prayitno Basuki, Sri Palupi, Lery Mboeik, Rm Edu Jebarus Pr, Lalu M Yamin dan Sebastian Salang.
Sebelum pemekaran Sunda Kecil, kondisi wilayah Bali, NTB dan NTT nyaris sama, miskin dan terisolasi. Namun setelah 50 tahun pemekaran itu berlalu, hadir berbagai ironi yang menyakitkan.
Di bidang pendidikan, dalam telusur sejarah yang dilakukan praktisi pendidikan Rm Edu Jebarus, Pr. Pembangunan sekolah di Keresiden Timor pada masa penjajahan kolonial dirintis oleh para misionaris Katolik dan Protestan. Data pemerintah tahun 1983 memperlihatkan angka perkiraan jumlah penduduk untuk 1 SD dengan rincian: Flores 1 SD per 2.800 penduduk, Timor 1 SD per 3.600 penduduk, Sumba-Sumbawa 1 SD per 3.000 penduduk, Bali Utara 1:5.900 penduduk, Bali Selatan 1 : 7.400 penduduk, dan Lombok 1 SD per 11.200 penduduk. Jadi perhatian pendidikan lebih difokuskan di Flores dan Timor. Tapi saat ini pendidikan paling maju dan berkembang pesat justru di Bali. Prosentase kelulusan siswa dalam UN, NTT berada di urutan terendah dari 33 provinsi. Kenapa kualitas pendidikan di NTT yang sempat mengalami masa kejayaan kini merosot? Ada apa?
Menurut pastor Edu Jebarus, kemerosotan pendidikan di NTT karena model dan sistem pendidikan ideal warisan swasta (misi) diabaikan sejak kehadiran sekolah-sekolah negeri pada tahun 1955. “Ada keharusan untuk mengembalikan roh pendidikan di Nusra dan lembaga pendidikan swasta perlu bangkit menjalankan perannya yang pernah unggul,” ujar penulis buku “Sejarah Persekolahan di Flores yang diterbitkan Ledalero tahun 2008.
Sementara budaya dan aktivis Lombok Heritage Lalu M Yamin melihat keterpurukan ekonomi lebih dipicu oleh etos kerja yang berbeda antara orang Lombok (Sasak) dibanding Bali. “Tidak ada kosmologi atau mitologi dalam sastra lisan suku Sasak soal etos kerja keras. Sehingga karyawan orang Lombok tidak kreatif dan kerja kalau disuruh. Sehingga SDM orang Bali bisa melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh 4 orang Sasak,” ujarnya melukiskan.
Karena itu, Lalu M Yamin mendesak pemerintah di tiga propinsi mengembangkan etika kerja sama dalam bingkai misi kebudayaan antarpropinsi di bidang dialog pluralisme agama dan budaya, kemitraan di bidang kemanusiaan dan pendidikan. Secara khusus, ia mendesak saatnya kurikulum lokal lebih sesuasi dengan lingkungan sekitar agar anak-anak dapat mengenal habitat hidupnya lebih baik. “Ya contohnya pekerjaan bagaimana merawat rumah atau untuk anak-anak di pesisir pantai bagaimana mengenal kehidupan nelayan dan laut,” ujarnya.
Koran Pak Oles/Edisi 165/16-31 Desember 2008
Thanks for reading Kualitas Pendidikan NTT, Ironi Yang Menyakitkan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar