Home » » Mitologi Sungai Gangga Dan Mitigasi Bencana

Mitologi Sungai Gangga Dan Mitigasi Bencana

Oleh: Em. Lukman Hakim*
Beberapa waktu lalu umat Hindu serempak mandi di Sungai Gangga Patna India, yang merupakan salah satu dari sejumlah sungai yang disucikan (di antaranya Sungai Yamuna, Saraswati, Sindhu, Brahmaputra, Narmada, dan Kaveri). Ritual ini merupakan bagian dari kepercayaan penyucian diri berkenaan dengan festival Karthik Purnima dalam agama Hindu.
Ritual mandi di sungai Gangga menarik dicermati tidak saja karena mengandung ritual peleburan dosa (tirthayatra), tetapi lebih dari itu merupakan perlambang bagaimana penyatuan sesungguhnya antara manusia dan alam. Umat Hindu patut bersyukur karena agama Sanātana Dharma (nama lain Hindu) diturunkan di India pada sekitar 3102-1300 SM. Dapat dibayangkan jika agama terbesar ketiga ini diturunkan di Indonesia, di manakah umat Hindu akan melakukan ritual mandi suci, karena nyaris tak ada satupun sungai di negeri ini yang sepi dari bencana.
Alam Dan Manusia
Gangga dalam bahasa Sansakerta sering disebut ‘Gaṅgā’ yakni nama perempuan cantik dalam agama Hindu yang dipuja sebagai Dewi kesuburan dan pembersih segala dosa dengan air suci yang dicurahkannya. Umat Hindu percaya, jika mandi di sungai Gangga pada saat yang tepat akan memperoleh pengampunan dosa dan memudahkan seseorang untuk mendapat keselamatan.
Tak hanya itu, mereka bahkan rela menempuh perjalanan jauh untuk sekedar mencelupkan abu dari jenazah anggota keluarga ke dalam sungai Gangga. Ritual ini diyakini sebagai media untuk mengantarkan roh leluhur menuju surga. Beberapa tempat suci lain membentang di sepanjang sungai Gangga, meliputi Haridwar, Allahabad dan Benares.
Menurut sastra Hindu, Dewi Gangga merupakan ibu asuh Dewa Kartikeya (Murugan) yang sesungguhnya putera Siwa dan Parwati. Ia juga merupakan ibu Dewabrata yang dikenal sebagai Bisma dan merupakan salah satu tokoh yang paling dihormati dalam kisah Mahabharata.
Gangga disebutkan dalam RigVeda, sastra Hindu yang paling awal dan yang tersuci secara teoritis. RigVeda 3.58.6 berkata, "rumahmu yang dulu, persahabatanmu yang memberi banyak harapan, O para pahlawan, kekayaanmu berada di tepi sungai Jahnawi (JahnAvyAm)". Sloka ini diyakini merujuk kepada Gangga. Dalam RigVeda 1.116.18-19, Jahnawi dan lumba-lumba Gangga muncul dalam dua sloka yang berdekatan. Kata Gangga juga muncul dalam Nadistuti (RigVeda 10.75), yang memaparkan sungai-sungai yang membentang dari timur ke barat (Talageri, 2000).
Terlepas dari beragam penyebutan tadi, Sungai Gangga tidak saja dipercaya sebagai tempat peleburan dosa, tetapi telah nyata membawa berkah bagi seluruh rakyat India. Sebelum negara ini memiliki ekonomi yang berada dalam urutan ke-4 berdasarkan GDP dengan pendapatan sekitar AS$17,2 milyar pada 2007 dan pertumbuhan tercepat ketiga (sekitar 8%) setelah Cina (13%) dan Amerika (9,5%) yang diperoleh dari bisnis perangkat lunak dan process outsourcing, India sangat bergantung pada hasil pertanian yang bahkan menyumbang 76% dari PDB.
Seperti halnya Sungai Nil di Mesir, Lembah Indus beserta deretan sungai yang disucikan tidak saja menandai kelahiran empat agama besar; Hindu, Buddha, Jainisme, dan Sikhisme, tetapi telah berperan penting dalam memacu produktivitas pertanian. Kesuburan tanah lembah Hindustan dan keyakinan masyarakat pada sungai suci menjadi cerita awal dari kebesaran India masa kini.
Negeri Bencana
Berbeda dengan India, Indonesia yang memiliki sejumlah sungai besar yang senyatanya dapat melakukan hal sama, bahkan lebih, disibukkan dengan urusan bencana yang justru bersumber dari sungai. Setidaknya dari 33 provinsi di tanah air sebanyak 27 provinsi di antaranya rawan banjir selama 2008 dengan korban 92 orang meninggal, 9740 rumah rusak, dan 184.203 rumah terendam banjir.
Sekalipun diperkirakan puncak musim hujan baru akan terjadi pada Januari - Februari 2009, namun banjir telah melanda sejumlah daerah. Masyarakat yang tinggal di sekitar Bengawan Solo meyakini, jika pada musim kemarau air bengawan kering maka pada musim penghujan dipastikan akan terjadi banjir. Setidaknya, kekeringan yang melanda 11 provinsi pada musim lalu menjadi pertanda dimungkinkan terjadi banjir keenam sejak 1977.
Keyakinan ini sepadan dengan kepercayaan umat Hindu bahwa air sungai Gangga akan mengering pada zaman kegelapan (Kali Yuga) bersamaan dengan mengeringnya sungai Saraswati yang diikuti dengan munculnya sejumlah prahara (David Frawley, Voice of India, 2001). Sekalipun siklus dunia akan berubah dan diyakini akan sampai pada zaman kebenaran (Satya Yuga), namun tak ada catatan pasti, apakah sungai Gangga akan pulih seperti sedia kala, atau justru kebenaran dan kebatilan akan ditampakkan, sebagaimana umat Islam meyakini sebagai hari pembalasan (yaumul baast).
Tangan-tangan serakah yang memplontos hutan, baik secara legal maupun illegal, tak dapat disangkal telah menjadi sebab munculnya banjir. Ironisnya, para petinggi negeri ini justru terus menyalurkan kegemaran menanam bungalow di puncak bukit, melegalkan pengrusakan hutan untuk kepentingan pertambangan melalui UU No 19 Tahun 2004 dan PP No 2 Tahun 2008 tanpa memperdulikan akibat yang oleh Umat Hindu disebut sebagai ’Karmaphala Tattwa’ yaitu hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan.
Ketika banjir terjadi, istilah penyempitan DAS (Daerah Aliran Sungai) mendadak dimunculkan guna mempersalahkan warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai. Pemerintah kemudian mencari solusi instan dengan cara memperlebar dan mengeruk sungai akibat dari proses sedimentasi. Beberapa waduk dan sudetan dibangun untuk meminimalisir terjadinya banjir. Tanpa memperdulikan nasib warga yang terusir oleh mega proyek anti banjir, pemerintah terus memohon pada lembaga keuangan asing seperti ADB, JPIC, dan ECA untuk mengucurkan dana (hutang) bagi percepatan penanggulangan banjir.
Jika DAS didefinisikan sebagai satu kesatuan ekosistem yang unsur utamanya terdiri dari sumber daya alam berupa tanah, air, vegetasi, dan manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam, semestinya pengelolaan DAS tidak menggunakan model watershed conservation management yang tidak menempatkan ’manusia’ sebagai bagian dari penentu keberlangsungan layanan DAS. Model yang selayaknya dikembangkan adalah water resources control and integreted management yang merupakan kesatuan antara manusia dan alam. Model ini mengarah pada terciptanya keserasian antara aspek lingkungan hidup (tata air dan tata guna tanah), aspek produksi/ekonomi (rentabilitas lahan) dan aspek sosial (manusia) yang diejawantahkan secara seimbang mulai dari hulu, tengah, dan hilir DAS.
Kondisi hutan tersisa yang secara mayoritas tidak mencapai angka ideal (30%) di wilayah Hulu DAS, perlu diprioritaskan pemulihannya dalam kerangka mitigasi bencana, dengan melibatkan masyarakat beserta kearifan lokalnya.
Masyarakat ”Kunto” Sulawesi memiliki keyakinan, barang siapa menebang pohon dengan tujuan komersil akan mendatangkan bencana bagi anak cucunya. Sementara masyarakat ”Dayak” Kalimantan percaya, jika menebang satu pohon harus menanam sepuluh pohon. Sayangnya, kearifan lokal semacam ini kerap disisihkan dalam proses penanggulangan bencana. Padahal India dengan mitologi sungai suci mampu mewujudkan keserasiaan antara kehidupan manusia dan alam.
*)Anggota BP Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), tinggal di Jakarta.
Koran Pak Oles/Edisi 165/16-31 Desember 2008
Thanks for reading Mitologi Sungai Gangga Dan Mitigasi Bencana

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar