Home » » Jamu, Identitas Nasional

Jamu, Identitas Nasional

Oleh: A. Zaenurrofik*
Dalam bidang pengobatan, Indonesia mewarisi praktek pengobatan tradisional turun-temurun yang memanfatkan tanaman herbal asli Nusantara, yang populer dengan sebutan jamu.
Keberadaan jamu telah eksis sebelum obat-obatan berbahan dasar kimia marak diperdagangkan. Tak hanya dimanfaatkan untuk menyembuhkan beragam penyakit, namun juga digunakan untuk merawat kecantikan tubuh. Dalam legenda Sangkuring misalnya, kecantikan kulit Dayang Sumbi yang menawan didapat dari hasil pengolahan empon-empon (temu lawak, kunir, temu kunci, dll) yang dibalurkan ke kulitnya dan sebagian diseduh untuk diminum.
Rahasia kecantikan para putri Keraton Solo, mengilhami industri kecantikan seperti Mustika Ratu untuk mengembangkan potensi tanaman herbal Indonesia. Berkat kegigihannya mendayakan tanaman herbal Indonesia menjadi kosmetik dan obat herbal, BRAy Moeryati Soedibyo diganjar dengan anugerah “Best of the Best Entrepreneur of the Year dari Ernst & Young”, wanita satu-satunya eksekutif puncak perusahaan yang hadir di Monte Carlo, Monaco 4-8 Juni 2003 saat penganugerahan dan pertemuan tahunan E&Y. Jaringan pemasaran produk-produk obat dan kosmetika PT Mustika Ratu, juga telah menjangkau mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Taiwan, Jepang, Timur Tengah, Rusia, dan Belanda. Penetrasi pasar baru juga telah menjangkau Mesir, Cina, Australia, Inggris, dan Eropa Timur.
Dengan melimpahnya kekayaan tanaman herbal Indonesia, potensi jamu juga sangat besar untuk dikembangkan. Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia menempati urutan kedua dunia setelah Brazil. Namun dari ribuan tumbuhan yang ada di Indonesia, baru sejumlah kecil yang telah memberi sumbangan berarti bagi kesejahteraan bangsa. Menurut Charles Saerang, Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia, Indonesia memiliki sekitar 9.000 spesies tumbuhan obat, namun hanya 350 spesies yang teridentifikasi dan baru sekitar 3 - 4% yang telah dimanfaatkan secara komersial.
Merawat Identitas
Jamu telah menjadi ikon baru dalam khasanah pengobatan di Indonesia, setelah sebelumnya kita berpaling dari pengetahuan warisan leluhur tersebut. Akibat masyarakat kita masih menjadikan industri farmasi sebagi kiblat dan acuan jika mengalami gangguan kesehatan. Awal keberpihakan kepada industri jamu dimulai tatkala pencanangan gerakan kembali ke alam (back to nature) dalam peringatan Hari Kesehatan Nasional pada 1998. Industri jamu dalam beragam skala bertebaran dan mengalami lonjakan kuantitas yang signifikan. Bahkan, industri farmasi seperti PT. Kimia Farma, PT. Kalbe Farma, PT. Konimex, PT. Indo Farma, tak mau ketinggalan langkah, ikut juga dalam memproduksi produk-produk jamu.
Jamu telah menjadi identitas bangsa. Kita berkewajiban untuk merawat dan menjaga identitas tersebut. Ibarat sebuah tanaman, dengan merawatnya, kita juga akan menuai hasil dari upaya perawatan tesebut. Bila kita mengabaikannya, tak akan memberikan hasil apa-apa bagi kita. Perlu sebuah ikhtiar untuk menjaga identitas tersebut dengan beragam cara yang saling mendukung dan terpadu di antara semua elemen masayarakat. Beberapa ikhtiar yang bisa dilakukan untuk menjaga identitas tersebut di antaranya;
Pertama, dukungan yang kuat dari pemerintah. Sebagai regulator, pemerintah diharapkan mampu untuk melempangkan jalan bagi pertumbuhan industri jamu. Sinergi antara Depkes, BPOM, Depperindag, Kementerian UKM dan Koperasi, akan menghasilkan suatu kebijakan yang harmonis sehingga tak terjadi kontradiksi kebijakan. Dalam sambutan membuka acara Gelar Kebangkitan Jamu Indonesia dan Pembukaan Simposium Internasional Pertama Temulawak pada tanggal 27 Mei 2008, Presiden SBY meminta Departemen Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan membimbing para pengusaha jamu untuk memberikan kemudahan di dalam registrasi, perizinan, dan legalitas. Presiden juga meminta KADIN untuk ikut membantu dalam promosi dan pemasaran, serta perdagangan jamu dan obat tradisional ini, baik dalam lingkungan pasar domestik maupun pasar internasional. Presiden juga mendorong lembaga riset dan perguruan-perguruan tinggi untuk terus melakukan penelitian dan pengembangan agar kualitas jamu, obat tradisional, dan kosmetika alami semakin baik.
Kedua, menjaga kepercayaan pasar. Kemampuan penetrasi pasar jamu Indonesia yang telah merambah hingga ke mancanegara, tidak diraih dengan serta-merta. Sebelumnya, kebijakan negara tujuan ekspor seperti Malaysia, Thailand, Hongkong, Taiwan, dan Korea yang menerapkan standart mutu mereka, merupakan kendala terhambatnya ekspor jamu. Padahal, industri jamu Indonesia sendiri sebenarnya telah menerapkan sistem uji klinis atau fitofarmaka, sehingga mutu jamu lebih teruji dan terbukti khasiatnya. Kemampua menjaga kualitas ini kerap ternodai dengan ulah oknum yang tak bertanggung jawab dengan mencampurkan bahan kimia dalam jamu sehingga menurunkan kepercayaan pasar domestik dan pasar ekspor. Lansiran BPOM mengenai sejumlah daftar bahan kimia yang dicampurkan pada jamu beberapa waktu lalu turut berimbas pada industri jamu.
Ketiga, menjadikan industri kreatif seperti jamu sebagai basis perekonomian. Dalam Roadmap (peta jalan) Industri Nasional 2010 dan Visi 2030 yang disusun KADIN, industri berbasis budaya dan tradisi, seperti jamu, kerajinan kulit, rotan, dan kayu, serta rokok kretek, batik dan tenun ikat, menjadi salah satu industri unggulan penggerak penciptaan lapangan kerja. Terbukti, meski dihantam krisis, industri kreatif mampu bertahan bahkan menunjukkan peningkatan volume penjualan seperti PT. Sido Muncul yang menambah kapasitas produksinya menjadi 250 juta bungkus. Juga tak ada satupun pabrik jamu yang melakukan PHK pada pekerjanya.
Jamu nasional bisa menjadi motor penggerak potensi-potensi lain yang masih tenggelam. Nilai-nilai tradisi dalam teknik “sangkal putung” (teknik penyembuhan patah tulang tanpa melalui operasi, dan hanya melalui rangkaian gerakan menarik tulang yang patah, dan dibaluri dengan beberapa jenis tanaman) yang marak di Jawa Timur misalnya, merupakan potensi kesehatan yang tak ternilai harganya. Jangan sampai identitas bangsa kita dibajak oleh negara lain seperti batik yang dibajak oleh Malaysia dan tempe yang dibajak oleh Jepang. Untuk itulah, kewajiban kita bersama menjaga tradisi yang menjadi identitas kita bersama tersebut.
*) Peneliti Center for Social Science and Religion( CSSR), Surabaya.
KORAN PAK OLES/EDISI 172/1-15 APRIL 2009
Thanks for reading Jamu, Identitas Nasional

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar