Home » » Melestarikan Lontar Pesasakan

Melestarikan Lontar Pesasakan

Oleh: Putu Sugih Arta*
Pulau Lombok selain kaya oleh kondisi alam yang indah, terbentang dari ketinggian Puncak Rinjani sampai ke lereng-lereng yang bermuara di laut lepas. Daerah Lombok juga kaya oleh peninggalan warisan budaya adiluhung. Terutama naskah lontar, jumlahnya mencapai ribuan buah. Naskah lontar yang berkembang di lingkungan masyarakat Sasak kian banyak tersimpan sebagai koleksi museum, galeri seni yang berada baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Di samping itu, masih banyak naskah lontar yang tersebar di masyarakat sebagai pusaka yang cukup diapresiasi keberadaannya oleh para pencinta sastra. Naskah lontar Sasak apabila ditelusuri dari segi isi dapat dilihat variasinya antara lain lebih banyak mengangkat kisah-kisah tentang nabi, kisah-kisah yang berisikan ajaran sufi atau tasawuf seperti lontar jatiswara, la duni, purwadaksina, widarakawitan, asmaragama, kemudian lontar-lontar cerita panji seperti monyeh, cilinaya, megantaka, cupak gurantang, lobangkara, ada pula kisah-kisah kepahlawanan Amir Hamzah dan Serat Menak Jayengrana, Menak Bangbari, Menak Ajar Wali,Menak Kabar Sundari, Rengganis dan lain-lainnya. Selain itu ada berupa lontar yang mengangkat kisah-kisah sejarah seperti babad selaparang, babad sakra, babad mentaram dan babad suwung.
Dari aspek pernaskahan, lontar Sasak dapat dibedakan atas dua bentuk tembang yakni berupa macapat (puisi) dan berupa gancaran (prosa). Umumnya satu judul karya sastra dibentuk oleh beberapa jenis tembang macapat. Masing-masing tembang memiliki karakteristik dan komposisi sendiri. Misalnya saja, dalam sebuah lontar pesasakan misalnya akan dapat dilihat jenis tembang asmaradana yang cirinya memikat, sedih dan kasmaran. Tembang maskumambang karakternya duka cita, tembang pangkur karakternya serius, tembang durma cirinya emosional dan sinom yang menarik dan ramah.
Umumnya, masing-masing tembang baik sinom, pangkur, maskumambang di daerah Bali dan Jawa memiliki jumlah komposisi suku kata dan bunyi akhir yang mengikat pada setiap baris, namun untuk naskah pesasakan tidak demikian. Justru selain jumlah suku kata tak sesuai. Hanya bunyi akhir saja yang sesuai yang dikenal dengan istilah ngedang dan ngeding.”Kendati sederhana, lontar Sasak mempunyai daya pikat bagi penikmatnya. Apalagi naskahnya dipentaskan oleh dalang dalam pertunjukan wayang kulit sasak ada daya sentuh tersendiri,”ujar Muhamad Tanwir tokoh PEPADI Kota Mataram.
Tradisi membaca lontar pesasakan yang berbentuk macapat di kalangan masyarakat Sasak disebut pepaosan. Mereka melakukan aktifitas membaca dengan cara melagukan, menterjemahkan dan menafsirkan isi bait-bait sastra.
Pepaosan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan peran masing-masing. Satu orang sebagai pembaca (pemacaq), seorang lainnya sebagai penerjemah (pujangga) dan yang lainnya sebagai suara latar (penyokong).
*)Budayawan, tinggal di kota Mataram.
KORAN PAK OLES/EDISI 172/1-15 APRIL 2009
Thanks for reading Melestarikan Lontar Pesasakan

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar