Home » » Mewaspadai Media Televisi?

Mewaspadai Media Televisi?

Oleh: Hedi Pujo Santosa*

Selamat datang di dunia simulacra -dunia yang digerakkan oleh energi libido, dunia yang tidak tahu malu dan kehilangan pesonanya, yang mengedepankan ekspresi diferensi semata.
(Jean Baudrillard).

Dunia simulacra atau simulasi memang sebuah gambaran masyarakat kontemporer yang dibayangkan oleh Jean Baudrillard. Gambaran itu muncul ketika perkembangan kapitalisme akhir berhasil menempatkan teknologi komunikasi sebagai faktor paling determinan, yang mampu mengubah sebagian besar tatanan kehidupan masyarakat.
Hal yang paling menonjol dalam dunia simulasi adalah kuatnya relasi konsumsi. Pola konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat tidak lagi melihat pada nilai guna semata, melainkan juga beroperasinya nilai-nilai tanda, bahkan terkadang konsumsi terhadap tanda ini seolah-olah melebihi kegunaannya. Ironisnya, dalam mengonsumsi sesuatu, masyarakat lebih digerakkan oleh energi libido dengan tujuan mengekspresikan perbedaan selera semata. Gambaran dunia seperti inilah sebenarnya yang sedang melanda.
Industri media kita, dunia misteri, gosip pesohor, serta berita kriminal dengan berbagai kemasan adalah produk televisi yang setiap hari memenuhi ruangan pemirsa. Salah satu ukuran sederhana untuk mengetahui kepopuleran sebuah acara televisi di mata pemirsanya adalah rating. Pada awalnya, cara yang digunakan untuk mengukur rating tergolong sederhana, karena hanya menggunakan kuisioner yang diwawancarakan kepada pemirsa televisi.
Dalam perkembangannya, alat ukur yang digunakan berkembang semakin canggih dengan alat yang bernama peoplemeter. Alat ini bisa mendeteksi perilaku menonton pemirsa dengan cara memasangnya di pesawat televisi.
Peoplementer pada dasarnya dipakai untuk melihat tingkat keseringan penonton dalam menggunakan dan memindahkan saluran selama menonton televisi. Dengan metode seperti inilah kemudian kita bisa mengetahui tingkat kepopuleran sebuah mata acara televisi di hadapan pemirsanya.
Mengapa kita harus berbicara tentang rating untuk membedah industri pertelevisian? Di sinilah awal mula perkembangan industri media televisi dimulai. Rating yang bagus dan tinggi secara otomatis akan mendongkrak perolehan iklan.
Akibatnya, apa pun yang berpotensi untuk bisa mendongkrak rating akan dilakukan. Situasi seperti inilah yang mendominasi latar belakang penayangan acara televisi yang dikritik sebagai program pembodohan bangsa, seperti dunia misteri, gosip pesohor, berita kriminal, dan sebagainya.
Mata acara yang ditayangkan televisi pada umumnya akan diselingi sekitar lima kali commercial break (waktu jeda untuk iklan), sehingga waktu tayang efektif sebuah acara yang berdurasi satu jam hanya akan menyisakan 45-50 menit. Hal ini disebabkan durasi penayangannya telah dipotong oleh waktu jeda iklan. Harga yang dipatok oleh setiap stasiun televisi pun berbeda-beda untuk setiap kali slot iklan ditayangkan.
Mata acara yang ada pada jam siar utama (prime time) yaitu sekitar pukul 19.00 sampai 21.00 dan mempunyai rating cukup bagus akan mempunyai tarif pasang iklan yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan mata acara yang ada pada acara day time.
Penentuan jam siar utama yang ditetapkan oleh sebuah stasiun televisi biasanya didasarkan pada beberapa asumsi. Misalnya pada jam-jam tersebut pemirsa telah berada di rumah, dalam keadaan santai setelah letih bekerja, sehingga mereka diasumsikan membutuhkan informasi dan hiburan. Karena itu, televisi menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan pemirsa tersebut.
Dengan asumsi seperti inilah jam siar utama ditetapkan sehingga patokan harga iklan pada jam-jam tersebut relatif tinggi, karena apa pun iklan yang ditayangkan akan mempunyai potensi untuk dilihat banyak pemirsa.
Sebuah majalah yang diperuntukkan bagi komunitas periklanan melaporkan, salah satu mata acara yang digemari pemirsa berdasarkan rating yang diperolehnya pada jam siar utama bisa menghasilkan puluhan juta rupiah untuk setiap penayangan. Padahal dalam setiap kali jeda, bisa dimunculkan 10-17 kali slot iklan. Bisa dibayangkan berapa perputaran rupiah yang akan terjadi pada satu mata acara yang mempunyai rating bagus pada jam siar utama.
Cara-cara yang dilakukan oleh sebagian stasiun televisi dalam berkompetisi dengan stasiun lain adalah mengganggu mata acara yang memiliki rating bagus dengan acara-acara yang dianggap akan dapat meraih penonton cukup banyak.
Sebagai contoh Liga Italia dan Liga Inggris yang mempunyai rating cukup bagus diganggu (head to head) dengan mata acara yang berpotensi ditonton pemirsa seperti ''Ketoprak Humor'' dan "Senggal-senggol''. Sementara itu, ''Liputan Enam Petang'' dihadapkan dengan ''Carita de Angel'' yang juga mempunyai rating cukup bagus.
Strategi head to head seperti ini sebenarnya sah-sah saja selama ada batasan etik yang tidak merugikan pihak lain seperti pemirsa dan pekerja televisi.
Bagaimana dengan tayangan untuk anak-anak?
Hari Minggu merupakan hari yang disebut sebagai karnaval kartun. Artinya mulai pukul 06.00 sampai 12.00 anak-anak kita seperti dipaksa untuk setiap saat berada di depan televisi. Dalam situasi sebuah televisi seperti ini, tentu akan terjadi benturan kepentingan antara keinginan orangtua untuk mendisiplinkan anak dalam mengatur waktu belaja dan, tayangan yang menggoda pada jam belajar anak.
Kesadaran tentang televisi sebagai sebuah industri memang membawa berbagai konsekuensi. Salah satunya kentalnya nuansa komodifikasi.
Pada sisi ini pengelola dan praktisi televisi secara sadar akan membuat berbagai ragam acara yang bisa dijual. Akibatnya, televisi sering terjebak pada budaya instan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesaat.
Apabila tidak disadari, hal ini bisa menjerumuskan televisi pada situasi anarkis karena semua acaranya selalu didorong untuk mendapatkan keuntungan semata. Sesuai dengan sifatnya yang selalu mengikuti selera pasar, komodifikasi bisa dilakukan terhadap apa pun, bahkan terkadang menabrak nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi dalam masyarakat.
Melebihi Realitas
Jean Baudrillard mengatakan, dunia televisi adalah dunia yang sarat pencitraan, yakni realitas sosial senantiasa dimainkan dalam sebuah ruang pencitraan. Kaena itu, televisi seringkali menggambarkan realitas sosial melebihi realitas yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena kuatnya kemampuan televisi dalam melakukan pencitraan, sehingga apa pun yang dicitrakan oleh televisi sering menciptakan sebuah dunia hiper atau hiperealitas.
Realitas empiris yang dicitrakan oleh televisi sering melebihi realitas sesungguhnya. Ironisnya, realitas yang dicitrakan menjadi hiperealitas biasanya adalah hal-hal sensitif yang berkaitan dengan kehidupan pribadi sosok terkenal yang menyangkut persoalan seks, perselingkuhan, perceraian, dan sebagainya.
Model jurnalistik televisi yang sekarang banyak dianut juga sedang mengalami perubahan, terutama dengan semakin kuatnya pengaruh jurnalisme tabloid atau yang dikenal sebagai upaya tabloidization (tabloidisasi).
Berdasarkan sejarahnya, media tabloid memang mengkhususkan diri pada informasi seputar orang-orang terkenal. Caranya dengan memberitakan kehidupan pribadi seseorang sehingga informasi yang dominan adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan isu, gosip, rasanan yang disajikan dengan cara sensasional dan bombastis.
Tabloidisasi ternyata cukup manjur untuk menjawab persoalan di atas. Cara ini relatif tidak terlalu serius dalam model jurnalismenya akan tetapi bisa menjangkau khalayak yang sebelumnya sangat sulit dijangkau oleh media dan model jurnalisme yang serius.
Infotainmen adalah salah satu wujud bagaimana tabloidisasi telah mulai banyak dipakai oleh media televisi. Dengan kekuatan interaktifnya, infotainmen bisa dijumpai pada hampir semua stasiun televisi bakan mampu menyihir banyak penonton.
Pemirsa menjadi lebih familiar terhadap pergunjingan seputar dunia artis dan pesohor dibandingkan dengan persoalan sosial lain yang juga membutuhkan perhatian. Persoalan private yang dulu hanya bisa dibicarakan untuk konsumsi terbatas sekarang bisa dinikmati semua orang, dan bahkan dibuka lebar-lebar oleh televisi.
Telanjang
Transparansi yang ditawarkan bahkan berkesan telanjang. Artinya tidak ada lagi ruang bagi kita untuk menyembunyikan sesuatu di hadapan media. Tentu saja kebebasan seperti ini akan membawa cukup banyak persoalan, mengingat budaya kita relatif puritan dalam memandang nilai-nilai moral dan etika.
Berbagai kasus yang menyangkut kehidupan pribadi pesohor seperti perceraian, perselingkuhan, dan seksual menunjukkan telah terjadi eksploitasi besar-besaran media terhadap wilayah yang tadinya hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
Persoalan ini tentu saja tidak bisa dilihat secara linier dan sepihak, melainkan harus kita pahami dalam situasi ketika media telah berubah menjadi sebuah industri.
Lantas bagaimana tanggung jawab media? Bisakah kita menghakimi media karena munculnya begitu banyak persoalan yang dianggap oleh beberapa kalangan sebagai program pembodohan bangsa? Media memang harus selalu disikapi secara kritis, karena di samping potensi menjadi ruang bagi berkembangnya diskusi publik media juga bisa terjerembab pada munculnya eksploitasi, komodifikasi, simulasi, serta ''tabloidisasi'' yang bisa mencitrakan sesuatu melebihi realitas yang sebenarnya.
Bahkan yang lebih membahayakan adalah potensi media sebagai pemicu kemunculan pertarungan oposisi antara yang mendukung dan menentang suatu persoalan yang tengah menjadi wacana publik. Jika hal ini terjadi, fungsi informasi sebagai upaya untuk mengurangi ketidakpastian akan berubah menjadi sumber masalah dan sumber ketidakpastian.
Kesadaran lain yang bisa diungkapkan dari berbagai perseteruan kalangan artis dan pesohor dengan media adalah terjadi pertarungan sosiologis yang luar biasa baik sebelum sebuah berita ditayangkan maupun dampak yang ditimbulkannya. Hal ini terlihat dari upaya untuk mendapatkan rating yang bagus, sampai pada komodifikasi berita yang muaranya adalah profit.
Mungkinkah kita bisa melakukan dekomodifikasi agar seorang selebriti yang merasa overekspose untuk tampil di hadapan media bisa dilindungi agar eksposenya tidak berlebihan. Pada sisi yang lain masyarakat juga tidak merasa dijadikan objek tontonan semata?
Dekomodifikasi memang dimaksudkan sebagai sebuah bentuk perlindungan terhadap seseorang yang merasa tidak berdaya terhadap mekanisme pasar yang kadang-kadang anarkis. Persoalannya, bisakah kita membatasi gerak pasar sehingga bisa dihindari munculnya korban pasar selanjutnya? Inilah pekerjaan kita semua yang memang tidak ringan. Jika ini tidak berhasil, sudah selayaknya kita mewaspadai televisi.
*)Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip; pemerhati sosiologi media dan sedang menempuh S3 Sosiologi di UGM.
KORAN PAK OLES/EDISI 172/1-15 APRIL 2009

Thanks for reading Mewaspadai Media Televisi?

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar