Home » » “Transinformasi Bukan Transaksional”

“Transinformasi Bukan Transaksional”

Memang tidak adil untuk keponakan saya yang masih duduk di bangku kelas IV SD, harus mengeluarkan uang seribu rupiah untuk membayar sehelai kertas tes harian. Ini dilakukan oleh guru kelasnya ketika mengadakan tes harian. Seorang temannya berbisik padanya, “Paling cuma seratus perak aja, kok, harus bayar seribu, yah?” ujarnya. Keponakan saya hanya mengangguk sambil sedikit cemberut. Itu cerita keponakan saya ketika usai pulang sekolah pada ibunya atau kakak perempuan saya yang kemudian bertanya pada saya.
“ De’, biasanya kamu kasih harga kertas ulangan berapa?” tanyanya. Saya hanya bilang, “ Gratis atuh, teh, kan cuma selembar!” jawab saya. “ Memang kenapa?” lanjut saya. Lalu berceritalah kakak saya tentang cerita putrinya tadi. Saya terkejut dan kesal juga. Bisa dibandingkan, saya yang hanya guru honorer sekolah menengah pertama memberikan lembaran kertas tes harian untuk tiga kelas sekaligus dengan cuma-cuma. Guru kelas itu dengan status PNS, menjual selembar kertas tes harian dengan harga sepuluh kali lipat harga foto kopian. Terlalu! Kegeraman saya berlanjut dengan cerita kakak saya yang ternyata guru putrinya itu yang kadang-kadang hadir dengan alasan bahwa beliau sedang sekolah lagi alias kuliah lagi, serta tidak pernah menjelaskan materi.
Misalnya, ketika membahas soal matematika, keponakan saya mendapat nilai kurang. Karena sang guru menyalahkan jawaban soal matematikanya dengan sembrangan. Berbeda ketika keponakan saya kelas satu sampai tiga dia pernah mengambil les matematika pada seorang guru yang menggunakan metode perhitungan yang mudah diingat dan dihitung dengan jari. Dari pertambahan sampai pembagian. Semua metode sang guru les tersebut tidak dibenarkan oleh guru kelasnya yang sekarang. Padahal guru kelasnya di kelas satu sampai tiga juga sampai bertanya pada guru les tersebut. Mereka sama-sama menggunakan metode yang memudahkan anak untuk menghitung matematika.
Selain pelajran matematikanya, pelajaran yang lain pun disalahkan karena salah menjawab soal IPS yang berhubungan dengan perhitungan skala peta. Metode perhitungan skala peta pernah saya jelaskan pada keponakan saya pun disalahkan karena jalannya yang salah. Saya adalah guru IPS menjadi merasa jengah dengan tindakan guru kelas keponakan saya.
Di sini saya bukan ingin menuntut bahwa tindakan guru tadi salah atau benar. Saya yakin semua pun tidak membenarkan tindakan guru kelas keponakan saya tadi. Akan tetapi, kondisi seperti ini sudah menjadi tradisi lama yang menjadi-jadi. Untuk menghentikannya, saya mungkin saja langsung menegur guru tersebut. Saya urungkan niat saya karena saya tahu tindakan saya akan berakibat negatif untuk keponakan saya. Lalu saya berikan motivasi pada keponakan saya untuk sedikit memberontak. Jika diminta ulang lagi jangan mau. Itu saya lakukan agar guru tersebut mau berubah karena reaksi dari anak-anaknya sendiri. Akhirnya sang guru mendapat reaksi karena ada yang berani menolak, sehingga guru tidak melanjutkan tindakannya.
Sekarang turun UU profesionalisme untuk guru. Di sini tentunya kita bisa merasakan apa yang seharusnya menjadi kewajiban seorang guru. Baik itu guru yang honorer dan guru PNS, ketika menyandang tanggung jawab maka setiap keluhan dari anak didik musti dan wajib diperhatikan. Guru harus bertindak profesional bukan transaksional.
Status bukan menjadi perhatian melainkan pada sisi sosok pribadi seorang guru terhadap anak didiknya. Kondisi yang menimpa pada keponakan saya atas tindakan guru di kelas. Kondisi yang tidak kondusif itu akan buruk jika ditambah dengan tidak adanya interaksi berupa komunikasi antara guru kelas dengan orang tua.
Peranan guru berada di sekolah dan peran orang tua di lingkungan rumah. Jika ini berlanjut dengan harmonis menghasilkan anak-anak yang cerdas dan kreatif. Jika dihambat dengan drastis akibatnya menimbulkan konflik dalam diri si anak. Kasus ini saya harap tidak terjadi di tempat lain. Ini mengakibatkan kerugian status sosial dalam diri seseorang yang seharusnya patut untuk digugu dan ditiru. Apa yang akan digugu dan ditiru jika input yang diperoleh melakukan hal yang menjadi konflik di setiap orang. Saya selalu berkata pada keponakan saya agar melakukan tugas di sekolah dengan baik. Itu adalah kewajiban seorang pelajar. Tapi jika yang didapat keponakan saya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka orang tualah yang menjadi repot dan bingung. Mengapa begini dan begitu. Mengapa harus begini dan harus begitu.
Di sini guru justru dituntut untuk tetap mengabdi dan melayani anak didik layaknya seorang pelayan melayani pelanggan. Tapi tujuan guru lebih dari hanya melayani bahkan harus memberikan contoh yang baik. Dari ucapan, tindakan dan bahkan gurauan akan selalu menjadi sorotan. Kedua orangtua saya adalah guru dengan status pegawai negeri sipil. Dari merekalah saya belajar bagaimana menjadi guru yang ideal. Dari mereka pula saya merasakan perjuangan sebagai seorang guru. Sebagai seorang anak guru saya mendapat pendidikan dan panutan yang luar biasa. Merekalah panutan saya. Mereka memberikan pandangan yang lebih luas dan bertujuan.
Mereka pernah marah dan juga pernah menghukum saya dengan keras tapi itu berujung pada kebaikan dalam diri saya. Mereka mencurah sebagian besar waktunya untuk anak didik mereka. Bercermin dari kedua orang tua. Saya pun mengikuti jejak mereka. Memilih menjadi seorang guru.
(Komentar: Annisa Hidayati Rohimi, SPd., tinggal di Kel. Cicadas, Kec. Cibeunying, Bandung).
KORAN PAK OLES/EDISI 172/1-15 APRIL 2009
Thanks for reading “Transinformasi Bukan Transaksional”

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar