Home » , » Air Untuk Hidup Semakin Mahal

Air Untuk Hidup Semakin Mahal

Oleh: Nur R Fajar
Air adalah kehidupan, karena air menjadi komponen paling utama untuk kehidupan makhluk hidup. Bagi manusia kebutuhan air menjadi salah satu hak asasi manusia. Pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan air bagi masyarakat seperti diatur dalam konvensi internasional dan konstitusi.
Ada berbagai konvensi internasional yang menyinggung masalah kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan air, misalnya Konvensi tentang Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) pada artikel 24 yang menyebutkan hak asasi manusia atas air, dan Konvensi tentang Penghapusan Berbagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination of All Forms of Discrimination against Women), pada artikel 14 ayat (2) huruf h yang menegaskan agar negara menjamin hak perempuan akan sanitasi dan air minum yang sehat.
Negara-negara anggota PBB juga berkomitmen pada salah satu dari 12 Tujuan Pembangunan Millenium atau MDGs (Millenium Development Goals) yaitu untuk menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya.
Konstitusi nasional tentang air seperti Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan peraturan pemerintah turunannya.
Apakah pemerintah sudah menyediakan air secara memadai untuk kehidupan mendasar warga negaranya terutama masyarakat miskin? taf Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mimin Dwi Hartono dalam tulisannya di sebuah media massa nasional mengatakan ada tiga faktor untuk mengukur terpenuhinya hak asasi manusia atas air yaitu ketersediaan, kualitas dan keterjangkauan atau aksesibilitas.
Ketersediaan adalah jumlah air yang mencukupi kebutuhan minimal untuk hidup keseharian baik sendiri maupun dengan keluarga, sedangkan kualitas adalah mutu air yang dikonsumsi harus sehat dan layak, khususnya bagi anak-anak dan perempuan.
Keterjangkauan adalah air yang bisa dijangkau oleh setiap orang tanpa terkecuali, baik dari sisi fisik yaitu air yang higenis atau menyehatkan, sisi ekonomis yaitu harga yang terjangkau bahkan bila dimungkinkan gratis, sisi nondiskriminasi yaitu tidak boleh ada pembedaan terhadap siapa pun dalam mengakses air, dan sisi informasi, yaitu ketersediaan informasi yang memadai tentang air.
Dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 dari Program Pembangunan PBB (UNDP), sekitar 2,6 miliar orang masih mengalami kekurangan akses atas sanitasi air yang bersih dan memadai dan dua juta anak-anak meninggal setiap tahun akibat kekurangan air yang bersih dan sehat, serta satu miliar orang masih mengalami kekurangan atas akses terhadap air yang bersih dan layak.
UNDP menyatakan kurangnya akses atas air yang bersih dan layak bukan disebabkan oleh kelangkaan air atau jumlah air yang semakin menurun, tetapi oleh karena kemiskinan yang akut, kesenjangan kondisi sosial ekonomi, dan kegagalan kebijakan pemerintah.
Tak berpihak
Juru Kampanye Air dan Pangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) nasional, Erwin Rusman mengatakan air dikomersialkan sebagai komoditas kebutuhan hidup yang tidak berpihak kepada rakyat miskin sejak diberlakukannya UU Sumberdaya Air. Hal itu terlihat dari perusahaan-perusahaan penyedia air seperti PAM (perusahaan air minum) dan perusahaan air kemasan baik nasional, yang dimiliki perusahaan pemodal asing sampai perusahaan lokal yang tidak berpihak pada warga miskin karena makin mahal. "Pada 2005, Walhi bersama masyarakat meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Sumberdaya Air karena disinyalir adanya kepentingan dari Bank Dunia dan perusahaan pemodal asing untuk melakukan privatisasi air di Indonesia," kata Rusman.
Advokat dari LSM Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Tubagus Haryo Karbyanto, dalam dialog publik bertajuk Penyediaan Air Bersih Bagi Warga Miskin Jakarta di Jakarta mengatakan privatisasi pengelolaan air minum tidak meningkatkan kualitas dari air minum yang dihasilkan sehingga perlu dipikirkan sistem terkait pengelolaan air di Indonesia. "Pengelolaan air minum oleh swasta tidak meningkatkan kualitas air minum, dan harga tidak semakin rendah melainkan semakin mahal," katanya
Usaha swasta yang mengelola air selalu profit oriented karena karakteristik yang tidak dapat dilepaskan. Bahwa sebagai bentuk usaha yang harus mengusahakan keuntungan yang optimal bagi para pemegang saham," kata Tubagus. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan kewajiban seperti ditetapkan dalam Pasal 5 UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Rusak Lingkungan
Selain diprivatisasi pemodal, ketersediaan air bagi hidup masyarakat makin sangat berkurang karena rusaknya lingkungan seperti perusakan hutan baik oleh pengambilan hasil hutan secara legal dan ilegal maupun rusaknya 318 DAS di seluruh Indonesia. Walhi mencatat ada 63 dari 318 DAS tersebut yang dalam kondisi rusak parah termasuk 14 DAS penting di seluruh Indonesia. Rusman mengatakan pada kurun waktu 2001 - 2007, pemerintah menganggarkan satu miliar dolar AS bagi Departemen Kehutanan (Dephut) sebagai ujung tombak institusi negara untuk memperbaiki kondisi DAS (daerah aliran sungai) tersebut. "Penelitian Walhi pada 2008 melihat 63 DAS tersebut tetap rusak, terutama DAS di Jawa. 14 DAS penting itu belum juga beranjak dari super kritis," katanya.
Tidak berjalannya program pemulihan dan konservasi DAS, lanjut Rusman, disebabkan carut marut dan tidak terkoordinasinya program antar departemen pengelola sumber daya alam seperti Dephut, Departemen Pertanian (Deptan), Departemen ESDM, Departemen Pekerjaan Umum dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH).
Meski saat ini sudah ada program terpadu dari empat instansi pemerintah tersebut untuk mengelola DAS di Indonesia, Rusman melihat hasilnya masih jauh dari harapan. "Fakta di lapangan menunjukkan Dephut punya program reboisasi, tapi Deptan mengeluarkan izin alih fungsi lahan. Belum izin alih fungsi lahan dari walikota dan bupati yang tak terkendali karena otonomi daerah," katanya.
Akibatnya, laju perusakan lingkungan masih tetap tinggi dan data Walhi 2008 menunjukkan hanya 4 persen daerah di Jawa yang bisa memenuhi kebutuhan air bersih. Masyarakat pengguna air terutama petani juga seringkali bentrok karena harus berebut air untuk sawahnya pada musim kemarau
Walhi dan organisasi lingkungan lain melihat solusi menyeluruh untuk menyelamatkan lingkungan hidup di Indonesia, termasuk untuk air adalah dengan melakukan revisi terhadap UU Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) sebagai undang-undang bagi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Rusman mengatakan UU PSDA akan mengarahkan undang-undang lain seperti UU Sumber Daya Air, UU Minerba, UU Pembaharuan Agraria dan undang-undang yang mengesploitasi sumber daya alam agar serasi dan sesuai dengan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Solusi akhir yang menyeluruh adalah kembali ke UU PSDA. Yang penting bagaimana keberanian politik dari pemerintah dan dukungan kuat dari akademisi dan LSM untuk UU PSDA. (Anspek)
KORAN PAK OLES/EDISI 172/1-15 APRIL 2009
Thanks for reading Air Untuk Hidup Semakin Mahal

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar