OLEH: INDAH WULANDARI
hadni_wulan@yahoo.co.id
Dan
Menangislah
Karna itu ia ada
Sesungguhnya air mata itu ialah do’a
Peluncuran dan bedah buku Kitab Ceng’eng karya Raden Prakiyul Wahono Noto Susanto (20/3) di Toko Buku Toga Mas, Jl Hayam Wuruk, Denpasar lalu nyatanya tak dibumbui tangisan. Walaupun nuansa kesedihan tercetak dari cover hitam plus kutipan bait kata di atas.
Iyoel, sang perupa muda ISI Denpasar kali ini sengaja tuangkan perasaannya dalam prosa dan larik puisi. Buku kedua setelah antologi puisi “Tuhan Langit begitu Kosong” ini jadi sebuah persembahan di momen 100 hari meninggalnya sang ayah. Bagi awam, air mata selalu identik dengan rasa kedukaan. Tidak bagi Iyoel, dalam seratus puisinya ia mampu padukan rasa sedih, bahagia, duka, dan tawa. ‘’Air mata merupakan bentuk doa bagi ayah yang coba aku dokumentasikan dalam buku ini,” terangnya.
Kehadiran sosok ayah merupakan sebuah sisi personal yang berani ia tampilkan ke tengah publik. Ia merasa ini sebuah keberaniannya untuk menunjukkan sisi cengeng seorang lelaki jantan. Namun, Iyoel juga mengakui munculnya ketakutan saat sodorkan bentuk dokumentasi sastranya ke publik. Apakah nantinya, sebut Iyoel, pembaca akan atau juga mengalami hal seperti dirinya sehingga esensi puisi-puisinya terapresiasi dengan tepat.
Tuntas membaca puisi Satu Pesan Diterima, Iyoel malam itu menerima beberapa komentar dan kritikan dari para pengunjung. Frans Wisnu Murti, seorang penulis senior Bali menilai masih ada beberapa kekurangan dalam bentuk sastrawi. Puisi tersebut mirip cerpen dan minim metafora. Bakat otodidak Iyoel, tambah Frans, cenderung membawa luapan emosinya tanpa diembeli bekal ilmu kesusasteraan.
Ia menyarankan agar Iyoel dan seniman muda lain membaca literatur lebih banyak sebelum menerbitkan karya cetak bagi publik. Sedangkan komentar sejuk dilontarkan sastrawan gaek Bali, Abu Bakar. Ia melihat ada keunikan pada gaya bahasa dan ekspresi Iyoel. Gaya balada yang jujur dan apa adanya selalu terbetik dalam karya.
Pria kelahiran Depok 20 tahun lalu ini selalu percaya diri dalam merangkai kata dan memilih diksi sehingga tertangkap kesan tidak berlebihan. Dari sana tergambar sikapnya dalam menghadapi proses hidup, menilai hidup, gambaran sebuah ketegaran. Sajak-sajak puisi Kitab Ceng’eng menggunakan diksi bersahaja yang terkesan ringan. Secara keseluruhan, Ceng’eng adalah kumpulan sajak yang memaknai kehidupan ini dengan berjubelnya berbagai masalah.
hadni_wulan@yahoo.co.id
Dan
Menangislah
Karna itu ia ada
Sesungguhnya air mata itu ialah do’a
Peluncuran dan bedah buku Kitab Ceng’eng karya Raden Prakiyul Wahono Noto Susanto (20/3) di Toko Buku Toga Mas, Jl Hayam Wuruk, Denpasar lalu nyatanya tak dibumbui tangisan. Walaupun nuansa kesedihan tercetak dari cover hitam plus kutipan bait kata di atas.
Iyoel, sang perupa muda ISI Denpasar kali ini sengaja tuangkan perasaannya dalam prosa dan larik puisi. Buku kedua setelah antologi puisi “Tuhan Langit begitu Kosong” ini jadi sebuah persembahan di momen 100 hari meninggalnya sang ayah. Bagi awam, air mata selalu identik dengan rasa kedukaan. Tidak bagi Iyoel, dalam seratus puisinya ia mampu padukan rasa sedih, bahagia, duka, dan tawa. ‘’Air mata merupakan bentuk doa bagi ayah yang coba aku dokumentasikan dalam buku ini,” terangnya.
Kehadiran sosok ayah merupakan sebuah sisi personal yang berani ia tampilkan ke tengah publik. Ia merasa ini sebuah keberaniannya untuk menunjukkan sisi cengeng seorang lelaki jantan. Namun, Iyoel juga mengakui munculnya ketakutan saat sodorkan bentuk dokumentasi sastranya ke publik. Apakah nantinya, sebut Iyoel, pembaca akan atau juga mengalami hal seperti dirinya sehingga esensi puisi-puisinya terapresiasi dengan tepat.
Tuntas membaca puisi Satu Pesan Diterima, Iyoel malam itu menerima beberapa komentar dan kritikan dari para pengunjung. Frans Wisnu Murti, seorang penulis senior Bali menilai masih ada beberapa kekurangan dalam bentuk sastrawi. Puisi tersebut mirip cerpen dan minim metafora. Bakat otodidak Iyoel, tambah Frans, cenderung membawa luapan emosinya tanpa diembeli bekal ilmu kesusasteraan.
Ia menyarankan agar Iyoel dan seniman muda lain membaca literatur lebih banyak sebelum menerbitkan karya cetak bagi publik. Sedangkan komentar sejuk dilontarkan sastrawan gaek Bali, Abu Bakar. Ia melihat ada keunikan pada gaya bahasa dan ekspresi Iyoel. Gaya balada yang jujur dan apa adanya selalu terbetik dalam karya.
Pria kelahiran Depok 20 tahun lalu ini selalu percaya diri dalam merangkai kata dan memilih diksi sehingga tertangkap kesan tidak berlebihan. Dari sana tergambar sikapnya dalam menghadapi proses hidup, menilai hidup, gambaran sebuah ketegaran. Sajak-sajak puisi Kitab Ceng’eng menggunakan diksi bersahaja yang terkesan ringan. Secara keseluruhan, Ceng’eng adalah kumpulan sajak yang memaknai kehidupan ini dengan berjubelnya berbagai masalah.
0 komentar:
Posting Komentar