Oleh: Abby Triatmoko*
Sudah sejak lama terdapat korelasi yang erat antara hutan, Tuhan, dan hantu. Mengapa? Karena hutan diciptakan Tuhan untuk kebaikan seluruh umat manusia, namun hutan sudah terlalu banyak dicuri oleh “hantu-hantu” pembalakan liar. Para pembalak liar itu jelas tidak mau menebang kayu secara terang-terangan atau legal, karena sifat hantu memang paling suka di tempat gelap. Sosok mereka memang berwujud manusia, namun berjiwa hantu karena tergoda bisikan setan. Bersyukurlah bahwa sebagian hantu-hantu tersebut sudah berhasil ditangkap pihak berwajib.
Keberhasilan Tim Mabes Polri dalam membongkar penyelundupan kayu di Kalimantan Barat ke Malaysia belum lama ini, patut diapresiasi. Dalam operasi tersebut, telah disita tidak kurang dari 12 ribu meter kubik kayu jenis bengkirai senilai sekitar Rp 208 miliar bersama 19 kapal layar motor dan 3 kapal motor. Kayu-kayu itu telah dipotong menjadi papan dan balok.
Kasus besar tersebut membuktikan bahwa jaringan penyelundupan kayu di daerah perbatasan merupakan “lingkaran hantu” yang sulit diberantas karena melibatkan aparat dan penduduk setempat. Kasus penyelundupan ini juga dirangsang oleh perbedaan mata uang yang lebih besar, apalagi kayu dari hutan Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga penadah internasional mampu membayar mahal setiba di wilayah Malaysia.
Kayu-kayu tersebut biasanya akan diekspor ke negara yang banyak memerlukan kayu seperti Jepang, Korea, Cina, bahkan sampai ke Eropa. Keberhasilan Tim Mabes Polri sebagai “Tim Pemburu Hantu” menjadi kado manis bagi Departemen Kehutanan yang kini genap berusia 25 tahun. Sebab, jika setiap jamnya hutan seluas 300 kali lapangan sepak bola saja terus dirusak hantu-hantu pemakan kayu, maka kelak kita mempunyai Departemen Kehutanan yang tidak memiliki hutan.
Anehnya dalam tahun-tahun terakhir ini, penyelundupan kayu dianggap seperti persoalan biasa. Padahal, jika ditambah kasus-kasus serupa di kawasan lain, seperti Sumatera, Papua dan Maluku, kita mungkin baru sadar bahwa kasus itu bukan persoalan biasa lagi. Kasus tersebut jelas merupakan tindak kejahatan yang merongrong kedaulatan NKRI.
Kawasan hutan lindung
Dalam UU Pokok Kehutanan No 41/1999 Bab 1 pasal 8 disebutkan bahwa hutan lindung adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Tidak ada sama sekali frasa yang menyatakan hutan lindung adalah hutan untuk kegiatan pertambangan. Namun kini faktanya ada 13 perusahaan tambang yang beroperasi di hutan lindung.
PP No 2/2008 berbicara tentang jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari penggunaan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Variabel L1, L2, dan L3 adalah area yang terganggu karena penggunaan kawasan tersebut. Baik yang bersifat permanen dan bukan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan (L1), atau yang sifatnya temporer dan secara teknis dapat dilakukan reklamasi (L2), maupun bersifat permanen dan secara teknis tidak dapat direklamasi (L3).
Tarif yang dikenakan bergantung pada jenis PNBP, namun kisarannya Rp 1,2 juta -- Rp 3 juta per hektare per tahun. Itu setara dengan Rp 300,-- per meter persegi per tahun. Itu terlalu murah. Tetapi sulit menghitung biaya sewa pengelolaan hutan lindung, apalagi untuk pertambangan. Perlu banyak variabel yang harus dimasukkan sebagai item nilai tarif yang harus dibayarkan. Apalagi kegiatan sewa itu bisa menimbulkan kerusakan fatal atas hutan.
Aktivitas pertambangan terbuka akan menghancurkan segala jenis pepohonan. Mulai sumber plasma nutfah, jenis-jenis tanaman langka yang belum pernah diketahui fungsi dan manfaatnya, mikro dan makrofauna tanah, hingga habitat segala hewan penghuni hutan. Semua kerusakan itu tidak pernah dihitung dan dimasukkan dalam variabel biaya yang harus dibayarkan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengestimasi kerugian negara mencapai Rp 70 triliun per tahun. Itu berarti 2.500 persen dari potensi PNBP yang diperoleh (Rp 2,78 triliun per tahun). Angka tersebut fantastis bila kita menghitung untung-ruginya. Sebab, jasa lingkungan dari hutan dan proses pedologi yang membutuhkan waktu ribuan tahun tidak bisa dinilai dengan materi.
Belum lagi dampak buruk lingkungan akibat hilangnya penutupan vegetasi suatu kawasan. Bahaya banjir, erosi, tanah longsor, dan pemanasan global membutuhkan lebih banyak biaya, baik untuk penanggulangan bencana maupun dana recovery. Setelah bencana terjadi, berapa biaya sosial yang harus ditanggung pemerintah? Penderitaan jutaan rakyat, rumah-rumah yang porak-poranda, serta air mata dan kesedihan harus dibayar akibat kebijakan yang destruktif itu.
Kedaulatan Tuhan
Dari segi teologi lingkungan, hutan yang disewakan sebenarnya bukanlah milik kita. Hutan itu milik Tuhan. Yang ada hak guna pakai, manusia bukan pemilik mutlak. Tuhan yang menumbuhkan hutan. Sebab Dia yang menabur benih-benihnya serta dengan sabar memelihara hingga dewasa. Sudahkah kita minta izin kepada Tuhan untuk menyewakan hutan-Nya?
Penyewaan hutan lindung ini menunjukkan sikap pemerintah yang tidak mau belajar dari alam. Agaknya ribuan bencana seperti banjir dan tanah longsor tidak sungguh-sungguh menyadarkan pola pikir para pengambil keputusan.
Dalam PP No 2/2008 orientasi pemerintah hanya keuntungan belaka. Padahal keuntungannya tidak sebanding dengan bencana yang bisa terjadi. Dalam Webs of Life, F Capra mengungkapkan bahwa alam tidak mungkin menghancurkan hidup manusia secara sengaja. Tetapi alam yang teraniaya oleh ulah manusia bisa menimbulkan beragam bencana.
Dalam bukunya Global Responsibility untuk pertemuan Parlemen Agama-agama Dunia tahun 1993 yang melahirkan konsensus Etik Global, Hans Kung mengingatkan manusia untuk tidak sewenang-wenang atau menganiaya alam, seperti membabat hutan.
Hans Kung prihatin melihat data yang menunjukkan betapa seriusnya persoalan ekologis global. Antara lain, setiap tahun, sebuah wilayah hutan tropis seluas tiga perempat ukuran Korea dihancurkan dan lenyap. Akibatnya, setiap dasawarsa, suhu atmosfer meningkat drastis 1,5 -- 4,5 derajat Celsius sehingga permukaan air laut naik. Hal ini pasti membawa resiko bencana besar bagi wilayah-wilayah pantai di seluruh muka bumi.
Seperti di negeri kita ini, air bah dari sungai dan laut meluap seakan tak kenal ampun menggenangi berbagai daerah, termasuk di wilayah Ibu Kota. Tidak ketinggalan kaum petani dan nelayan menjadi semakin miskin karena mata pencaharian mereka sangat ditentukan oleh perubahan iklim tersebut. Kerugian materi, bahkan nyawa dan semangat hidup menjadi bayarannya.
Karena itu, Hans Kung mengajak umat beragama untuk kembali mengakui kedaulatan Tuhan atas alam, termasuk atas hutan kita. Pengakuan atas kedaulatan itu harus tampak pada segala bentuk kebijakan dan perilaku yang memelihara alam. Segala bentuk penebangan liar atau menyewakan hutan lindung mestinya dihentikan. Jangan baru sadar, saat bencana datang.
*) Aktivis lingkungan hidup, alumnus Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, tinggal di Jakarta Selatan.
Sudah sejak lama terdapat korelasi yang erat antara hutan, Tuhan, dan hantu. Mengapa? Karena hutan diciptakan Tuhan untuk kebaikan seluruh umat manusia, namun hutan sudah terlalu banyak dicuri oleh “hantu-hantu” pembalakan liar. Para pembalak liar itu jelas tidak mau menebang kayu secara terang-terangan atau legal, karena sifat hantu memang paling suka di tempat gelap. Sosok mereka memang berwujud manusia, namun berjiwa hantu karena tergoda bisikan setan. Bersyukurlah bahwa sebagian hantu-hantu tersebut sudah berhasil ditangkap pihak berwajib.
Keberhasilan Tim Mabes Polri dalam membongkar penyelundupan kayu di Kalimantan Barat ke Malaysia belum lama ini, patut diapresiasi. Dalam operasi tersebut, telah disita tidak kurang dari 12 ribu meter kubik kayu jenis bengkirai senilai sekitar Rp 208 miliar bersama 19 kapal layar motor dan 3 kapal motor. Kayu-kayu itu telah dipotong menjadi papan dan balok.
Kasus besar tersebut membuktikan bahwa jaringan penyelundupan kayu di daerah perbatasan merupakan “lingkaran hantu” yang sulit diberantas karena melibatkan aparat dan penduduk setempat. Kasus penyelundupan ini juga dirangsang oleh perbedaan mata uang yang lebih besar, apalagi kayu dari hutan Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga penadah internasional mampu membayar mahal setiba di wilayah Malaysia.
Kayu-kayu tersebut biasanya akan diekspor ke negara yang banyak memerlukan kayu seperti Jepang, Korea, Cina, bahkan sampai ke Eropa. Keberhasilan Tim Mabes Polri sebagai “Tim Pemburu Hantu” menjadi kado manis bagi Departemen Kehutanan yang kini genap berusia 25 tahun. Sebab, jika setiap jamnya hutan seluas 300 kali lapangan sepak bola saja terus dirusak hantu-hantu pemakan kayu, maka kelak kita mempunyai Departemen Kehutanan yang tidak memiliki hutan.
Anehnya dalam tahun-tahun terakhir ini, penyelundupan kayu dianggap seperti persoalan biasa. Padahal, jika ditambah kasus-kasus serupa di kawasan lain, seperti Sumatera, Papua dan Maluku, kita mungkin baru sadar bahwa kasus itu bukan persoalan biasa lagi. Kasus tersebut jelas merupakan tindak kejahatan yang merongrong kedaulatan NKRI.
Kawasan hutan lindung
Dalam UU Pokok Kehutanan No 41/1999 Bab 1 pasal 8 disebutkan bahwa hutan lindung adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Tidak ada sama sekali frasa yang menyatakan hutan lindung adalah hutan untuk kegiatan pertambangan. Namun kini faktanya ada 13 perusahaan tambang yang beroperasi di hutan lindung.
PP No 2/2008 berbicara tentang jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari penggunaan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Variabel L1, L2, dan L3 adalah area yang terganggu karena penggunaan kawasan tersebut. Baik yang bersifat permanen dan bukan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan (L1), atau yang sifatnya temporer dan secara teknis dapat dilakukan reklamasi (L2), maupun bersifat permanen dan secara teknis tidak dapat direklamasi (L3).
Tarif yang dikenakan bergantung pada jenis PNBP, namun kisarannya Rp 1,2 juta -- Rp 3 juta per hektare per tahun. Itu setara dengan Rp 300,-- per meter persegi per tahun. Itu terlalu murah. Tetapi sulit menghitung biaya sewa pengelolaan hutan lindung, apalagi untuk pertambangan. Perlu banyak variabel yang harus dimasukkan sebagai item nilai tarif yang harus dibayarkan. Apalagi kegiatan sewa itu bisa menimbulkan kerusakan fatal atas hutan.
Aktivitas pertambangan terbuka akan menghancurkan segala jenis pepohonan. Mulai sumber plasma nutfah, jenis-jenis tanaman langka yang belum pernah diketahui fungsi dan manfaatnya, mikro dan makrofauna tanah, hingga habitat segala hewan penghuni hutan. Semua kerusakan itu tidak pernah dihitung dan dimasukkan dalam variabel biaya yang harus dibayarkan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengestimasi kerugian negara mencapai Rp 70 triliun per tahun. Itu berarti 2.500 persen dari potensi PNBP yang diperoleh (Rp 2,78 triliun per tahun). Angka tersebut fantastis bila kita menghitung untung-ruginya. Sebab, jasa lingkungan dari hutan dan proses pedologi yang membutuhkan waktu ribuan tahun tidak bisa dinilai dengan materi.
Belum lagi dampak buruk lingkungan akibat hilangnya penutupan vegetasi suatu kawasan. Bahaya banjir, erosi, tanah longsor, dan pemanasan global membutuhkan lebih banyak biaya, baik untuk penanggulangan bencana maupun dana recovery. Setelah bencana terjadi, berapa biaya sosial yang harus ditanggung pemerintah? Penderitaan jutaan rakyat, rumah-rumah yang porak-poranda, serta air mata dan kesedihan harus dibayar akibat kebijakan yang destruktif itu.
Kedaulatan Tuhan
Dari segi teologi lingkungan, hutan yang disewakan sebenarnya bukanlah milik kita. Hutan itu milik Tuhan. Yang ada hak guna pakai, manusia bukan pemilik mutlak. Tuhan yang menumbuhkan hutan. Sebab Dia yang menabur benih-benihnya serta dengan sabar memelihara hingga dewasa. Sudahkah kita minta izin kepada Tuhan untuk menyewakan hutan-Nya?
Penyewaan hutan lindung ini menunjukkan sikap pemerintah yang tidak mau belajar dari alam. Agaknya ribuan bencana seperti banjir dan tanah longsor tidak sungguh-sungguh menyadarkan pola pikir para pengambil keputusan.
Dalam PP No 2/2008 orientasi pemerintah hanya keuntungan belaka. Padahal keuntungannya tidak sebanding dengan bencana yang bisa terjadi. Dalam Webs of Life, F Capra mengungkapkan bahwa alam tidak mungkin menghancurkan hidup manusia secara sengaja. Tetapi alam yang teraniaya oleh ulah manusia bisa menimbulkan beragam bencana.
Dalam bukunya Global Responsibility untuk pertemuan Parlemen Agama-agama Dunia tahun 1993 yang melahirkan konsensus Etik Global, Hans Kung mengingatkan manusia untuk tidak sewenang-wenang atau menganiaya alam, seperti membabat hutan.
Hans Kung prihatin melihat data yang menunjukkan betapa seriusnya persoalan ekologis global. Antara lain, setiap tahun, sebuah wilayah hutan tropis seluas tiga perempat ukuran Korea dihancurkan dan lenyap. Akibatnya, setiap dasawarsa, suhu atmosfer meningkat drastis 1,5 -- 4,5 derajat Celsius sehingga permukaan air laut naik. Hal ini pasti membawa resiko bencana besar bagi wilayah-wilayah pantai di seluruh muka bumi.
Seperti di negeri kita ini, air bah dari sungai dan laut meluap seakan tak kenal ampun menggenangi berbagai daerah, termasuk di wilayah Ibu Kota. Tidak ketinggalan kaum petani dan nelayan menjadi semakin miskin karena mata pencaharian mereka sangat ditentukan oleh perubahan iklim tersebut. Kerugian materi, bahkan nyawa dan semangat hidup menjadi bayarannya.
Karena itu, Hans Kung mengajak umat beragama untuk kembali mengakui kedaulatan Tuhan atas alam, termasuk atas hutan kita. Pengakuan atas kedaulatan itu harus tampak pada segala bentuk kebijakan dan perilaku yang memelihara alam. Segala bentuk penebangan liar atau menyewakan hutan lindung mestinya dihentikan. Jangan baru sadar, saat bencana datang.
*) Aktivis lingkungan hidup, alumnus Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, tinggal di Jakarta Selatan.
0 komentar:
Posting Komentar