OLEH: AGUS SALAM
Kineforum kembali mengadakan rangkaian kegiatan pemutaran film Indonesia klasik dan kontemporer yang dikumpulkan oleh para kurator muda di Taman Ismail Marzuki baru-baru ini. Delapan puluh dua tahun sejak produksi film pertama di Indonesia dicatat, film Indonesia dapat kembali menemui penontonnya dengan berbagai tawaran pilihan.
Kineforum DKI yang genap berusia setahun pada Maret 2008 ini, berupaya meningkatkan kepedulian publik terhadap sinematek Indonesia (SI) satu-satunya arsip film di Indonesia yang menyimpan sejarah film Indonesia. Tema Sejarah Adalah Sekarang’ membuktikan semangat pada zamannya bukan hanya dalam bentuk visual, tapi juga menampilkan musik bahkan bahasa dari berbagai periode dan beragam kelompok masyarakat sebagai kekayaan dimensi.
Pertunjukan pertama bioskop di Indonesia pada 1900 (hanya 5 tahun setelah pemutaran gambar bergerak pertama di dunia pada 1895), berlangsung di sebuah rumah di Kebondjae dekat Tanah Abang. Bioskop menjadi tempat berkumpul baru untuk melihat keajaiban teknologi gambar bergerak. Pertunjukan pertama itu isinya adalah gambar Ratu Belanda berkunjung ke tanah jajahan. Film pertama di Indonesia, berfungsi sebagai berita. Bisa dibilang para penonton ditarik oleh keajaiban teknologi gambar hidup. Bukan isinya.
Setelah mengelola ruang bioskop selama lebih dari satu tahun belakangan dan menjalankan macam-macam program tentang sejarah film Indonesia dan dunia, kineforum merasa ada lagi hal lain yang perlu ditampilkan. Sebagai bioskop dengan beragam kegiatan, kineforum merasa perlu melihat kembali perjalanan bioskop dalam masyarakat (pembuat dan penonton) film di Indonesia.
Kalau awalnya di bioskop para penonton cuma bisa menyaksikan gambar bergerak, kemudian pada tahun 1930-an bioskop di Indonesia mulai menyajikan suara pula. Keajaiban baru teknologi ini, sekali lagi diterima dengan gembira oleh khalayak. Penonton bahkan menjebol pintu bioskop untuk bisa menyaksikan keajaiban baru itu. Bioskop pada awalnya adalah simbol kemajuan teknologi presentasi. Khalayak yang ingin serta dalam laju kemajuan teknologi berkumpul di bioskop untuk menjadi saksi.
Lama kelamaan bioskop menjadi ruang yang mapan, tempat berkumpul masyarakat kota yang ingin dihibur dan melupakan kehidupannya yang mulai membosankan akibat rutinitas kerja. Jam pertunjukan pun disesuaikan dengan waktu kerja penduduk kota. Gedung bioskop dibangun dengan arsitektur megah pada zamannya, untuk menonjolkan perannya sebagai ruang pamer teknologi hiburan mutakhir. Supaya segmen penontonnya beragam, ruang dalam bioskop dibagi untuk para penonton dari segala tingkat penghasilan. Kaum berduit dapat posisi yang lebih baik dibandingkan dengan yang miskin.
Timbulnya ruang publik baru ini juga menawarkan kemungkinan interaksi baru untuk penduduk kota. Ada orang yang datang ke bioskop hanya untuk duduk berdampingan bersama pacarnya di ruang gelap. Ada juga bioskop yang dirancang seperti masjid, menyediakan tempat terpisah untuk penonton laki-laki dan perempuan. Lalu ada pula bioskop yang berada di ruang terbuka, kalau gerimis pertunjukan bubar.
Kineforum kembali mengadakan rangkaian kegiatan pemutaran film Indonesia klasik dan kontemporer yang dikumpulkan oleh para kurator muda di Taman Ismail Marzuki baru-baru ini. Delapan puluh dua tahun sejak produksi film pertama di Indonesia dicatat, film Indonesia dapat kembali menemui penontonnya dengan berbagai tawaran pilihan.
Kineforum DKI yang genap berusia setahun pada Maret 2008 ini, berupaya meningkatkan kepedulian publik terhadap sinematek Indonesia (SI) satu-satunya arsip film di Indonesia yang menyimpan sejarah film Indonesia. Tema Sejarah Adalah Sekarang’ membuktikan semangat pada zamannya bukan hanya dalam bentuk visual, tapi juga menampilkan musik bahkan bahasa dari berbagai periode dan beragam kelompok masyarakat sebagai kekayaan dimensi.
Pertunjukan pertama bioskop di Indonesia pada 1900 (hanya 5 tahun setelah pemutaran gambar bergerak pertama di dunia pada 1895), berlangsung di sebuah rumah di Kebondjae dekat Tanah Abang. Bioskop menjadi tempat berkumpul baru untuk melihat keajaiban teknologi gambar bergerak. Pertunjukan pertama itu isinya adalah gambar Ratu Belanda berkunjung ke tanah jajahan. Film pertama di Indonesia, berfungsi sebagai berita. Bisa dibilang para penonton ditarik oleh keajaiban teknologi gambar hidup. Bukan isinya.
Setelah mengelola ruang bioskop selama lebih dari satu tahun belakangan dan menjalankan macam-macam program tentang sejarah film Indonesia dan dunia, kineforum merasa ada lagi hal lain yang perlu ditampilkan. Sebagai bioskop dengan beragam kegiatan, kineforum merasa perlu melihat kembali perjalanan bioskop dalam masyarakat (pembuat dan penonton) film di Indonesia.
Kalau awalnya di bioskop para penonton cuma bisa menyaksikan gambar bergerak, kemudian pada tahun 1930-an bioskop di Indonesia mulai menyajikan suara pula. Keajaiban baru teknologi ini, sekali lagi diterima dengan gembira oleh khalayak. Penonton bahkan menjebol pintu bioskop untuk bisa menyaksikan keajaiban baru itu. Bioskop pada awalnya adalah simbol kemajuan teknologi presentasi. Khalayak yang ingin serta dalam laju kemajuan teknologi berkumpul di bioskop untuk menjadi saksi.
Lama kelamaan bioskop menjadi ruang yang mapan, tempat berkumpul masyarakat kota yang ingin dihibur dan melupakan kehidupannya yang mulai membosankan akibat rutinitas kerja. Jam pertunjukan pun disesuaikan dengan waktu kerja penduduk kota. Gedung bioskop dibangun dengan arsitektur megah pada zamannya, untuk menonjolkan perannya sebagai ruang pamer teknologi hiburan mutakhir. Supaya segmen penontonnya beragam, ruang dalam bioskop dibagi untuk para penonton dari segala tingkat penghasilan. Kaum berduit dapat posisi yang lebih baik dibandingkan dengan yang miskin.
Timbulnya ruang publik baru ini juga menawarkan kemungkinan interaksi baru untuk penduduk kota. Ada orang yang datang ke bioskop hanya untuk duduk berdampingan bersama pacarnya di ruang gelap. Ada juga bioskop yang dirancang seperti masjid, menyediakan tempat terpisah untuk penonton laki-laki dan perempuan. Lalu ada pula bioskop yang berada di ruang terbuka, kalau gerimis pertunjukan bubar.
0 komentar:
Posting Komentar