Home » » Beda Nyai Dan Gadis Indo

Beda Nyai Dan Gadis Indo

BEDAH BUKU
Judul : Citra Perempuan di Hindia Belanda
Penulis : Tineke Hellwig
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Desember, 2007
Tebal : xii + 122 halaman
Bagaimana seorang lelaki Belanda diperbolehkan menikah dengan perempuan pribumi? Atau sebaliknya, bagaimana aturan seorang perempuan Eropa bisa melangsungkan perkawinan dengan lelaki pribumi? Sampai sisi tergelap kaum perempuan dalam kisah pergundikan, biasa dikenal dengan sebutan nyai −dalam bahasa Belanda dikenal banyak istilah, seperti huishoudster, bijzit, menagere, dan meid. Semua terangkum secara komprehensif dalam buku Citra Perempuan di Hindia Belanda.
Jaman VOC, lelaki Kristen Eropa (Belanda) dilarang menikah dengan perempuan non-Kristen. Jika berkenan menikah, lelaki Belanda harus menebus kemerdekaan perempuan pilihannya untuk dijadikan istri. Namun, ada syarat bahwa perkawinan bisa dilakukan jika perempuannya telah dibaptis dan menyatakan taat terhadap Kristen. Sebab, garis pemisah utama diperbolehkan atau tidaknya perkawinan saat itu adalah agama, bukan ras. Demikian itulah misi Gospel dari kolonial dilakukan.
Sedangkan kasus perempuan Eropa yang menikahi lelaki pribumi, merupakan perkara yang luar biasa. Di awal abad 18, perkawinan perempuan Eropa dengan lelaki pribumi, selain wajib dilangsungkan dalam tradisi Kristen, juga harus mendapat persetujuan langsung dari Gubernur Jenderal. Jika Gubernur Jenderal tidak menyutujui, maka selamanya perkawinan tak bisa dilangsungkan.
Di masa awal koloni, sering muncul pendapat bahwa iklim tropik serta makanan penuh bumbu pedas mendorong libido orang lelaki, dan abstensi seks akan mengakibatkan nafsu birahi, semburit dan histeris (hal. 38). Melalui pendapat-pendapat demikianlah praktik pelacuran dan pergundikan diabsahkan, padahal sebenarnya bertentangan dengan nilai moral Kristen Eropa. Sehingga fenomena gundik atau ‘nyai’ merupakan hal umum yang bisa ditemukan di setiap kehidupan lelaki Belanda. Bahkan sebagian besar lelaki Belanda memiliki gundik yang dipelihara untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Seorang gundik atau ‘nyai’ hampir bisa dikatakan tak memiliki hak apapun, baik hak atas anak maupun atas dirinya sendiri. Nyai tak lebih sebagai budak yang kehidupannya tergantung pada kebaikan sang majikan. Bahkan, jika seorang ‘nyai’ kedapatan sampai melahirkan anak, maka anak-anak mereka nanti akan diberi nama keluarga secara terbalik sebagai penanda bahwa dia adalah anak haram (voorkinderen). Sebagai misal, Kijdsmeir (dari Van Reimsdijk), Rhemrev (dari vermehr), Snitsecorg (dari Grovestins), Esreteip (dari Pieterse) (hal.39).
Biasanya, nama-nama yang telah dibalik ejaannya ini akan menjadi bahan olokan sebagai manusia rendah hasil hubungan diluar nikah. Menarik sekali, sebab ini kebalikan dengan kondisi sekarang, di mana orang yang berperawakan Indo malah dicari-cari menjadi artis dan sangat laku dalam industri pertelevisian.
Awalnya, fenomena pergundikan merupakan hal yang lumrah yang terjadi di masa kolonial. Namun, lama-kelamaan perilaku pergundikan dianggap sebagai sebuah aib. Jika pun masih ada, pastilah dilakukan secara rahasia. Akibatnya, para nyai banyak yang disalahkan dan dianggap telah membuat lelaki Eropa makin hidup seperti Inlander (veridischen), serta menjauhkan lelaki Eropa dari jalan yang benar (Kristen). Bahkan, menjadi nyai seringkali dianggap karena kepentingan matralistik, ingin kemewahan, atau iseng untuk memiliki pasangan orang Belanda. Padahal, sesungguhnya hadirnya ‘nyai’ adalah karena sistem kolonial yang menjadikan perempuan pribumi sebagai komoditas jamahan lelaki kulit putih.
(Peresensi: M Lubabun Ni’am AS, Mahasiswa Sosiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Thanks for reading Beda Nyai Dan Gadis Indo

0 komentar:

Posting Komentar