Home » » Gerakan Peduli Krisis Nasional

Gerakan Peduli Krisis Nasional

Oleh: Gede Sandra*
Rasa-rasanya tidak perlu diulas lagi tentang seberapa parah krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Kasus berulangnya pembunuhan balita oleh ibu kandungnya –kali ini terjadi di Pekalongan- akibat kemiskinan (Kompas, 27/03/08), ataupun kasus sekeluarga mati kelaparan di Makassar juga akibat kemiskinan (Tribun Timur, 02/03/2008), seharusnya telah cukup untuk membuka mata seluruh politisi dan ekonom nasional akan situasi ekonomi riil yang terjadi di negara kita.
Benar kiranya komentar salah seorang aktivis kolega saya belum lama ini, “Selisih angka kemiskinan ataupun kebangkrutan ekonomi tak usah terus diperdebatkan. Sekarang riil saja: harga naik di mana-mana dan lapangan kerja langka. Bagaimana mengatasi kedua problem pokok rakyat itu?”
Ngevoor sampai 2009
Kemungkinan besar pertanyaan barusan tak akan terjawab dengan baik oleh pemerintah. Apalagi oleh sebagian besar politisi tanah air yang semakin ‘sibuk sendiri’ saja menjelang ajang politik di 2009. Di saat pemerintah kalang kabut (kalut) mengendalikan situasi; di saat rakyat bergelimpangan kelaparan; kebanyakan dari mereka yang tergabung di partai politik ini hanya sibuk mencitrakan diri sekaligus ‘memutar duit’ untuk modal 2009.
Rasionalisasinya: para politisi menganggap krisis ekonomi yang dialami negara dan rakyat masih berstatus dapat tertahankan (bearable), bukan sebagai sesuatu yang medesak (urgent), atau bahkan tidak tertahankan (unbearable) lagi. Sehingga, bagi mereka tidaklah salah secara politik jika saat ini tidak (atau belum) turun tangan membantu mengeluarkan bangsa dari krisis.
Tapi jika dipikir-pikir, di setiap partai pastilah ada ahli ekonomi bertitelnya masing-masing. Tidak mungkin mereka (baca: ekonom partai) tidak melihat antrian pengangguran berbaris memasuki perkotaan, yang menambah panjang daftar tunggu (waiting list) pekerjaan di puing-puing reruntuhan industri nasional. Atau tidak mungkin juga mereka tidak mendengar bagaimana anggaran seluruh lembaga negara dipotong hingga 15%, sedangkan pada saat bersamaan mayoritas kekayaan alam Indonesia berada di bawah kendali perusahaan multinasional asal Amerika, Australia dan Eropa.
Tidak mungkin mereka tidak mendengar dan melihat perkembangan situasi. Atau jangan-jangan partai-partai politik sedang me-ngevoor rakyat Indonesia dalam derita, setidaknya sampai selesai pemilu 2009. Jika memang masih ngevoor, akan cukup lama kiranya rakyat harus bertempat di gubuk derita.
Apatisme = Ngalih
Di lapisan bawah situasinya mayoritas rakyat Indonesia telah kehilangan harapan akan perubahan. Jangan bertindak politis, untuk berpikir politis saja mereka sudah malas. Apatisme politik di tengah liberalisasi politik semacam sekarang ini telah semakin meluas. Tesis tersebut dibuktikan dengan hasil survei tentang meningkatnya angka golput rata-rata selama pilkada hingga mencapai 27,9% (Kajian Bulanan LSI Edisi 05, September 2007). Dan dapat dipastikan jumlahnya akan lebih besar lagi saat 2009 jika trend situasi tidak berubah.
Apatisme massa, yang dahulu dipaksakan (dengan represif) oleh Orde Baru, kini menggejala dengan ‘ikhlas’ akibat buruknya tata cara berpolitik elit-elit paska reformasi. Apalagi, seiring dengan kebebasan pers, budaya yang diasupkan oleh media massa ke kepala rakyat hanyalah berkisar pada hedonisme, konsumtivisme, mistisme, dan fatalisme. Bukan produktif, progresif, dan ilmiah. Dan sayangnya, semua –isme itu juga telah merasuki kesedaran umum kaum muda terpelajar kita. Para calon pemegang tongkat estafet negara di masa datang.
Apatisme memiliki padanan dalam istilah falsafah Jawa, yaitu ‘ngalih’. ‘Ngalih’ dapat diartikan sebagai menghindar (beralih). Sebenarnya istilah ini tidak berdiri sendirian, tetapi diikuti dengan istilah ‘ngalah’ (pasrah), ‘ngelih (lapar)’, dan ‘ngamuk’ (amuk). Berikut ini ada beberapa baris kalimat -dari buku Ngalah Ngalih Ngelih Ngamuk, Protes Sosial Ala Wong Jawa karangan H.M. Nasruddin Anshory- yang dapat menjelaskan kaitan keempatnya: “Jika para pemegang amanah kekuasaan tidak hati-hati, maka rakyat kecil yang hidupnya selalu “ngalah” akan berikhtiar untuk “ngalih”. Tapi jika para penguasa terus saja matirasa, maka rakyat sudah lama “ngelih” itu hanya tinggal punya satu pilihan, yaitu: “ngamuk!”.
Menjadi jelas bahwa situasi kesadaran mayoritas rakyat saat ini sedang ‘ngalih’, sedangkan sebagiannya -yang berada pada lapisan ekonomi lemah- sedang ‘ngelih’. Lalu, kapan ‘ngamuk’—nya? Kemungkinan besar itu akan terjadi saat ke-’ngelih’-an (baca: kelaparan) telah merajarela. Jangan sampai deh.
Gerakan Peduli Krisis Nasional
Sebelum situasi ‘amuk’ berulang untuk kesekian kalinya di bumi Nusantara, kemiskinan dan kelaparan harus segera ditanggulangi. Hanya ada satu manuver politik akbar yang tepat untuk dilakukan pemerintahan SBY untuk ini, yaitu: Program Gerakan Peduli Krisis Nasional. Secara bentuk (context), gerakan ini haruslah adaptif. Ia dapat berupa badan ad-hoc atau apa saja yang sesuai. Tulisan ini lebih fokus pada isinya (content), itupun secara umum saja.
Pada prinsipnya, karena merupakan gerakan nasional, seluruh spektrum sosial politik (partai politik, lembaga negara, lembaga pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat, aktivis LSM, dsb) haruslah terlibat aktif di dalam gerakan ini, termasuk itu media-media massa. Agar mereka tidak hanya ngurusin rumah tangga artis (baca: infoteimen) saja setiap hari kerjanya.
Bahkan, Gerakan Peduli Krisis Nasional harus lebih meriah dari semaraknya program MDG’s nya PBB. Semua orang harus diajak untuk peduli pada situasi bangsa Indonesia. Tidak hanya mereka yang berbangsa Indonesia, tapi juga bangsa asing, atau dalam hal ini adalah lembaga-lembaga ekonomi mereka, termasuk itu perusahaan multinasional harus juga diajak untuk peduli.
Program-program kerja gerakan akan secara tegas membahas dan mencari jalan keluar bersama-sama terhadap setiap jenis krisis. Pasti akan ada jalan keluar bersama nantinya. Tidak masalah jika semisal: program Peduli Krisis Energi menghasilkan rekomendasi peninjauan ulang kontrak pertambangan atau membatasi ekspor batubara dan gas alam; Program Krisis Utang menghasilkan rekomendasi pengunduran jadwal pembayaran (moratorium) utang untuk menutup kekurangan anggaran seluruh departemen; Program Peduli Krisis Pangan menghasilan rekomendasi impor beras dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan eksportir CPO asal Malaysia dan Singapura demi ketersediaan minyak goreng bagi rakyat. Karena bagaimanapun semua itu adalah pilihan politik yang kita percayai sebagai jalan keluar bagi rakyat Indonesia dari gelapnya krisis. Saat ini politik harus dikembalikan menjadi panglima. Jangan hanya diperdagangkan.
*) Peneliti utama di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS-) dan koordinator Litbang DPP-PAPERNAS, tinggal di Bekasi.
Thanks for reading Gerakan Peduli Krisis Nasional

0 komentar:

Posting Komentar