Home » » Televisi, Guru Moral Bangsa

Televisi, Guru Moral Bangsa

Oleh: M Husnaini*
Ada yang menarik saat mengamati dunia pertelevisian kita. Majalah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, Aula, edisi April 2008, mengangkat wacana perseteruan antara Masyarakat Film Indonesia (MFI) versus Lembaga Sensor Film (LSF). MFI yang dimotori oleh Mira Lesmana, Riri Riza, Nia Dinata, dan Dian Sastro Wardoyo, awal Mei 2007, mendatangi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. Jimly Assiddiqie, SH. untuk mengajukan gugatan atas Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 1992 tentang perfilman.
Mereka menilai UU tersebut memasung kreativitas dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Intinya, mereka menuntut agar segala kelembagaan perfilman Indonesia seperti, LSF, BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), dan segala organisasi yang bernaung di bawahnya dibubarkan.
Harus diakui, kinerja LSF untuk saat ini memang belum ideal. Lembaga itu masih terlihat kedodoran, terutama saat menghadapi stasiun-stasiun televisi yang terus bermunculan. Belum lagi beberapa tayangan berkategori "kejar tayang" yang baru disetor ke LSF tiga hari sebelum ditayangkan. Tak ayal, membuat kinerja LSF jauh dari maksimal, mengingat singkatnya waktu yang disediakan untuk melakukan penyensoran. Namun, kalau kemudian lembaga tersebut terancam dibubarkan, apakah kita akan tinggal diam?
"The Second God" to "The First God"
Televisi memang bukan sembarang media. Pengaruhnya sungguh luar biasa. George Gerbner, pakar komunikasi Amerika Serikat, menyebut televisi sebagai agama masyarakat industri. Kedudukan televisi mampu menggeser agama-agama konvensional. Jika khotbah agama mampu menyedot ribuan jamaah, maka khotbah (budaya) televisi lebih hebat lagi. Tidak jarang ritus-ritusnya diikuti dengan penuh khidmat, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama manapun yang pernah ada (Jalaluddin Rakhmat: 1992).
Kini, televisi telah benar-benar menjadi agama masyarakat industri. Masyarakat sekarang sudah belajar (gaya) hidup dari televisi. Bahkan, di Amerika, televisi pernah menjadi "the second god". Cara dan gaya hidup anak-anak, seperti berpakaian dan berjalan dipengaruhi oleh televisi. Sekarang, televisi bahkan mungkin sudah menjadi "the first god" (Jalaluddin Rakhmat: 1998).
Di Indonesia, saat kehadiran televisi hanya terbatas pada televisi pemerintah (TVRI) saja, efeknya tidaklah terlalu besar. Itu dikarenakan waktu tayangnya terbatas hanya pada malam hari saja. Di samping juga acaranya pun tidak begitu menarik. Namun, setelah kehadiran beberapa televisi swasta, efek televisi menjadi sangat sukar diterka. Karena selain terjadinya penjadwalan ulang kegiatan sehari-hari, juga terjadi apa yang oleh pakar komunikasi disebut displacement effect. Artinya, orang kini mengganti beberapa kegiatan dengan menonton televisi.
Sayangnya, industri pertelevisian hingga detik ini masih bersifat bisnis secara murni (bussines oriented). Kalaupun ada informasi, itupun lebih bersifat bisnis. Akibatnya, informasi yang bersifat ilmiah, memperluas wawasan masyarakat, dan bersifat mendidik, tak banyak diharapkan dari media jenis ini. Karena untuk kepentingan bisnis, maka informasi yang disajikan pun cenderung instan, sederhana, dan tidak terlalu sulit, sehingga mengandung human interest.
Menghibur Diri Sampai Mati
Kenyataan tersebut sungguh amat memprihatinkan. Di tengah kelimpahruahan informasi, masyarakat digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, dan mendengar. Yang ditawarkan justru lebih banyak kekosongan dan kehampaan. Publik disuguhi aneka macam bujukan, rayuan, kesenangan, dan kepuasan, padahal itu semua tidak lebih hanya ketidakpuasan belaka.
Neil Postman, Guru Besar Ilmu Komunikasi, New York University, menyebut situasi demikian sebagai tindakan "menghibur diri sampai mati". Sebagian orang boleh saja berdalih bahwa masyarakat kita toh oke-oke saja dengan tayangan yang disuguhkan televisi. Namun, perlu diingat bahwa tindakan menghibur diri sampai mati seperti yang dikatakan Postman di atas, adalah satu ciri bangsa yang sedang larut dalam pembodohan. Dengan mengonsumsi tayangan-tayangan (sampah) yang merusak akal sehat semacam itu, masyarakat sesungguhnya telah melakukan bunuh diri secara tidak disadari.
Tantangan Pendidikan
Di sinilah peran dunia pendidikan sebagai media komunikasi yang secara teoritis diharapkan mampu menjawab tantangan di atas. Dalam bukunya berjudul Amusing Ourselves to Death, Postman mengingatkan kita semua akan bahaya televisi yang sedemikian kasat mata. Media telah menjadi semacam panyakit kanker yang jika dibiarkan bisa mambunuh fondasi masyarakat kita sebagai bangsa. Karenanya diperlukan penanganan yang tepat dan akurat. Jika tidak, bukan tidak mungkin, bangsa ini akan terperosok ke lubang kehancuran (moral).
Akan tetapi, mampukah pendidikan kita menjawab anjuran Postman di atas? Pada kenyataannya, kualitas pendidikan nasional kita secara umum amat payah. Jika dibandingkan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur pendidikan kita, keberhasilan segelintir siswa di ajang Olimpiade Fisika dan Kimia Internasional menjadi tiada artinya.
Menangkal "Tayangan Setan"
Setidaknya beberapa langkah praktis dapat diajukan di sini. Pertama, peran kedua orangtua dalam keluarga. Mereka, secara moral, bertanggungjawab dalam membendung "tayangan setan" yang bergentayangan. Seiring derasnya arus informasi yang mengglobal, tugas keluarga semakin berat. Melalui jalinan komunikasi yang baik, saling pengertian, rendah hati, serta keteladanan moral, kiranya pengaruh jahat televisi bukan sesuatu yang mustahil dikikis.
Kedua, peran lembaga pemantau televisi semacam LSF dan BP2N. Lembaga ini harus lebih getol lagi dalam melaksanakan tugasnya. Kita tentu tidak ingin, jika atas nama kebebasan berekspresi tetapi justru moral bangsa menjadi taruhannya. Karena itu, kelompok apapun yang menginginkan pembubaran segala sistem kelembagaan ini, secara tegas, harus kita tolak. Alih-alih memajukan, kelompok semacam ini malah akan menghancurkan (baca: moral).
Ketiga, peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi sosial keagamaan. Peran mereka pun tak kalah penting mengingat industri pertelevisian negeri ini yang menjadi sedemikian komersil dan menonjolkan sisi hiburan tanpa memedulikan sisi edukatifnya.
Singkatnya, televisi haruslah menjadi media yang menyehatkan serta mencerdaskan dengan sajian informasi dan hiburan yang mendidik. Sudah selayaknya televisi tidak sekedar sebagai pekerja kapitalisme informasi belaka, yang memanjakan pemirsa dengan melulu hiburan dan kontestasi gaya hidup. Aspek pandidikan dan moral selayaknya pula dipertimbangkan. Jika demikian, televisi tidak akan sekedar menjadi media biasa. Lebih penting dari itu, televisi dapat menempatkan posisinya sebagai pembentuk dan penjaga moral bangsa.
*) Kontributor Jaringan Islam Kultural (JIK), tinggal di Surabaya.
Thanks for reading Televisi, Guru Moral Bangsa

0 komentar:

Posting Komentar