Oleh: Sulis Styawan*
Publik di negeri ini kerap disuguhi berbagai berita terkait kondisi miris yang dialami oleh anak-anak generasi penerus bangsa ini. Mulai dari pengabaian dan ”pembiaran” atas kesejahteraan dan hak-hak yang seharusnya mereka terima, diskriminasi, eksploitasi, hingga multiaksi kekerasan yang sering mereka alami (child abuse).
Masalah pelanggaran terhadap hak-hak anak ini tentu kian menambah deretan multiironisme di negeri yang memang sarat dengan peristiwa ironis ini. Jika dicermati, selama ini anak-anak Indonesia belum secara maksimal memperoleh haknya. Bahkan tak jarang, dalam upaya menuntut hak-hanya, anak-anak malah menjadi korban kekerasan.
Memang, sejak tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak. Ketika UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) disahkan pada 2004 silam, boleh jadi masyarakat berharap agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang kerap terjadi di negeri ini, tidak terulang lagi. Namun apa yang terjadi? Saat ini, kasus KDRT —yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak—malah mengalami akselerasi (peningkatan) yang cukup mencengangkan.
Tidak hanya kekerakan pada sisi psikologis/emosional, namun sudah bisa digolongkan pada penganiayaan (bentuk kekerasan fisik), pelecehan seksual, dan pencabulan hingga pembunuhan, semisal mutilasi. Jumlah korbannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pusat Data Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat menjadi 40.398.625 kasus. Pun, seperti dilaporkan oleh berbagai media massa, dalam semester pertama tahun 2008 saja, di 33 provinsi di Indonesia, senyatanya tak kurang dari 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sosialnya.
Data di atas baru yang berhasil diungkap oleh pihak kepolisian dan KPAI yang notabene hanyalah puncak ”gunung es” dari fenomena kekerasan terhadap anak di negeri ini. Bisa jadi, setiap hari ada anak korban kekerasan dalam keluarga —yang dilakukan oleh orangtua maupun orang yang merawatnya— hanya belum terungkap.
Apalagi ada anggapan dalam masyarakat kita bahwa kekerasan dalam rumah tangga lebih merupakan ”aib” keluarga hingga tak pantas dipublikasikan. Kasus anak-anak korban kekerasan yang enggan ngomong dan melaporkan beragam perlakuan kekerasan yang dialaminya adalah salah satu buktinya.
Parahnya, dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap anak, sebagian besar malah dilakukan oleh orang terdekat dan yang dikenal korban (anak). Sepanjang tahun 2007, tercatat 70 persen pelaku child abuse ini adalah orang dekat yang dikenal korban seperti anggota keluarga (ayah, ibu, saudara, paman, atau kakek), guru, dan tetangga. Sedang yang tidak dikenal anak hanya 31 persen. Komnas Anak juga melaporkan, selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka.
Mungkin zaman memang sudah berubah. Betapa tidak, orangtua (keluarga) yang seharusnya melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, justru malah banyak yang menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anaknya sendiri. Bahkan, yang paling mengejutkan, 80 persen pelaku kekerasan itu adalah sang ibu! Tanpa mengurangi bobot kejahatan yang terjadi, kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang sering muncul dalam situasi yang penuh multitekanan —yang tentu saja juga dirasakan anak.
Sulit untuk menampik fakta betapa kompetisi hidup yang begitu tinggi, beban ekonomi yang kian berat berikut multifakta kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat kecil di negeri ini, menyumbang stres akut pada diri orangtua yang kemudian melampiaskan emosinya kepada anak. Celakanya, dalam tradisi masyarakat kita, anak selalu diposisikan sebagai makhluk yang lemah dan dianggap sebagai ”properti” orangtua sehingga paling mudah dijadikan sasaran kemarahan. Situasi itu kian diperparah adanya multifaktor lain, seperti minimnya perhatian orangtua terhadap anak, terkikisnya kekerabatan, dan lain-lain.
Untuk merunut akar masalah terkait maraknya kasus kekerasaan terhadap anak yang terjadi akhir-akhir ini, sepertinya kita perlu melakukan flashback, melihat masa 30-40 tahun silam. Senyatanya, sejak dulu banyak orangtua yang berlaku kasar, memberikan hukuman fisik kepada anak dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Memang, pendapat itu tak sepenuhnya salah. Tapi yang (lebih) benar adalah, bahwa ketika mereka (orangtua) —baik secara sadar atau tak sadar— berlaku kasar kepada anak, maka sesungguhnya mereka sedang melancarkan ”agresi psikologis” berupa ”pelajaran kekerasan” kepada anak-anaknya.
Artinya, pelajaran yang diberikan orangtua dengan cara-cara kekerasan—termasuk mengancam dan menghardik anaknya—lebih merupakan sebuah bentuk pelajaran yang ”kebablasan”. Mengapa? Karena esensinya anak-anak adalah ”peniru ulung”, maka dengan mendapatkan perilaku semacam itu, tak pelak anak-anak akan berperilaku sama ketika mereka menghadapi situasi serupa di masa-masa mendatang.
Terry E. Lawson, seorang psikolog anak internasional menyatakan, bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Satu saja dari sekian banyak bentuk child abuse itu dialami anak secara terus-menerus, akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Pasalnya, semua tindakan kekerasan yang diterima anak akan direkam oleh alam bawah sadar (id) mereka dan akan dibawa sampai dewasa nanti, bahkan sepanjang hidupnya.
Agresi psikologis itu, bisa membuat si anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk karena berbagai faktor. Bisa jadi anak kurang percaya diri, minder, atau sebaliknya, menjadi ”pemberontak”! Anak yang sering mendapatkan perlakuan kejam dari orangtua yang agresif, juga akan menjadi pribadi sangat agresif. Yang paling dikhawatirkan adalah, jika kelak kemudian hari mereka melakukan hal yang sama terhadap anak-anak mereka!
Fenomena semacam ini, tak pelak menjadi suatu mata rantai yang tak akan pernah bisa diputus. Setiap generasi akan melakukan hal yang sama untuk merespons kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi semacam ”budaya kekerasan”. Selama pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan ”pelajaran kekerasan” dengan memberikan ”agresi psikologis” kepada anak, bukan tidak mungkin, 20-30 tahun ke depan kondisi masyarakat kita bakal lebih buruk dari apa yang kita saksikan saat ini. Semoga tidak!
*) Pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS) FKIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); Sekjend PPWI-DIY periode 2008-2013.
Publik di negeri ini kerap disuguhi berbagai berita terkait kondisi miris yang dialami oleh anak-anak generasi penerus bangsa ini. Mulai dari pengabaian dan ”pembiaran” atas kesejahteraan dan hak-hak yang seharusnya mereka terima, diskriminasi, eksploitasi, hingga multiaksi kekerasan yang sering mereka alami (child abuse).
Masalah pelanggaran terhadap hak-hak anak ini tentu kian menambah deretan multiironisme di negeri yang memang sarat dengan peristiwa ironis ini. Jika dicermati, selama ini anak-anak Indonesia belum secara maksimal memperoleh haknya. Bahkan tak jarang, dalam upaya menuntut hak-hanya, anak-anak malah menjadi korban kekerasan.
Memang, sejak tahun 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak. Ketika UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) disahkan pada 2004 silam, boleh jadi masyarakat berharap agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang kerap terjadi di negeri ini, tidak terulang lagi. Namun apa yang terjadi? Saat ini, kasus KDRT —yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak-anak—malah mengalami akselerasi (peningkatan) yang cukup mencengangkan.
Tidak hanya kekerakan pada sisi psikologis/emosional, namun sudah bisa digolongkan pada penganiayaan (bentuk kekerasan fisik), pelecehan seksual, dan pencabulan hingga pembunuhan, semisal mutilasi. Jumlah korbannya pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pusat Data Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, pada tahun 2006 jumlah kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada 2007 jumlahnya meningkat menjadi 40.398.625 kasus. Pun, seperti dilaporkan oleh berbagai media massa, dalam semester pertama tahun 2008 saja, di 33 provinsi di Indonesia, senyatanya tak kurang dari 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sosialnya.
Data di atas baru yang berhasil diungkap oleh pihak kepolisian dan KPAI yang notabene hanyalah puncak ”gunung es” dari fenomena kekerasan terhadap anak di negeri ini. Bisa jadi, setiap hari ada anak korban kekerasan dalam keluarga —yang dilakukan oleh orangtua maupun orang yang merawatnya— hanya belum terungkap.
Apalagi ada anggapan dalam masyarakat kita bahwa kekerasan dalam rumah tangga lebih merupakan ”aib” keluarga hingga tak pantas dipublikasikan. Kasus anak-anak korban kekerasan yang enggan ngomong dan melaporkan beragam perlakuan kekerasan yang dialaminya adalah salah satu buktinya.
Parahnya, dari sekian banyak kasus kekerasan terhadap anak, sebagian besar malah dilakukan oleh orang terdekat dan yang dikenal korban (anak). Sepanjang tahun 2007, tercatat 70 persen pelaku child abuse ini adalah orang dekat yang dikenal korban seperti anggota keluarga (ayah, ibu, saudara, paman, atau kakek), guru, dan tetangga. Sedang yang tidak dikenal anak hanya 31 persen. Komnas Anak juga melaporkan, selama periode Januari-Juni 2008 sebanyak 12.726 anak menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka.
Mungkin zaman memang sudah berubah. Betapa tidak, orangtua (keluarga) yang seharusnya melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, justru malah banyak yang menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap anaknya sendiri. Bahkan, yang paling mengejutkan, 80 persen pelaku kekerasan itu adalah sang ibu! Tanpa mengurangi bobot kejahatan yang terjadi, kasus-kasus kekerasan terhadap anak memang sering muncul dalam situasi yang penuh multitekanan —yang tentu saja juga dirasakan anak.
Sulit untuk menampik fakta betapa kompetisi hidup yang begitu tinggi, beban ekonomi yang kian berat berikut multifakta kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat kecil di negeri ini, menyumbang stres akut pada diri orangtua yang kemudian melampiaskan emosinya kepada anak. Celakanya, dalam tradisi masyarakat kita, anak selalu diposisikan sebagai makhluk yang lemah dan dianggap sebagai ”properti” orangtua sehingga paling mudah dijadikan sasaran kemarahan. Situasi itu kian diperparah adanya multifaktor lain, seperti minimnya perhatian orangtua terhadap anak, terkikisnya kekerabatan, dan lain-lain.
Untuk merunut akar masalah terkait maraknya kasus kekerasaan terhadap anak yang terjadi akhir-akhir ini, sepertinya kita perlu melakukan flashback, melihat masa 30-40 tahun silam. Senyatanya, sejak dulu banyak orangtua yang berlaku kasar, memberikan hukuman fisik kepada anak dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Memang, pendapat itu tak sepenuhnya salah. Tapi yang (lebih) benar adalah, bahwa ketika mereka (orangtua) —baik secara sadar atau tak sadar— berlaku kasar kepada anak, maka sesungguhnya mereka sedang melancarkan ”agresi psikologis” berupa ”pelajaran kekerasan” kepada anak-anaknya.
Artinya, pelajaran yang diberikan orangtua dengan cara-cara kekerasan—termasuk mengancam dan menghardik anaknya—lebih merupakan sebuah bentuk pelajaran yang ”kebablasan”. Mengapa? Karena esensinya anak-anak adalah ”peniru ulung”, maka dengan mendapatkan perilaku semacam itu, tak pelak anak-anak akan berperilaku sama ketika mereka menghadapi situasi serupa di masa-masa mendatang.
Terry E. Lawson, seorang psikolog anak internasional menyatakan, bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Satu saja dari sekian banyak bentuk child abuse itu dialami anak secara terus-menerus, akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Pasalnya, semua tindakan kekerasan yang diterima anak akan direkam oleh alam bawah sadar (id) mereka dan akan dibawa sampai dewasa nanti, bahkan sepanjang hidupnya.
Agresi psikologis itu, bisa membuat si anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk karena berbagai faktor. Bisa jadi anak kurang percaya diri, minder, atau sebaliknya, menjadi ”pemberontak”! Anak yang sering mendapatkan perlakuan kejam dari orangtua yang agresif, juga akan menjadi pribadi sangat agresif. Yang paling dikhawatirkan adalah, jika kelak kemudian hari mereka melakukan hal yang sama terhadap anak-anak mereka!
Fenomena semacam ini, tak pelak menjadi suatu mata rantai yang tak akan pernah bisa diputus. Setiap generasi akan melakukan hal yang sama untuk merespons kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi semacam ”budaya kekerasan”. Selama pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan ”pelajaran kekerasan” dengan memberikan ”agresi psikologis” kepada anak, bukan tidak mungkin, 20-30 tahun ke depan kondisi masyarakat kita bakal lebih buruk dari apa yang kita saksikan saat ini. Semoga tidak!
*) Pegiat Center for Education Urgency Studies (CEUS) FKIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); Sekjend PPWI-DIY periode 2008-2013.
0 komentar:
Posting Komentar