Home » , » Bahaya Negara Tanpa Rakyat

Bahaya Negara Tanpa Rakyat

Meneropong Pe(s)ta Demokrasi 2009
Oleh: Choirul Mahfud*

Genderang Kampanye Pemilihan Umum 2009 telah ditabuh. Pemilu 2009 ini akan menjadi pertaruhan bagi partai politik (parpol) yang baru maupun yang lama. Apakah dipercaya atau ditinggalkan para pemilih. Jumlah parpol yang disahkan oleh KPU ternyata meningkat, dari 24 menjadi 34 partai. Dari dulu kita berharap pendulum sistem kepartaian kita kian mengerucut menuju titik keseimbangan, sistem dua partai (two party system), namun kita harus gigit jari dengan harapan ini. Apalagi, sistem multipartai ini dipasangkan dengan sistem presidensial. Pasangan ini membuat kita berhenti untuk berharap stabilitas politik akan dapat diwujudkan.
Di satu pihak, banyaknya parpol ini cukup menggembirakan sebagai aktivisme publik di ranah politik. Di sisi lain, hal itu cukup mengkhawatirkan karena akan berimplikasi luas pada para calon pemilih nanti. Setidaknya ada beberapa implikasi yang muncul sebagaimana diungkap R.S Putra. Pertama, pemilih mengalami kebingungan. Masyarakat dipaksa untuk menjatuhkan satu pilihan dari 34 parpol peserta pemilu yang ada. Kebingungan sosial dalam konteks ini akan membuka peluang terjadinya golput karena masyarakat bingung harus memilih parpol yang mana. Kedua, semakin memperburuk kualitas pilihan masyarakat. Banyaknya parpol yang berkampanye dengan berbagai janji-janji politik membuat pemilih sulit untuk mengingat partai mana yang lebih menjanjikan. Akhirnya, masyarakat memilih parpol yang popoler dalam ingatannya, bukan pada substansi dari janji-janji politik yang ditawarkan berbagai parpol. Kondisi ini dapat memperburuk kualitas demokrasi.
Ketiga, semakin buruknya citra parpol di mata rakyat. Semakin banyaknya parpol, bagi masyarakat awam justru dimaknai sebagai fenomena perebutan kekuasaan an sich oleh para politisi. Kasus korupsi yang menimpa para politisi belakangan ini sungguh mengecewakan. Seakan tak berhenti, deretan nama anggota legislatif yang terlibat kasus korupsi mulai terkuak. Mulai dari kader partai nasionalis sampai dengan partai berbasis agama sekalipun. KPK terus menangkapi para koruptor (senayan). Fenomena ini tentu saja berimplikasi luas pada turunnya kepercayaan publik (public trust) pada lembaga perwakilan rakyat tersebut. Hal tersebut secara konkrit akan dibuktikan dengan meningkatnya angka golput nantinya. Indikasi itu mulai kelihatan dengan fenomena golput pada beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada) di daerah-daerah. Alangkah tidak arifnya, jika tingginya angka golput ini hanya dinilai karena faktor-faktor teknis seperti kurangnya sosialisasi, kurangnya persiapan KPUD, dan hal-hal teknis lainnya.
Kondisi yang serba paradoks ini yang kemudian disebut Anthony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Paradoks demokrasi adalah sebuah kondisi di mana lembaga-lembaga demokrasi tersingkir pada titik di mana (perkembangan) demokrasi justru semakin marak (di Indonesia). Alangkah tidak bertanggung jawabnya jika ini terus kita biarkan. Apabila dibiarkan, maka kita akan berada pada sebuah kondisi yang saya sebut dengan "negara tanpa rakyat". Lembaga-lembaga demokrasi, baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif tetap eksis, namun sebenarnya mereka berdiri tanpa substansi dari demokrasi itu sendiri: rakyat.
Beberapa catatan penting harus dilakukan. Pertama, reformasi parpol menjadi sebuah keniscayaan. Walaupun himbauan reformasi parpol kian marak, namun faktanya tidak mengubah keadaan parpol. Alih-alih makin baik, ternyata kondisinya justru semakin parah, kader-kader terbaik parpol justru terjungkal karena kasus korupsi. Oleh karena itu, parpol jangan lagi bertele-tele lagi dalam proses rekrutmen anggotanya. Maraknya money politics dalam proses pencalonan anggota legislatif, nantinya akan berimbas pada buruknya kinerja mereka di parlemen.
Kedua, penting untuk merumuskan pola memperbaiki relasi elite dan massa (konstituen) yang ada selama ini. Relasi elit dan massa yang tercipta selama ini adalah relasi yang disebut oleh Ralf Dahrendorf, seorang elite theorist, relasi ordinat dan sub-ordinat. Relasi ini merugikan salah satu pihak. Pada konteks ini, yang selalu dirugikan adalah masyarakat. Oleh karena itu, perlu sebuah mekanisme di mana rakyat diberikan ruang yang seluas-luasnya untuk menggugat mandat yang ia berikan pada salah satu calon ketika dianggap tidak lagi memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam hal ini, parpol memiliki peran penting, sejauh mana parpol mau terbuka terhadap tuntutan masyarakat yang diwakili kadernya. Misal, proses pergantian antarwaktu (PAW). Ketika masyarakat menilai kadernya memiliki kinerja buruk maka partai harus berani melakukan tindakan tegas.
Ketiga, pendidikan politik bagi rakyat. Semakin pesatnya perkembangan informasi dan teknologi menyebabkan akses tentang profil partai politik (baik ideologi, platform gerakan, pengurus, kebijakan, dan sebagainya) bisa diketahui lewat berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak. Dalam hal ini, informasi yang menyeluruh tentang parpol sebaiknya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang independensinya bisa dipercaya dan terbukti di hadapan publik, bukan lembaga pesanan dan sejenisnya.
Misal, kampanye anti-politisi busuk. Masyarakat harus dididik untuk melihat bagaimana track record, kredibilitas, dan integritas dari sang calon. Sehingga informasi yang komprehensif menjadi penting untuk dilakukan oleh berbagai lembaga independen apa pun. Akhirnya, Pemilu 2009 nanti akan menjadi pertaruhan masa depan negeri ini. Kita tetap berharap, pascapemilu nanti tidak terjadi lagi pertengkaran politik para politisi, perilaku buruk para politisi, dan semacamnya. Tetapi, elite politisi bisa memberi kepuasan publik dengan mengedepankan kinerja yang memihak dan mensejahterakan rakyat.
*) Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Thanks for reading Bahaya Negara Tanpa Rakyat

0 komentar:

Posting Komentar