Oleh: Ella Safputri
International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional membuka sebuah fakta buram yang sedang dan akan terus terjadi di kolong langit ini. ILO merilis, total buruh anak di seluruh dunia sudah mencapai 166 juta anak atau aktif bertatus pekerja anak. Dan, bahkan dari total ini, 74,4 juta anak terlibat aktif dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang berbahaya seperti prostitusi dan peredaran narkoba. Ya, sangat mencegangkan karena tren jumlah anak yang menjadi pekerja di sektor berbahaya terus meningkat.
Di Indonesia, pada tahun 2004 tercatat sekitar 1,4 juta anak usia 10-14 tahun menjadi pekerja. Mayoritas mereka tidak mendapat peluang untuk sekolah dan tentu masa depan mereka kian suram. "Anak yakni mereka yang berusia di bawah 15 tahun. Pada prinsipnya tidak boleh bekerja layaknya orang dewasa," kata Arum Ratnawati, Kepala Penasehat Teknis Program Pekerja Anak ILO.
Nyatanya, kondisi ekonomi keluarga yang buruk memaksa anak ikut mencari penghasilan untuk keluarga dan tidak jarang sektor pekerjaan yang dilakoni tergolong sangat berbahaya. Buruh anak di Indonesia sebenarnya sudah menjadi persoalan klasik, dan sejak tahun 1976 baru mencapai 13,9%. Namun seiring dengan krisis ekonomi dan deraan kemiskinan, kian memicu anak-anak ‘’memilih’’ jadi buruh.
Di balik fakta buram nan suram ini, pemerintah sudah meratifikasi Konvensi 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Jadi ada niat baik pemerintah untuk menghapus praktik buruh anak. Konvensi 182 itu diikuti Komite Aksi Nasional (KAN) untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak melalui Keputusan Presiden (Keppres) 12/2001. KAN sendiri membentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mencegah dan menghapus segala bentuk pekerjaan terburuk yang dikerjakan anak-anak Indonesia.
Tahap pertama (2004-2007), RAN menarik 13.922 anak dari pekerjaannya, dan 29.863 anak lagi dicegah masuk ke empat sektor pekerjaan terburuk. Kedua (2008-2012), RAN andalkan dua strategi. Pertama, mendorong perbaikan dan tumbuhnya lingkungan kebijakan yang mendukung penghapusan segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Praktisnya, program pendidikan yang lebih terjangkau bagi anak keluarga tidak mampu, dan program pendidikan yang mengadaptasi ketertinggalan pekerja anak. Direktur ILO di Jakarta, Alan Boulton menengarai, biaya pendidikan yang lebih murah menekan angka pekerja anak. Kebijakan penurunan biaya pendidikan tentu harus didukung pemerintah.
Kedua, intervensi langsung di empat sektor pekerjaan terburuk anak, guna mencegah dan menarik anak yang bekerja di sektor terburuk dengan target mencegah 16.000 pekerja anak baru dan menarik 6.000 pekerja anak di sektor-sektor terburuk," jelas Ratnawati. Angka 22.000 anak memang masih sangat jauh dibanding total pekerja anak di Indonesia.
Empat Terburuk
Mengacu pada Konvensi 182 ILO, pemerintah memetakan empat bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan seorang buruh anak; pekerja rumah tangga (PRT), perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial, pekerja di sektor pertanian (perkebunan), anak jalanan yang beresiko diperdagangkan dan terlibat dalam peredaran narkoba. Sektor PRT seperti hasil riset ILO dan Universitas Indonesia (2002-2003) menunjukkan, jumlah anak yang bekerja di sektor ini sejatinya jauh lebih banyak dari perkiraan awal. Tercatat 700.000 anak di bawah usia 18 tahun sudah bekerja sebagai PRT, lebih dari 90% adalah anak perempuan yang datang dari daerah pedesaan dengan usia 12-15 tahun. Banyak daerah di Indonesia yang terkategori menelurkan ‘PRT anak’ adalah wilayah yang tingkat pendidikan terbatas, bahkan tidak ada sama sekali.
"Anak-anak yang menjadi PRT kerap kali tergiur dengan janji-janji manis nan palsu akan mendapat gaji yang besar di kota, tanpa kejelasan soal jam kerja, jenis pekerjaan dan kondisi tempat kerja. Yang lazim menimpa PRT anak adalah bekerja 14-18 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa istirahat (libur). Dalam banyak kasus, para majikan malah menahan gaji sebelum pulang kampung agar anak-anak tetap bekerja selama libur Lebaran. Tak jarang kasus kekerasan dan penganiayaan pun dialami PRT anak karena mereka diisolasi dari dunia luar," tegas Ratnawati.
Sektor prostitusi tak kalah menyesakkan hati. Kajian ILO per 2003 menyebut, sekitar 21.552 anak bekerja sebagai pelacur di Pulau Jawa. Data prostitusi anak dan orang dewasa dari Depsos memperlihatkan peningkatan 34% selama 10 tahun, dari 65.059 (1994) menjadi 87.536 (2004). Untuk 2001, Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperkirakan 20-30% dari total itu (usia di bawah 18 tahun) ada di dunia prostitusi. Biasanya, wilayah asal pelacur anak ada di desa-desa dan minim fasilitas pendidikan.
Sektor pertanian dan perkebunan, sekitar 1,5 juta (10-17 tahun), antara lain Sumatera Utara (155.196 anak), Jawa Tengah (204.406) dan Jawa Timur (224.075). Pekerjaan di sektor ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya pajanan pestisida, temperatur ekstrim dan debu organik. Sebuah studi di Jawa Timur mengungkap, 85% pekerja anak sektor pertanian dan perkebunan lulus SD dan hanya 13% sempat menyenyam pendidikan SMP. Anak jalanan menjadi sektor paling rentan terhadap perdagangan manusia dan peredaran narkoba. Depsos (2005) mencatat 46.800 anak Indonesia yang menjadi anak jalanan di 21 propinsi.
Bahaya yang dihadapi anak jalanan sungguh serius, dari tindak kekerasan, eksploitasi preman, polusi, kecelakaan lalu lintas, perdagangan anak sampai perdagangan obat terlarang. Riset ILO (2004), 133 dari 255 anak jalanan terkategori pemakai obat-obatan, penghirup lem dan peminum alkohol. Data itu diperkuat kajian Universitas Atmajaya bahwa 464 dari 500 anak jalanan adalah pengguna obat-obatan terlarang plus mengantar mereka jadi pengedar narkoba. (Antara/Spektrum)
International Labour Organization (ILO) atau Organisasi Buruh Internasional membuka sebuah fakta buram yang sedang dan akan terus terjadi di kolong langit ini. ILO merilis, total buruh anak di seluruh dunia sudah mencapai 166 juta anak atau aktif bertatus pekerja anak. Dan, bahkan dari total ini, 74,4 juta anak terlibat aktif dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang berbahaya seperti prostitusi dan peredaran narkoba. Ya, sangat mencegangkan karena tren jumlah anak yang menjadi pekerja di sektor berbahaya terus meningkat.
Di Indonesia, pada tahun 2004 tercatat sekitar 1,4 juta anak usia 10-14 tahun menjadi pekerja. Mayoritas mereka tidak mendapat peluang untuk sekolah dan tentu masa depan mereka kian suram. "Anak yakni mereka yang berusia di bawah 15 tahun. Pada prinsipnya tidak boleh bekerja layaknya orang dewasa," kata Arum Ratnawati, Kepala Penasehat Teknis Program Pekerja Anak ILO.
Nyatanya, kondisi ekonomi keluarga yang buruk memaksa anak ikut mencari penghasilan untuk keluarga dan tidak jarang sektor pekerjaan yang dilakoni tergolong sangat berbahaya. Buruh anak di Indonesia sebenarnya sudah menjadi persoalan klasik, dan sejak tahun 1976 baru mencapai 13,9%. Namun seiring dengan krisis ekonomi dan deraan kemiskinan, kian memicu anak-anak ‘’memilih’’ jadi buruh.
Di balik fakta buram nan suram ini, pemerintah sudah meratifikasi Konvensi 182 tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Jadi ada niat baik pemerintah untuk menghapus praktik buruh anak. Konvensi 182 itu diikuti Komite Aksi Nasional (KAN) untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak melalui Keputusan Presiden (Keppres) 12/2001. KAN sendiri membentuk Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mencegah dan menghapus segala bentuk pekerjaan terburuk yang dikerjakan anak-anak Indonesia.
Tahap pertama (2004-2007), RAN menarik 13.922 anak dari pekerjaannya, dan 29.863 anak lagi dicegah masuk ke empat sektor pekerjaan terburuk. Kedua (2008-2012), RAN andalkan dua strategi. Pertama, mendorong perbaikan dan tumbuhnya lingkungan kebijakan yang mendukung penghapusan segala bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Praktisnya, program pendidikan yang lebih terjangkau bagi anak keluarga tidak mampu, dan program pendidikan yang mengadaptasi ketertinggalan pekerja anak. Direktur ILO di Jakarta, Alan Boulton menengarai, biaya pendidikan yang lebih murah menekan angka pekerja anak. Kebijakan penurunan biaya pendidikan tentu harus didukung pemerintah.
Kedua, intervensi langsung di empat sektor pekerjaan terburuk anak, guna mencegah dan menarik anak yang bekerja di sektor terburuk dengan target mencegah 16.000 pekerja anak baru dan menarik 6.000 pekerja anak di sektor-sektor terburuk," jelas Ratnawati. Angka 22.000 anak memang masih sangat jauh dibanding total pekerja anak di Indonesia.
Empat Terburuk
Mengacu pada Konvensi 182 ILO, pemerintah memetakan empat bentuk pekerjaan terburuk yang dilakukan seorang buruh anak; pekerja rumah tangga (PRT), perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial, pekerja di sektor pertanian (perkebunan), anak jalanan yang beresiko diperdagangkan dan terlibat dalam peredaran narkoba. Sektor PRT seperti hasil riset ILO dan Universitas Indonesia (2002-2003) menunjukkan, jumlah anak yang bekerja di sektor ini sejatinya jauh lebih banyak dari perkiraan awal. Tercatat 700.000 anak di bawah usia 18 tahun sudah bekerja sebagai PRT, lebih dari 90% adalah anak perempuan yang datang dari daerah pedesaan dengan usia 12-15 tahun. Banyak daerah di Indonesia yang terkategori menelurkan ‘PRT anak’ adalah wilayah yang tingkat pendidikan terbatas, bahkan tidak ada sama sekali.
"Anak-anak yang menjadi PRT kerap kali tergiur dengan janji-janji manis nan palsu akan mendapat gaji yang besar di kota, tanpa kejelasan soal jam kerja, jenis pekerjaan dan kondisi tempat kerja. Yang lazim menimpa PRT anak adalah bekerja 14-18 jam sehari, 7 hari seminggu tanpa istirahat (libur). Dalam banyak kasus, para majikan malah menahan gaji sebelum pulang kampung agar anak-anak tetap bekerja selama libur Lebaran. Tak jarang kasus kekerasan dan penganiayaan pun dialami PRT anak karena mereka diisolasi dari dunia luar," tegas Ratnawati.
Sektor prostitusi tak kalah menyesakkan hati. Kajian ILO per 2003 menyebut, sekitar 21.552 anak bekerja sebagai pelacur di Pulau Jawa. Data prostitusi anak dan orang dewasa dari Depsos memperlihatkan peningkatan 34% selama 10 tahun, dari 65.059 (1994) menjadi 87.536 (2004). Untuk 2001, Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperkirakan 20-30% dari total itu (usia di bawah 18 tahun) ada di dunia prostitusi. Biasanya, wilayah asal pelacur anak ada di desa-desa dan minim fasilitas pendidikan.
Sektor pertanian dan perkebunan, sekitar 1,5 juta (10-17 tahun), antara lain Sumatera Utara (155.196 anak), Jawa Tengah (204.406) dan Jawa Timur (224.075). Pekerjaan di sektor ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya pajanan pestisida, temperatur ekstrim dan debu organik. Sebuah studi di Jawa Timur mengungkap, 85% pekerja anak sektor pertanian dan perkebunan lulus SD dan hanya 13% sempat menyenyam pendidikan SMP. Anak jalanan menjadi sektor paling rentan terhadap perdagangan manusia dan peredaran narkoba. Depsos (2005) mencatat 46.800 anak Indonesia yang menjadi anak jalanan di 21 propinsi.
Bahaya yang dihadapi anak jalanan sungguh serius, dari tindak kekerasan, eksploitasi preman, polusi, kecelakaan lalu lintas, perdagangan anak sampai perdagangan obat terlarang. Riset ILO (2004), 133 dari 255 anak jalanan terkategori pemakai obat-obatan, penghirup lem dan peminum alkohol. Data itu diperkuat kajian Universitas Atmajaya bahwa 464 dari 500 anak jalanan adalah pengguna obat-obatan terlarang plus mengantar mereka jadi pengedar narkoba. (Antara/Spektrum)
0 komentar:
Posting Komentar